Wulan Amalia Putri, S.S.T*: RUU Minol Disoal, Apa Kabar Dengan Moral?

Opini603 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Perhatian Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap masalah sosial semakin meningkat. Hal ini bisa dilihat dari maraknya penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Meskipun kadang tak sesuai ekspektasi pada saat pengesahan, namun paling tidak ada yang sedang diupayakan.

Seperti halnya saat ini, Baleg DPR sedang kembali membahas mengenai Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol (RUU Minol). RUU ini diusulkan oleh anggota DPR RI dan masuk dalam Prolegnas DPR RI 2019-2024.

Usulan RUU ini berasal dari fraksi berbeda yakni PPP dan PKS.
Salah satu pengusul dari Fraksi PPP, Illiza Sa’aduddin Djamal, menyebut aturan ini amanat UUD 1945 dan ajaran agama. Tujuan para pengusul RUU Minol ini adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari para peminum Minol serta menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minol.

Untuk mengakomodasi keinginan dan pandangan Pemerintah mengenai pengaturan minuman berlakohol ini, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, meminta agar rancangan ini dikomunikasikan dengan pemerintah. Sebab, jangan sampai terjadi perbedaan pandangan mengenai aturan dan sanksi-sanksi yang akan dimunculkan melalui Rancangan Undang-Undang ini, yang dapat menimbulkan masalah di masyarakat.

Malah Tuai Polemik

Tak semua niat baik mendapat respon positif dari masyarakat. Beberapa pihak memandang bahwa pengaturan Minuman Beralkohol dalam Undang-Undang adalah bentuk ketidakdewasaan negara dalam menjamin kebebasan berperilaku masyarakat. Memang, RUU ini mengatur sejumlah ancaman hukuman bagi pengonsumsi minol berupa pidana penjara maksimal dua tahun penjara atau denda maksimal Rp. 50 Juta.

Sanksi pidana dan denda ini ini akan bertambah jika peminum melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban umum atau mengganggu keamanan bagi orang lain. RUU ii juga tidak hanya menyasar para peminum tetapi juga menyasar produsen dan penjual minol.

Dalam RUU disebutkan bahwa sanksi pidana berupa denda hinga Rp. 1 Milyar menanti bagi siapapun yang menjual minuman beralkohol di Indonesia. Ancaman sanksi ini juga berlaku bagi orang-orang yang memasukkan, menyimpan serta mengedarkan minuman beralkohol di wilayah Indonesia.

“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit (2) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),” bunyi pasal 19 RUU Larangan Minuman Beralkohol seperti dikutip dari draf yang diunggah perkumpulan ICJR. (cnnindonesia.com,12/11/2020)

Sanksi juga diberikan kepada pihak yang memproduksi minuman beralkohol. Mereka diancam penjara 2-5 tahun atau denda Rp. 200 juta hingga Rp1 miliar.

Jika mengakibatkan kematian, hukuman ditambah 1/3. Hukuman pidana juga disiapkan bagi konsumen. Orang yang mengonsumsi minuman beralkohol bisa dipenjara 3 bulan sampai 2 tahun atau denda Rp10 juta hingga Rp50 juta. (cnnindonesia.com,12/11/2020).

Legislasi sanksi yang dirancang ini membuat keberatan berbagai pihak. Lebih dari itu, penetapan ini dianggap menyalahi prinsip legislasi ala demokrasi. Karena itu pro dan kontra timbul menanggapi RUU ini.

Reaksi penolakan datang dari 3 (tiga) partai besar yakni PDIP dan Golkar. Menurut Baleg Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, RUU Minol tidak memiliki alasan yang mendesak dan signifikan untuk dibahas.

“Kalau kita timbang dan timang urgensi dan signifikansi sebagai Baleg yang mempunyai tugas membuat begitu banyak UU, melihat konteks dan momentumnya saya kok melihat belum masuk saat ini,” ujar Hendrawan dalam rapat Baleg DPR, Selasa 17 November 2020. (minenews.id,17/12/2020)

Senada dengan hal ini, Baleg Fraksi Golkar John Kennedy Aziz menyiratkan penolakan karena masalah minol belum dibicarakan dengan pemerintah.

