Zulaikha*: Turunkan UKT, Atau Bebas Biaya Kuliah?

Opini596 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM,  JAKARTA — Setelah sekian lama tak terdengar. kini mahasiswa kembali bersuara di pentas politik nasional. Pada hari Senin, 22/6/2020, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Mereka meminta audiensi langsung bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi.

Aksi serupa juga datang dari mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Palangka (19/6), Universitas batik Surakarta (22/6), mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) (18/6), dan aliansi mahasiswa UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten (22/6).

Mereka menuntut penurunan hingga gratis Uang Kuliah Tunggal (UKT)  di tengah pandemi Corona.

Ketua senat Mahasiswa IAIN Palangka, Dodi Faisal mengungkap alasan bahwa semester ganjil ini mahasiswa tidak menikmati fasilitas yang ada di kampus, seperti listrik, air dan lainnya.

Tidak hanya itu, Mahasiswa juga menuntut adanya subsidi kuota internet selama perkuliahan online (daring). Sebab kondisi perekonomian orang tua dari mahasiswa mengalami turbulensi akibat terdampak pandemi covid-19

Merespons tuntutan mahasiswa, Kemendikbud menetapkan ada skema penurunan UKT. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyiapkan dana Rp1 triliun rupian untuk meringankan beban mahasiswa di masa pandemi Corona. Namun seperti yang kita ketahui, persyaratannya cukup berbelit untuk menerima bantuan tersebut.

Tuntutan mahasiswa terkait penyesuaian penyesuaian UKT merupakan hal yang lumrah, sebab selama pandemi mahasiswa melakukan perkuliahan secara online (daring), mahasiswa tidak ada penggunaan laboratorium, tugas offline, biaya buku, bahkan mahasiswa terkena biaya tambahan kuota data internet untuk pembelajaran daring.

Sebelum terjadinya wabah, dunia pendidikan sudah dijadikan barang komoditas yang diperjualbelikan. Bahkan pasca era Badan Hukum Pendidikan (BHP), pendidikan tinggi resmi di komersialisasi. Pendidikan makin tak terjangkau rakyat miskin, jika pun ada subsidi jumlahnya tidak signifikan jika dibandingkan Besarnya jumlah pelajar dan mahasiswa.

Mahalnya pendidikan merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak, baik menyangkut tata kelola negara yang kapitalistik termasuk sistem pendidikannya.

Tata kelola negara kapitalistik berlandaskan paradigma Good Governance atau Reinventing Government berperan besar melahirkan petaka biaya pendidikan mahal.

Paradigma ini menunjukkan bahwa negara berlepas tangan dari kewajiban utamanya sebagai pelayan rakyat. Negara hanya menjadi regulator atau pembuat aturan bagi kepentingan siapa pun yang ingin mengeruk keuntungan dari dunia pendidikan.

Karenanya, menuntut penurunan UKT di masa pandemi ini saja tidak cukup. Karena ini sama saja dengan membiarkan berlangsungnya pendidikan sekuler kapitalistik yang mengamputasi potensi generasi Khoiru Ummah.

Maka tiadanya kritik terhadap kewajiban negara menyediakan pendidikan gratis, artinya melestarikan tata kelola layanan masyarakat yang menyengsarakan karena lepasnya tanggung jawab penuh negara.

Berbeda dengan Islam yang menerapkan aturan yang berasal dari Al-Kahaliq. Dalam Islam, Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya termasuk pendidikan. Sebab Islam telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat.

Semua ini harus terpenuhi bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, pintar atau biasa, pada tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Semuanya berhak mendapatkan pendidikan gratis dengan fasilitas sebaik mungkin.

Dalam Islam, Negara tidak menjadikan pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi, sebagaimana realita dalam sistem kapitalis saat ini. Namun Negara menjadikan pendidikan sebagai investasi masa depan.

Segala biaya tidak boleh dikenakan, bukan hanya SPP, tetapi juga termasuk pembelian buku, peralatan, internet dan lain-lain. Semua bayaran pendidikan diantaranya gaji pendidik yaitu guru, tenaga non akademik, infrastruktur sekolah seperti gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, perpustakaan laboratorium, balai-balai penelit, sarana belajar dan mengajar seperti buku-buku pelajaran internet dan lain-lain, fasilitas lain yang dibutuhkan seperti asrama pelajar, klinik kesehatan dan lain-lain.

Semua wajib disediakan oleh negara secara gratis. Rakyat diperbolehkan menyumbang dan menyediakan kemudahan-kemudahan ummat sebagai bentuk amal jariyah, bukan sebagai bentuk tanggung jawab.

Dalam Islam juga dimungkinkan terdapat peran sekolah swasta, namun tidak boleh mengambil alih peran negara dalam memenuhi pendidikan rakyat.

Negara membiayai pendidikan dari Baitul maal, yang diambil dari yakni dari pos fa’i dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. inilah faktor yang mempermudah rakyat mendapatkan kemaslahatan dalam pendidikan tanpa dibebani dengan biaya pendidikan yang membuat rakyat pengurus dada

Wahai para mahasiswa sudah saatnya kita tidak hanya menuntut penuran UKT saja, tetapi kita juga butuh pendidikan yang berkualitas.

Saatnya para mahasiswa sebagai agent of change melanjutkan perjuangan ini dengan menuntut perubahan sistem pendidikan dari sekuler kapitalistik yang ada sekarang menjadi sistem pendidikan Islam. Wallahu’alambishawab.[]

*Mahasiswi IAIN Jember dan Aktivis Muslimah

Comment