Wirajuddin*: Menulis Tanpa Membaca Buku

Opini716 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Hari ini tepat pada tanggal 23 April yang dikenal sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia atau biasa disebut dengan Hari Buku Sedunia yang setiap tahunnya diperingati oleh dunia.

Kurang lebih 24 tahun yang lalu, hari buku sedunia ini ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB atau United Nations of Educatioal, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Latarbelakang penetapan ini mengingat banyak para penulis yang meninggal dunia tepat pada tanggal tersebut, seperti William Shakespeare dan Inca Garcilaso de la Vega, Miguel de Cervantes dan beberapa penulis lainnya.

Perayaannya sebagai momentum untuk mengenang dan menghargai para penulis yang telah meninggal dunia namun karyanya masih membawa dampak. Sebab di dalam bukulah teori-teori, pemikiran-pemikiran serta pengalaman-pengalaman dituliskan dan diabadikan meskipun penulisnya telah pergi, tenggelam meninggalkan waktu.

Perayaan buku sedunia ini menyadarkan kita betapa pentingnya sebuah buku. Buku mengambil peranan penting bagi perjalanan hidup intelektual manusia, karena tanpa buku manusia tidak akan bisa mencapai hidup modern seperti sekarang ini.

Karenanya tak ada alasan untuk tidak membacanya. Saya mengingat, senior-senior di kampus tak henti-hentinya mendorong adek-adeknya termasuk saya untuk terus membaca buku, karena buku adalah gudang ilmu, jendela dunia kata dia.

Bahkan mereka berkata untuk menjadi seorang penulis harus rajin dan banyak membaca buku. Namun menurut saya dengan cara pandang yang seperti itu adalah hal yang keliru, kok bisa keliru, kenapa?

Karena membaca buku bukan lagi satu-satunya cara agar kita bisa menjadi penulis, di era sekarang ini, ada banyak referensi lain yang biasa dijadikan rujukan untuk bisa menulis, misalnya e-book, media online, jurnal dan lainnya. Intinya dengan banyak membaca, ide dan gagasan pun mudah dituangkan dalam bentuk tulisan.

Kualitas standar Ide maupun gagasan yang dituangkan sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kita membaca, membaca referensi apapun, jika hanya membaca buku dijadikan standar tinggi-rendahnya kualitas ide dan gagasan, maka ini akan terjadi kesalahan mengukur kualitas ide dan gagasan. Meskipun dulu banyak penulis hebat yang menggambarkan keagungan buku, misalnya Barbara Tuchman, dia adalah sejarawan dan penulis berkebangsaan Amerika (1989). Ia pernah berkata, “Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran mancet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercesuar yang dipancangkan di samudra waktu.”

Selain itu, Tan Malaka juga pernah berkata seperti ini “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan minuman dikurangi.”

Mercontoh penulis hebat yang karya dan pemikiran pemikirannya banyak mengubah manusia, mengubah cara berpikir, cara pandang dan cara bertindak.

Maka tidak salah jika mereka mengambarkan keagungan buku sebagai referensi utama. Namun, untuk di masa sekarang ini, mungkin buku tidak begitu lagi diagung-agungkan untuk dijadikan referensi utama, sebab ada banyak media lain yang bisa dijadikan referensi, seperti yang telah disebutkan tadi.

Tidak salah jika kita beranggapan membaca buku merupakan cara agar kita bisa menulis sesuatu, tapi kurang tepat juga jika kita menjadikan buku sebagai satu-satunya cara untuk bisa menulis sesuatu, baik itu ide, pemikiran maupun gagasan. Dan akhirnya kita bebas memilih, apakah kita mau menulis dengan menggunakan buku sebagai referensi atau menggunakan referensi selain buku.

Kita bebas memilih diantaranya, namun pilihlah berdasarkan argumen logis dan tentunya sesuai kebutuhan, jangan sampai memilih berdasarkan perasaan semata, sebab memilih berdasarkan perasaan tanpa argumen logis akan menendakan apakah kita rajin membaca atau tidak?

Sekali lagi, substansinya adalah membaca, jika kita ingin menuliskan sesuatu maka membacalah terlebih dahulu, terserah apakah kita ingin membaca buku atau membaca media lain atau bahkan hanya sekadar membaca realita.

Sedikit catatan yang perlu diperhatikan, “Jangan sampai dengan membaca buku, nalar kita terpenjarakan, karena telah mengikuti alur pemikiran dari buku yang telah kita baca. Mari kita sama sama terus membaca namun tetap memerdekakan pikiran kita, tetap membiarkan pikiran kita melayang di udara, sehingga tidak ada yang dapat menebak alur berpikir kita. Seseorang bisa menjatuhkan kita jika ia telah mengetahui alur berpikir kita”.[]

*Mahasiswa UIN alauddin Makassar

Comment