Yusriani Rini Lapeo, S. Pd |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Tanggal 27 Oktober menjadi sebuah momentum yang berharga bagi masyarakat Sulawesi Tenggara. Aksi Damai Bela Tauhid menjadi kegiatan besar yang digelar di kota Kendari dan berpusat di lapangan MTQ. Aksi tersebut menjadi saksi bahwa kaum muslim kembali dipertemukan dalam satu suara membela agamanya.
Hal demikian tentu bukan tanpa alasan, pasca pembakaran bendera tauhid yang dilakukan oleh oknum Banser saat peringatan Hari Santri di Garut, sontak menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat, bahkan dunia pun mengecam oknum pembakaran bendera tauhid tersebut.
Ribuan massa yang bergerak dari lapangan Lakidende menuju kompleks MTQ pun, tumpah ruah di tepi jalan dengan membawa bendera Ar-Raya berwarna hitam dan Al-Liwa bewarna putih, sambil menyuarakan yel-yel dan kalimat Tauhid.
Gonjang-ganjing Bendera Tauhid
Beberapa waktu setelah video pembakaran bendera tauhid tersebut beredar, para netizen melontarkan kecaman dan mengutuk oknum Banser yang melakukan pembakaran. Hal itu, tentu saja mendapat respon kilat oleh ketua pemuda GP Ansor NU, Ansor Yaqut Cholil Qoumas. Dirinya mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh anggotanya hanya ingin menyelamatkan kalimat tauhid, dan bendera yang dibakar adalah bendera HTI.
Di sisi lain, Tokoh GNPF Ulama, Ustaz Haikal Hassan Baras, beberapa saat setelah peristiwa pembakaran bendera tersebut, dirinya langsung mendatangi pelaku dan menginterogasinya saat pelaku berada di Polres Garut.
Pelaku menyesalkan aksinya dan mengakui bahwa yang dibakar bukanlah bendera HTI. “Saya pancing, mustinya kamu gunting dulu tulisan HTI di bendera, yang ada tulisan Tauhid kamu lipat, baru kamu bakar… Enggak ustadz, enggak ada bendera HTI,” kata Ustaz Haikal (portal-islam.id).
Kedangkalan berpikir kerap menjadi senjata para pembenci Islam, hal itu terkadang menunjukan jati diri mereka yang sebenarnya. Mengait-ngaitkan bendera tersebut dengan organisasi yang telah dibubarkan paksa oleh pemerintah adalah perkara yang sangat tidak etis. Walaupun HTI sendiri, mengklaim bendera tauhid bukanlah milik HTI semata, melainkan bendera tauhid milik umat, dan siapapun yang beragama Islam berhak menggunakan bahkan memuliakannya.
Maka wajar, bila umat marah dan sakit hati, bukan karena provokasi yang timbul seperti yang dituduhkan kepada HTI oleh para pembenci Islam, melainkan qadharullah yang terjadi secara alamiah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan (tidak memberi) karena Allah, maka sungguh, telah sempurna imannya”.
Dari an-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam”.
Ini menunjukkan bahwa orang mukmin terganggu dengan apa saja yang mengganggu saudaranya yang mukmin dan sedih oleh apa saja yang membuat saudaranya sedih.
Di zaman kapitalisme ini, apapun bisa terjadi, liberalisme telah membuat hukum terkadang tumpul ke atas. Meski, para oknum telah mengakui perbuatannya, dan telah memenuhi syarat kebencian yang ditujukan dengan cara membakar dan menyanyikan yel-yel kebanggaan mereka, namun status pelaku pembakaran hanya sebagai saksi. Ditambah lagi diamnya para penguasa, tentu saja membuat publik semakin greget dan geram.
Pengaruh Kalimat Tauhid
Kalimat Tauhid bukan hanya sekedar simbol yang disakralkan oleh kaum muslim, melainkan sebuah lafaz yang dengannya kita hidup, dan dengannya pula kita mati. Sebuah lafaz yang mempersatukan seluruh kaum muslim di dunia, tanpa memandang SARA.
Semenjak masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, umat Islam sudah mempunyai bendera. Dalam bahasa Arab, bendera disebut dengan liwa’ atau alwiyah (dalam bentuk jamak). Istilah liwa’ sering ditemui dalam beberapa riwayat hadis tentang peperangan. Jadi, istilah liwa’ sering digandengkan pemakaiannya dengan rayah (panji perang). Istilah liwa’ atau disebut juga dengan al-alam (bendera) dan rayah mempunyai fungsi berbeda.
Dalam beberapa riwayat disebutkan, rayah (Panji) yang dipakai Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berwarna hitam, sedangkan liwa’ (benderanya) berwarna putih. (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh (Tirmizi) dikatakan,
“Panji Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol.”
Rayah dan liwa’ sama-sama bertuliskan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Pada rayah (bendera hitam) ditulis dengan warna putih, sebaliknya pada liwa’ (bendera putih) ditulis dengan warna hitam. Rayah dan liwa’ juga mempunyai fungsi yang berbeda.
Mengenai hal ini, dari hadis Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah ketika menjadi panglima di Perang Khandak pernah bersabda, “Aku benar-benar akan memberikan panji (rayah) ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah kemudian memberikan rayah tersebut kepada Ali bin Abi Thalib yang saat itu menjadi ketua divisi pasukan Islam. (HR Bukhari).
Selain itu, fungsi liwa’ sebagai penanda posisi pemimpin pasukan. Pembawa bendera liwa’ akan terus mengikuti posisi pemimpin pasukan berada. Liwa’ dalam perperangan akan diikat dan digulung pada tombak. Riwayat mengenai liwa’, seperti yang diriwayatkan dari Jabir radi allahu anhu yang mengatakan, Rasulullah membawa liwa’ ketika memasuki Kota Makkah saat Fathul Makkah (pembebasan Kota Makkah). (HR Ibnu Majah).
Dengan demikian, jelaslah bahwa bendera bertuliskan tauhid bukanlah bendera milik HTI semata, siapapun boleh menggunakannya. Tidak ada pelarangan menggunakan bendera bertuliskan tauhid, baik secara pidana maupun perdata, karena ia sepenuhnya milik umat Islam seluruh dunia. Wallahu a’lam.
Comment