Yuni Damayanti*: Benarkah Haram Mengikuti Sistem Pemerintahan Ala Nabi?

Opini671 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Menteri Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan Indonesia dan Malaysia memiliki kesamaan yaitu ingin membangun negara islami. Yaitu negara yang menerapkan nilai-nilai islam.

Mahfud juga menjelaskan, Indonesia dan Malaysia sama-sama ingin membangun negara islami dan percaya bahwa bernegara adalah sunatullah. Ia juga mengatakan agama melarang untuk mendirikan negara seperti yang didirikan nabi. Sebab, negara yang didirikan nabi merupakan teokrasi dimana nabi memiliki tiga kekuasaan sekaligus yaitu legislatif, yudikatif dan eksekutif.

Ia pun mengatakan bahwa pilihan bentuk negara dan sistem negara yang beragam seperti yang dipilih Indonesia dengan republik dan malaysia dengan kerajaan sama benarnya dan tidak bertentangan dengan syariat (Republika.co.id, 26/01/2020).

Namun, pernyataan Mahfud MD ini mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat Anton Tabah mengaku heran dengan Mahfud yang tidak jera-jeranya keseleo lidah. Dia pun meminta mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) segera memperbanyak doa. Purnawirawan jendral bintang dua polisi itu lantas menyinggung pernyataan Mahfud yang pernah mengatakan perda syariah radikal. Berdasarkan amatannya saat masih di kepolisian, kehadiran perda-perda syariah justru membantu tugas mengatur miras dan sebagainya (Rmol.id, 26/01/2020).

Sungguh pernyataan haram mencontoh negara seperti yang didirikan Rasulullah adalah pernyataan berbahaya dan mencederai iman seorang muslim. Karena Iman kepada Allah dan Rasulnya mengharuskan setiap individu taat pada syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw, yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunah. Maka aneh jika ada orang islam yang mengharamkan mencontoh negara seperti yang didirikan Rasulullah!

Pemikiran seperti ini muncul dan tumbuh subur di negara yang menganut paham sekuler, yang memisahkan peran agama dalam kehidupan. Sistem ini pula telah berhasil menjerat pemikiran setiap muslim untuk berfikir sekuler dan berani menentang ketaatan sempurna pada syariat. Karena agama hanya boleh mengurus urusan personal, namun tidak boleh mengurus urusan negara. Alhasil negara yang menganut sistem sekuler justru menghadapi banyak masalah, sebab setiap aturan yang mereka buat nyatanya tidak mampu mengatasi masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Bagaimana tidak, kepanikan rezim melihat geliat kebangkitan islam dan kegagalanya mengkriminalisasi khilafah telah membuktikan bahwa, umat saat ini telah sadar bahwa islam bukanlah agama yang mengatur aspek spiritual saja.

Meski agama Islam lahir di tanah Makkah, namun doktrin-doktrin wahyu ilahi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad belum begitu efektif berjalan di tengah-tengah hegemoni politik dan ekonomi kaum aristoktrat Quraisy. Pengikut Muhammad pada periode Makkah sebagian besar hanya terdiri dari orang-orang yang tertindas dan mengamalami ketidakadilan dalam tatanan masyarakat kala itu. Sehingga tak heran mereka masih minoritas dan belum dapat tampil sebagai komunitas yang membongkar tatanan masyarakat Qurasiy Makkah yang timpang tersebut.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di kalangan masyarakat Madinah pasca peristiwa hijrahnya Muhammad bersama para pengikutnya ke Madinah pada 622 Masehi. Keberadaan Nabi dan ajaran agama baru yang dibawanya sudah mendapat tempat dan simpati. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa Bai’ah al-‘Aqabah setahun sebelum beliau hijrah.

Dalam peristiwa Bai’ah al-“Aqabah tersebut, sebanyak 12 orang penduduk Yastrib. Pada tahun berikutnya, sebanyak 73 orang Yatsrib yang sudah memeluk Islam datang kembali ke Makkah mempertegas pengakuan keislaman mereka dan pembelaan kepada Nabi Muhammad. Dalam kesempatan ini mereka mengajak Nabi untuk berhijrah ke Madinah yang selanjutnya dikenal dengan Bai’ah al-‘Aqabah kedua.

Dua peristiwa bersejarah inilah yang mengubah arah perjalanan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari kelompok tertindas menjadi kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani. Kedua peristiwa ini juga merupakan titik awal bagi Nabi Muhammad untuk mendirikan negara di Madinah. Di kota yang baru ini Nabi Muhammad baru bisa secara efektif menerapkan dimensi sosial ajaran Islam untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini ditopang sepenuhnya oleh dukungan penduduk Madinah sendiri yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj.

Dari masyarakat ini kemudian Nabi Muhammad menciptakan suatu kekuatan sosial-politik dalam sebuah negara di Madinah. Maka langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid beserta bangunan tempat tinggalnya di sekitar masjid tersebut serta beberapa tempat tinggal kaum muslimin, terutama bagi fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal. Hal lain yang tak kalah pentingnya dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah dalam rangka pembentukan sebuah Negara adalah membuat Piagam Madinah pada tahun Pertama Hijriyah.

Terwujudnya Piagam Madinah merupakan bukti sifat kenegaraan Muhammad. Beliau tidak hanya mementingkan umat Islam, tetapi juga mengakomodasi kepentingan orang-orang Yahudi dan mempesatukan kedua umat serumpun ini di bawah kepemimpinannya. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad berhasil menciptakan persatuan dan kesatuan serta persaudaraan di antara kaum muhajirin dan anshar, juga antara suku-suku di kalangan anshar sendiri. Di kalangan anshar, Nabi diakui telah merekat kembali hubungan antarsuku yang sebelumnya selalu  bermusuhan.

Terhadap orang Yahudi, Nabi membangun persahabatan dan menghormati keberadaan mereka. Karena bagaimanapun, kaum Yahudi adalah penduduk Madinah juga yang telah tinggal sejak abad pertama dan kedua Masehi, jauh sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Sehingga tak heran bila kaum Yahudi diberikan kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Ditambah lagi kaum Yahudi pun mengakui kepemimpinan Nabi Muhammad. Hal ini tercermin dari kesediaan mereka untuk meminta putusan atas berbagai perkara kepada Nabi Muhammad saw.

Di dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai kepala negara dalam  arti yang sesungguhnya, Nabi Muhammad dibantu oleh para sahabat dalam melindungi dan mengayomi rakyatnya. Termasuk melakukan berbagai diplomasi politik di luar negeri. Nabi saw. selaku penerima kekuasaan senantiasa melindungi rakyatnya, memenuhi kebutuhan mereka dan membawa mereka ke dalam kesejahteraan. Adapun acuan yang diterapkan Nabi saw. dalam perannya sebagai kepala negara di Madinah adalah berdasarkan perjanjian yang ada dalam konteks bai’ah al-‘aqabah, di mana dalam perjanjian tersebut ada hak dan kewajiban secara berimbang antara kedua belah pihak.

Dengan demikian apa salahnya sebagai seorang muslim jika mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. termasuk membentuk sistem pemerintahan Islam yang berlandasrkan Al-Qur’an dan sunah. Karena mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah bukti kesempurnaan iman setiap muslim. Wallahu a’lam bisshowab.[]

 

*Penulis tinggal di Konawe

Comment