Yuli Ummu Raihan |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sejauh-jauhnya bangau terbang, baliknya ke kubangan jua, sejauh-jauh seseorang pergi merantau pasti akhirnya akan pulang ke kampung halamannya.
Lebaran tinggal menghitung hari, dan tradisi tahunan yang wajib bagi para perantau adalah mudik atau balik kampung. Ajang kumpul keluarga, melepas kerinduan, berbagi kasih sayang, dengan handai taulan serta mengistirahatkan tubuh dan pikiran sejenak dengan suasana kampung.
Ratusan bahkan ribuan kilo meter rela ditempuh dengan berbagai macam moda transportasi, mulai dari pesawat terbang, bis, kereta, kapal laut, mobil pribadi, bahkan kendaraan roda dua pun dijalani agar bisa mudik ke kampung halaman.
Rela antri, berdesak-desakan, bermacet ria di jalanan, menjadi sesuatu yang terpaksa dinikmati pemudik.
Fenomena mudik ini memang unik dan tidak terdapat di semua negara, biasanya antusias pemudik mulai terlihat dan terasa seminggu sebelum lebaran, para perantau berbondong-bondong meninggalkan ibu kota menuju kampung halaman baik perorangan, maupun yang teroganisir.
Lalu bagaimana asal usul mudik ini sebenarnya?
Istilah mudik ternyata diambil dari bahasa jawa Ngoko yang merupakan singkatan dari “mulih dilik” yang artinya pulang sebentar. Jadi sebenarnya mudik itu tidak identik dengan lebaran, hanya saja menjadi fenomena karena dilakukan secara masif di momen lebaran.
Seiring waktu kata mudik mengalami pergeseran makna, mudik dikaitkan dengan kata ” udik” yang artinya kampung, desa, dusun atau lawan kata kota.
Sehingga kata mudik diartikan sebagai sebuah kegiatan seseorang pulang ke desa atau kampung halamannya.
Sejak kapan mudik ini?
Bagaimana awal mula tradisi ini ada?
Ternyata mudik sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rizki.
Istilah mudik lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an, saat itu Jakarta sebagai ibukota menjadi satu-satunya daerah yang mengalami perkembangan pesat. Jakarta menjadi magnet tersendiri bagi penduduk desa untuk mengadu nasib. Maka hampir 80% penduduk Jakarta adalah perantau dari berbagai daerah. Mereka ke Jakarta untuk bekerja, berdagang, dan kegiatan lain dan biasanya memanfaatkan momen lebaran untuk pulang ke kampung halaman.
Menurut dosen Sejarah Universitas Sanaya Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno, mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam. Dulu wilayah kekuasaan Majapahit mencakup Sri Langka dan Semenanjung Malaya. Oleh karena itu, pihak kerajaan Majapahit menempatkan pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjaga daerah kekuasaannya.
Suatu ketika pejabat itu akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap raja sekaligus mengunjungi kampung halamannya. Hal inilah yang dikaitkan dengan fenomena mudik.
Bagi masyarakat Betawi mudik berarti ” Kembali ke udik” yang berarti kembali ke kampung, karena saat orang jawa hendak pulang kampung, maka orang betawi mengatakan mereka akan kembali ke udik. Dari sini terjadi penyederhanaan kata dari udik ke mudik.
Di indonesia , mudik amat kuat karena ikatan komunitas yang kental. Ini karena kondisi geografis kita yang berpulau-pulau dan bersuku-suku. Suku menjadi identitas, dan punya daya tarik tersendiri. Setiap perantau pasti merindukan untuk mudik ke kampungnya, bertemu sanak saudara dan bernostalgia masa kecil yang penuh suka duka.
Mudik tak lagi melihat strata sosial semua orang berlomba untuk bisa mudik, menyiapkan bekal, dan sarana dan prasarana mudik. Berbagai motivasi turut menyertai peserta mudik seperti kerinduan pada keluarga khususnya orangtua, silahturahmi dengan sanak saudara, berbagi kebahagiaan, serta ajang eksistensi diri.
Terlepas dari semua itu mudik juga memberi efek pada perekonomian Indonesia. Kebutuhan akan moda transportasi membuat perkembangan jasa transportasi makin berkembang, pembangunan insfraktruktur seperti jalan, bandara, pelabuhan, tol, dan sebagainya. Bagi daerah kunjungan para pemudik juga memberi keuntungan materi, berbagai pusat kerajinan tangan, serta makanan khas daerah mendapat kelimpahan rizki, penyedia jasa pariwisata, serta para penggerak seni dan budaya pun memanfaatkan ajang mudik ini untuk unjuk gigi kreatifitas mereka.
Ada berbagai arti mudik bagi setiap orang. Yang pasti mudik adalah tradisi yang baik, perlu dilestarikan dan alangkah lebih baik jika diurusi dengan sebaik mungkin oleh pemerintah, agar mudik tidak lagi mengalami kendala seperti sekarang, dimana harga tiket pesawat melangit, tarif tol melonjak, harga bbm naik, kebutuhan hidup meningkat, sementara pendapatan masyarakat tidak mengalami peningkatan, sehingga banyak yang terpaksa hanya memendam rindu untuk bisa mudik ke kampung halaman. Dan menikmati mudik online yaitu merasakan suasana kampung halaman dari unggahan foto, vidio, dan siaran langsung dari orang yang beruntung bisa mudik lebaran.[]
*Member Akademi Menulis Kreatif
Comment