Watini Alfadiyah, S.Pd*:Arah Asesmen Pendidikan, Hendak Kemana?

Opini651 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dalam rangka mempertimbangkan taraf keberhasilan peserta didik kini sistem asesmen gencar dibicarakan.

Sistem asesmen yang digadang-gadangkan Kemendikbud akan menggantikan ujian nasional (UN) memerlukan perhatian yang lebih, terutama pada kemampuan guru. Pasalnya, guru akan menjadi kunci keberhasilan sistem tersebut.

Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, dalam membuat suatu asesmen diperlukan ilmu dan tata cara baru. Kemendikbud, meski mengotonomikan proses penilaian siswa pada guru, bukan berarti bisa lepas tangan.

Pemerintah justru harus memberi pembinaan yang cukup dan menjamin setiap sekolah bisa menjalankan dengan baik proses asesmen ini. Pasalnya, guru lah yang akan mewujudkan program Merdeka Belajar itu bisa berjalan dengan baik atau tidak.

“Jadi, saya kira tetap fokusnya dan prasyarat atau kunci keberhasilan sebenarnya ada di guru. Pemerintah harus tetap memberi pembinaan yang cukup dan menjamin setiap sekolah mampu menjalankan dengan baik juga,” tandas Hetifah seusai diskusi “Asesmen Nasional Dapatkah Mengembalikan Esensi Belajar?” di Kantor Kemendikbud, Jakarta, kemarin.

Politikus Golkar ini mengatakan bahwa para ahli bisa didatangkan untuk melatih para guru.

Para ahli dari Indonesia, NGO yang fokus pada bidang pendidikan, dan atau para ahli dari PISA juga bisa bekerja sama untuk memberikan kompetensi tambahan pada guru dengan metode baru ini sehingga niat dasar Kemendikbud bisa terwujud.

Berbicara tentang pendidikan itu tidak hanya terkait dengan satu bidang. Jika saat ini ada program asesmen, hal ini juga terkait dengan kurikulum dan guru. Namun, dia menilai yang paling penting adalah kesiapan guru.

“Karena kita sudah launching maka next step-nya adalah berikan kemampuan guru-guru itu sesuai yang dibutuhkan. Agar tahun depan, khususnya di 2021 ini, sudah terwujud,” tandasnya. (JAKARTA, Jum’at/ 20/12/2019/SINDOnews).

Sistem asesmen yang digadang-gadang oleh Kemendikbud ternyata tidaklah di godok secara mandiri. Kini telah melibatkan Program Penilaian Pelajar Internasional (Program For Internasional Student Assessment/PISA).

PISA adalah penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiap tiga tahun, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun, dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh organisasi untuk kerjasama dan pengembangan ekonomi (OECD).

Tujuan dari studi PISA adalah untuk menguji dan membandingkan prestasi anak-anak sekolah di seluruh dunia, dengan maksud untuk meningkatkan metode-metode pendidikan dan hasil-hasilnya. Ini dari sisi penilaian dimana guru harus mendapatkan pelatihan darinya.

Selain itu juga melibatkan Non Government Organisation (NGO) atau organisasi non pemerintah. Maksud dari non pemerintah disini adalah tidak menggantungkan sumber dana kegiatan dari pemerintah.

Di Indonesia lebih dikenal dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ini dari sisi pelaksanaan terkait dengan penilaian guru atau pihak sekolah bisa bekerjasama dengan LSM.

Dengan begitu terlihat bahwasannya pelaksanaan sistem assesmen/penilaian disini pemerintah mengotonomikan pada guru atau pihak sekolah, namun tidaklah berlepas tangan sehingga pemerintah memberikan pembinaan dan bimbingan, tapi dalam hal ini justru menggandeng pihak luar sekolah yang konon kabarnya guru diberi kemerdekaan berfikir.

Disini, keberadaan guru ternyata diberi pelatihan dan bimbingan oleh pihak luar yaitu PISA. Sementara dalam hal pelaksanaan pembinaannya diharapkan sekolah mampu mandiri atau mungkin bekerjasama dengan LSM/NGO.

Jadi pada dasarnya, asesmen tenaga pendidik dengan diarahkan untuk ditangani oleh NGO dan PISA lalu kemana arah pendidikan negeri ini?

Arah assesmen pendidikan negeri ini tentu akan berjalan searah dengan pembinanya yaitu PISA yang merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation For Economic Cooperation and Development (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia.

Setiap tiga tahun siswa usia 15 tahun dipilih secara acak untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan (aplikasi) dengan pengetahuannya.

Sementara, pendidikan kita sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003 pada pasal 3 jelas ditulis “bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa…..”.

Dengan begitu terlihat bahwa assesmen disini hanya mengarah pada keilmuan semata tidak membentuk pribadi yang bertaqwa yang dalam prakteknya memisahkan agama dari kehidupan (sekuler),

Jadi keberadaan antara ilmu dan agama tidak integral dengan begitu tidaklah bisa membentuk pribadi yang bertaqwa. Akhirnya bertolak belakang dengan tujuan pendidikan nasional negara kita.

Lalu, bagaimana Islam memandang masalah penilaian terhadap peserta didik?

Dalam rangka mempertimbangkan taraf keberhasilan pencapaian tujuan, evaluasi harus dilakukan secara bertahap untuk semua jenjang pendidikan. Bagi seorang guru, terutama yang bertanggung jawab memegang suatu bidang studi, tugas evaluasi itu difokuskan pada tingkat instruksional.

Oleh karena itu setiap guru disamping harus mahir merumuskan tujuan-tujuan instruksional secara cermat, juga harus mahir dalam mengembangkan dan menggunakan instrumen evaluasi serta dapat melakukan penilaian (scoring) dan penafsiran (interpretasi) hasilnya.

Secara umum dikenal dua jenis evaluasi atau penilaian, yaitu penilaian kegiatan dan kemajuan belajar yang biasa disebut evaluasi manajerial, dan penilaian hasil belajar atau yang lebih populer disebut tes dan pengukuran hasil belajar.

Kedua evaluasi tersebut dipandang sangat penting untuk mengukur berbagai masukan kekuatan dan kelemahan dari berbagai komponen yang terdapat dalam suatu proses belajar mengajar.

Informasi-informasi ini pada akhirnya akan dipergunakan untuk memperbaiki kualitas proses belajar mengajar itu sendiri.

Dan sebagai tujuan akhirnya, hasil-hasil evaluasi ini akan bermanfaat untuk mengoptimalkan proses belajar mengajar peserta didik.

Berdasarkan hal ini maka guru harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut :
Pertama, amanah yaitu bertanggung jawab dalam keberhasilan proses pendidikan.
Kedua, kafa’ah atau memiliki skill(keahlian) di bidangnya.

Ketiga, himmah atau memiliki etos kerja yang baik.

Keempat, berkepribadian islam. Wallahu a’lam bi as-showab.[]

*Praktisi pendidikan

Comment