Kemudia, jika ditilik dari sisi UU Cipta Kerja, RUU Minol berpotensi bertentangan dengan UU baru tersebut. Mengingat, tujuan pengembangan UMKM-beberapa diantara- adalah memproduksi minuman berlakohol.
Bagi pihak yang pro terhadap RUU minol, seperti PKS, alasan sosiologis dan tingginya angka kematian akibat minuman beralkohol cukup kuat untuk melarang minuman ini beredar bebas.

“Alasan kenapa kita usulkan? Secara sosiologi, secara fakta sosial, bahaya terhadap minol ini sudah cukup lampu merah menurut saya. Karena paling tidak 58% dari total kriminal yang terjadi di negara kita karena konsumsi minuman keras,” kata Bukhori saat dihubungi SINDOnews. (nasional.sindonews,13/11/2020)

“Kedua, kematian terhadap manusia di WHO sendiri mencatat pada 2011 sudah ada 2 koma sekian juta. Pada tahun 2014, lebih dari 3,3 juta yang meninggal dunia karena itu. Dan di negara kita, yang mengkonsumsi minol untuk anak muda yang jumlah 60 jutaan itu sekitar 14 juta 400 orang itu mengkonsumsi alkohol, ini data tahun 2014,” katanya. (nasional.sindonews,13/11/2020)

Namun, adanya pro kontra mengenai RUU ini masih saja membuat kaget. Bagaimana tidak, di tengah kondisi masyarakat yang semakin bebas dalam mengkonsumsi alkohol, RUU yang akan mengatur hal tersebut masih saja ditolak. Bukankah dampak buruk alkohol dirasakan oleh semua anak bangsa?

Menentukan Arah Kebijakan

Kebijakan yang dipandang baik secara moral belum tentu dipandang baik secara sosial. Buktinya, RUU Minol yang dipandang baik bagi moral anak bangsa dipandang mencederai demokrasi dan prinsip kebebasan berperilaku di dalamnya.

Lalu apakah yang seharusnya menjadi dasar dalam menentukan arah kebijakan? Inilah hal fundamental yang harus ditentukan lebih dulu sebelum menyusun arah kebijakan negara. Sebab dengan dasasr yang benar maka kontroversi tidak akan terjadi.
Sebagai makhluk yang bernyawa dan makhluk ciptaan Allah SWT, tentu saja segala kebijakan harus berdasar pada aturanNya.

Sebab, aturan dari Tuhan Semesta Alam tidak akan membawa kebingungan dan keburukan pada manusia. Aturan Rabb hanya akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi manusia.

Terdapat beberapa prinsip yang menjadikan aturan Allah SWT membawa kebaikan bagi manusia. Pertama, Konsep kedaulatan. Dalam Islam, kedaulatan adalah milik Allah, As Syari’.

Maka, manusia dan penguasa hanya menjalankan ketentuan yang telah Allah tetapkan dan melaksanakan serta menjalankan syariat Allah sebagai hukum yang berlaku atas manusia.

Sehingga, konsep kebenaran semata-mata dari Allah SWT, bukan dari manusia yang memiliki perbedaan dalan sudut pandang terhadap berbagai masalah, yang berptensi menimbulkan konflik.

Kedua, pengambilan keputusan. Dalam demokrasi, dasar pengambilan keputusan produk hukum dan undang-undang bukan pada kebenaran yang baku, namun dari suara mayoritas yang mewakili rakyat di DPR/MPR.

Sementara dalam Islam, Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung pembahasan materinya, di antaranya (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.

Ketiga, kepastian hukum. Dalam Islam, Alquran dan Sunah menjadi rujukan hukum yang bersifat tetap. Hal itu memberikan kepastian hukum jangka pendek maupun panjang. Hukum Islam tidak akan berubah dari masa ke masa.
Berkaitan dengan RUU Minuman beralkohol, seharusnya dasar inilah yang menjadi arah kebijakan pengambilan keputusan.

Masalah minuman keras bukanlah masalah pribadi, golongan, ras dan agama. Masalah minuman beralkohol yang dapat mengakibatkan terganggunya ketertiban umum adalah masalah bersama bangsa Indonesia. Semua elemen bangsa harus optimis bahwa Indonesia akan lebih baik, maju dan sejahtera dengan arah kebijakan yang tepat. Wallahu a’lam Bishawwab.[]

Comment