RADARINDONESIANEWS.COM, — Pemerintah berencana kembali membuka sekolah dan memulai pembelajaran tatap muka pada Januari 2021. Hal ini disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim melalui kanal YouTube Kemendikbud (Kompas.com).
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah daerah, sekolah dan orangtua akan diberi kewenangan penuh. Dengan memperhatikan protokol kesehatan, jaga jarak dan pakai masker. Keputusan ini pun mendapat respons beragam.
Banyak pihak justru galau. Di antaranya Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI), dan elemen masyarakat lainnya.
Dari sisi orang tua sendiri akan menjadi galau. Apakah mereka akan melepas putra putrinya kembali sekolah atau tidak. Melihat lonjakan penderita Covid yang terus bertambah dan belum sepenuhnya dituntaskan.
Meski siswa akan terobati kangennya untuk belajar di sekolah, namun mereka tetap was-was akan risiko penularan Covid-19 yang begitu cepat dan tak terduga.
Beban berat juga dirasakan oleh para guru karena pemerintah tidak juga mengeluarkan kurikulum darurat saat pandemi, baik untuk pembelajaran jarak jauh maupun belajar tatap muka saat pandemi. Guru kebingungan karena ketidakjelasan kurikulum dan metode pencapaiannya.
Sementara proses PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) yang sudah berlangsung selama ini saja masih belum efektif karena banyak sekali kendala. Inilah kegalauan yang menyelimuti dunia pendidikan saat ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah tidak sepenuhnya siap dengan pembelajaran tatap muka ke depan. Baik dari siswa maupun Masyarakat sendiri.
Bila ditelusuri, kegalauan tersebut sejatinya muncul karena negara tak memiliki panduan lengkap lagi sahih tentang penyelenggaraan pendidikan. Terlebih di masa pandemi. Dengan carut marut nya kebijakan dalam penanganan Pandemi. Turut menjadi daftar panjang masalah ini tak kunjung usai.
Seharusnya penanganan masalah pandemi sendiri menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Sebab jika masalah pandemi ini tidak diselesaikan dengan baik maka pasti akan berdampak pada masalah kehidupan yang lain. Seperti masalah ekonomi, kesehatan dan lain-lain.
Dalam mengatasi wabah penyakit yang sudah menjadi epidemi bahkan pandemi ini, tidak cukup peran dari segelintir kelompok, komunitas, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diharapkan keseriusan pemerintah Daan ketepatan langkah dalam mengambil tindakan.
Islam sebagai agama dan tatanan hidup bernegara yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebenarnya memiliki solusi bagi seluruh problematik manusia. Problem pendidikan saat pandemi pun sangat bisa diselesaikan mengikuti aturan Islam.
Dalam sistuasi pandemi, Islam –yang terepresentasi dalam sistem Khilafah– menetapkan kebijakan penguncian areal yang terjangkiti wabah saja.
Oleh karena itu, bagi wilayah yang tidak terjangkiti wabah, masyarakatnya berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau belajar tatap muka.
Masyarakat pun tidak perlu khawatir perluasan wabah melalui imported case karena negara telah melakukan tindakan penguncian.
Sementara itu, di area wabah yang sudah dikunci, negara menerapkan secara simultan beberapa kebijakan penanganan wabah. Yakni, prinsip isolasi orang terinfeksi dari yang sehat, social distancing, pengujian cepat serta akurat, pengobatan hingga sembuh dan peningkatan imunitas warga yang sehat.
Hal ini dilakukan dengan menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokoknya secara langsung termasuk kebutuhan pokok individu seperti pangan, perumahan, dan pakaian. Semua itu akan membuat pemutusan rantai penularan yang efektif sehingga wabah tidak meluas dan segera berakhir.
Dengan penanganan wabah seperti ini maka pendidikan dimasa Pandemi tetap bisa dijalankan.
Persoalan pendidikan di masa pandemi tidak akan berkepanjangan. Wilayah yang tak terjangkiti tak perlu galau dengan sekolahnya. Dan pada wilayah yang terjangkiti, negara tetap menjamin hak pendidikan selaras dengan kebijakan penanganan wabah. Wallahu alam bishowab.[]
*Penulis dan Penggiat Literasi
Comment