Yuchyil Firdausi, S.Farm, Apt: Karhutla Melanda Nafas Tersandera

Opini681 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Ratusan ribu hektar hutan dan lahan gambut yang memiliki berbagai fungsi penting bagi kehidupan ratusan juta orang, kembali terbakar untuk puluhan kalinya. Asap Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) telah mengepung Sumatera dan Kalimantan.

BNPB mencatat, hingga Senin 16 September 2019 karhutla telah menghanguskan total 328.724 ha yang terhitung sejak Januari-Agustus dengan total 2.583 titik panas (cnnindonesia.com/16/09/2019).

Dampak kerusakan lingkungan yang mengerikan dan polutan berbahaya yang dihasilkan begitu mudah diindera. Udara terasa semakin panas dan tidak nyaman untuk bernafas.

Menurut situs resmi BMKG.go.id bahwa kualitas udara di Pekanbaru pada pukul 18:00 WIB berada pada angka 327.89 μgram/m3 dimana sudah berstatus berbahaya (cnnindonesia.com/16/09/2019). Pengidap ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) terus berjatuhan, khususnya di wilayah disekitar kejadian. Penderita ISPA sepanjang 2019 sebanyak 281.626 orang terdampak. Angka ISPA dalam empat tahun berturut-turut (2014-2018, 639.548, 720.844, 565.711, dan 529.232 orang terdampak (www.mongabay.co.id/ 12/09/2019/). Tak hanya warga, beberapa anggota Tim Manggala Agni setelah lebih dari 100 hari masa pemadaman api, mulai mengalami penurunan kesehatan. Tim Manggala Agni cukup banyak, tetapi peralatan minim (www.mongabay.co.id/ 12/09/2019/)

Kepolisian pun telah menetapkan 230 orang tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Rincian para tersangka itu adalah di Riau sebanyak 47 tersangka, Sumatera Selatan 27 tersangka, Jambi 14 orang tersangka, Kalimantan Selatan dua tersangka, Kalimantan Tengah 66 tersangka, Kalimantan Barat 62 tersangka, dan Kalimantan Timur 12 tersangka (cnnindonesia.com/18/09/2019).

Sedangkan untuk tersangka korporasi ada 5. Lima perusahaan itu adalah PT SSS di Riau, PT Bumi Hijau Lestari di Sumatera Selatan, PT Palmindo Gemilang Kencana di Kalimantan Tengah, dan PT SAP dan Sizu di Kalimantan Barat (cnnindonesia.com/18/09/2019).

Bagaimana pun, ini menjadi bukti, rezim dengan berbagai program neolibnya gagal mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut. Penyelesaiannya hanya berkutat pada masalah teknis pasca terjadi karhutla dan kabut asap, dimana setelah api muncul baru bertindak. Padahal mencegah karhutla dan kabut asap bukan hanya perkara teknis tetapi menyangkut paradigma pengaturan urusan kepemilikan dan pengelolaan hutan dan lahan yang seharusnya dilakukan oleh Negara.

Namun, kepemilikan hutan dan lahan kini justru dimiliki oleh individu termasuk swasta dan pengusaha besar. Harus diakui betapa bahayanya tindakan pemerintah yang menfasilitasi kapitalisasi lahan dan hutan gambut. Berupa, pemberian hak kosensi kepada sejumlah korporasi perusahaan baik kebun sawit maupun kebun kayu. Bagi perusahaan besar, konsensi lahan luas yang dikelola demi keuntungan lebih besar maka biaya awal harus ditekan, salah satunya biaya penyiapan lahan yaitu dengan dibakar.

Sebab dengan pembakaran, menjadi lebih ekonomis, efisien, cepat dan menguntungkan daripada melakukan penebangan dan pembersihan. Dengan demikian, korporasi bisa mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, yang merupakan ciri khas kapitalisme. Yang demikian dilakukan tanpa memperdulikan dampak dari pembakaran lahan tersebut bagi lingkungan.

Namun, sudah menjadi rahasia umum keberpihakan rezim terhadap korporat pemilik lahan sawit begitu besar. Rezim cenderung mempersalahkan masyarakat dan membela korporasi. Demikian pula dalam hal penegakan hukum. Para korporasi pemilik lahan sawit meski sudah terdapat berbagai bukti, namun tetap saja tidak ada tindakan hukum yang tegas yang mampu membuat jera. Meski rezim menyatakan telah menindak tegas 11 perusahaan dengan memberi sanksi denda sebesar Rp 18.3 Triliun, namun menurut LSM Green Peace Indonesia menyebutkan bahwa belum ada dari 11 perusahaan tersebut yang membayar ganti rugi ke negara (www.gelora.co).

Tragisnya lagi, pemerintah justru mendukung korporasi milik lahan sawit berskala besar. Yakni, Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC). Berdasarkan data yang diperoleh CNNIndonesia.com, Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp4,16 triliun. Padahal, setoran yang diberikan Wilmar Group hanya senilai Rp1,32 triliun. (cnnindonesia.com/16/10/2018).

Sementara dalam pandangan Islam hutan dan lahan gambut yang memiliki fungsi ekologi penting bagi kehidupan orang banyak adalah harta milik umum. Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Negara berfungsi sebagai raa’in (pemeliharan urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut sehingga hak setiap individu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya. Ditegaskan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melalui lisannnya yang mulia, yang artinya, “Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR Bukhari). Artinya, apapun alasannya, negara tidak dibenarkan memberikan hak istimewa pemanfaatan hutan dan lahan gambut pada individu atau entitas tertentu, siapapun dia.

Dalam hal sanksi/hukum, Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Ta’zir dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkan. Ta’zir harus menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.

Penerapan pandangan Islam ini menjadi kunci solusi persoalan menahun KarhutLa.[]

Comment