Yuni Auliana*: Haram Sistem Pemerintahan Ala Nabi Muhammad SAW?

Opini745 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Lagi dan lagi, narasi-narasi menyudutkan, negatif dan ketidaksukaan terhadap ajaran Islam yang dianggap ‘radikal’ kembali dimunculkan oleh tokoh bangsa ini.

Dengan dalih ajaran tersebut menyebabkan seorang menjadi ‘radikal’ beragam narasi yang mencerminkan ketidaksukaan terhadap ajaran Islam misalnya Khilafah.

Bukan sekali dua kali ini saja pernyataan tersebut dikeluarkan, tapi sudah berkali-kali keluar dari lisan seseorang yang seharusnya menjadi tokoh pemersatu bangsa di negara ini.

Ajaran khilafah dan jihad pun berupaya direduksi sehingga menimbulkan friksi dan kegaduhan.

Satu contoh narasi yang disampaikan oleh Prof Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad Saw haram hukumnya.

Hal tersebut disampaikan pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1).

Alasannya, pemerintahan Nabi Muhammad menggunakan sistem legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Semua peran itu berada dalam diri Nabi Muhammad SAW sendiri.

Nabi berhak dan boleh memerankan ketiga-tiganya karena dibimbing langsung oleh Allah SWT. Bahkan Prof Mahfudz MD mempertanyakan, apakah kita itu seorang Nabi. Menurutnya, tidak jadi masalah mengambil bentuk sistem pemerintahan apapun.

Di Indonesia mengambil sistem presidentil republik. Malaysia mengambil sistem kerajaan.

Narasi tersebut sangat tidak simpatik mengingat kapasitas beliau sebagai seorang muslim dengan kata mengharamkan ummat untuk meniru sistem pemerintahan ala Nabi Muhammad tersebut.

Padahal sudah begitu jelas bahwa sebagai umatnya, kaum muslim diperintahkan untuk mencontoh Nabi akhir zaman sebagai uswatun hasanah dalam keseluruhan persoalan baik yang terkait langsung dengan kepribadian beliau hingga aspek politik dan kebijakan pemerintahan.

Hal ini termaktub di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi, “Sungguh bagi kalian, terdapat contoh tauladan yang baik pada pribadi (dan ajaran dalam segala hal dari) Rasulullah SAW”.

Ini menunujukkan bahwa mencontoh Rasul itu bukan sesuatu yang diharamkan namun diperintahkan oleh Allah.

Menanggapi statement dari Prof Mahfud MD tersebut, Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat Anton Tabah mengingatkan Mahfud untuk lebih hati-hati dalam berbicara dan segera bertaubat atas kesalahan yang diperbuat. Apalagi sampai mengharam-haramkan perilaku Nabi untuk diikuti, maka dia harus segera bertaubat.

Perlakuan tegas pernah dicontohkan oleh ulama Al-Azhar saat Syeikh Ali Abd Roziq membantah pendapat para fuqaha dan politisi tentang bentuk pemerintahan Islam dengan menyatakan, “baik kepentingan agama maupun dunia, tidak memerlukan adanya khilafah.”

Ia menilai, para fuqaha termasuk Ibnu Khaldun salah baca dalam menilik risalah Muhammad SAW karena berpendapat bahwa agama dan politik merupakan satu kesatuan.

Dalam sebuah buku yang berjudul “The Abolition of the Caliphate and Its Aftermath” karya Sylvia G Haim, pada halaman 236 digambarkan kegemparan besar di Mesir saat merespon pandangan Syeikh Abdur Raziq.

Majelis Ulama Besar al-Azhar di bawah kepemimpinan Syeikh al-Azhar Muhammad Abi al-Fadl mengadakan, sidang untuk membahas pemikiran Abdur Raziq tersebut. Kemudian, hasil persidangan tersebut menyetujui keputusan pemecatan Ali Abdul Raziq dari Korps Ulama al-Azhar dan dari semua jabatannya.

Itulah sikap regas terhadap pendapat yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam apatah lagi pandangan yang mengharamkan apa yang diwajibkan.

Terdapat dua hal penting yang perlu digarisbawahi menyangkut statement Prof Mahfud MD.

Pertama, menganggap bahwa bentuk sistem pemerintahan di dalam Islam tidaklah baku. Padahal Rasul telah bersabda:

“Dulu Bani Israil segala urusannya di tangan seorang nabi. Ketika satu nabi meninggal dunia, akan diganti nabi lainnya. Dan sungguh tidak ada nabi setelahku. Maka akan ada banyak Kholifah (yang datang silih berganti). (HR muslim).

Artinya,Nabi sudah menentukan adanya Kholifah sepeninggal beliau. Seorang Kholifah bukanlah kepala negara di dalam sistem demokrasi, namun dalam sistem yang khusus yaitu Khilafah.

Kedua, digunakannya konsep Trias Politika Demokrasi untuk menghukumi sistem pemerintahan Islam. Padahal, konsep Trias Politika muncul dengan latar belakang praktek pemerintahan di Barat yang menempatkan kaisar sebagai pemegang kekuasaan absolut. Sehingga, muncullah revolusi sosiall di Perancis.

Dengan demikian, dibuatlah konsep Trias Politika agar kekuasaan bisa seimbang dan pemerintah tidak sewenang-wenang.

Sedangkan, sistem pemerintahan Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah SAW yang dicontohkan langsung oleh Beliau dan diwariskan kepada ummatnya.

Sesungguhnya Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi umatnya, termasuk dalam sistem pemerintahan. Bahkan, para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali juga adalah seorang Khalifah yang disebut sebagai Khulafaurrasyidin

Sistem keKhilafahan ini terus berlanjut di masa Umayyah, Abbasyiyah, dan Utsmaniyyah yang menaungi hampir 2/3 dunia selama 1300 tahun.

Prestasi inilah yang hingga detik ini tidak pernah bisa dicapai oleh sistem pemerintahan manapun di dunia kecuali sistem Khilafah. Wallahu’alam bis showab.[]

*Yuni Auliana Putri, Saat ini bekerja sebagai guru. Sosok yang menyukai bidang science, sosial, politik dan Islam.

Comment