RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Pendidikan merupakan kebutuhan, yang pemenuhannya harus bisa dirasakan oleh setiap warga negara. Namun, dengan adanya sistem zonasi kini dalam penerapannya menuai masalah.
Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Dalam aturan itu diatur soal penerimaan siswa menggunakan sistem zonasi. Bahkan bagi yang memalsukan syarat, bisa dipenjarakan.
Hal itu sebagaimana detikcom kutip dari Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Kejuruan, Senin (30/12/2019).
Dalam Permendikbud itu, masuk TK-SMA melalui 4 jalur, yaitu:
1. Zonasi
2. Afirmasi
3. Perpindahan tugas orang tua/wali; dan/atau
4. Prestasi
Jalur zonasi sebagaimana di atas diperuntukkan bagi peserta didik yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah. Untuk menentukan masuk zona mana, harus dibuktikan berdasarkan alamat pada kartu keluarga (KK) yang diterbitkan paling singkat 1 tahun sejak tanggal pendaftaran PPDB.
“Kartu keluarga dapat diganti dengan surat keterangan domisili dari rukun tetangga atau rukun warga yang dilegalisir oleh lurah/kepala desa atau pejabat setempat lain yang berwenang menerangkan bahwa peserta didik
yang bersangkutan telah berdomisili paling singkat 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya surat keterangan domisili,” demikian bunyi Pasal 14 ayat 4.
Selain menggunakan jalur zonasi, juga menggunakan jalur afirmasi. Jalur ini diperuntukkan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu.
“Peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti keikutsertaan peserta didik dalam program penanganan keluarga tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah,” demikian bunyi Pasal 17 ayat 2.
Nah bagaimana bila ada yang memalsu KK atau mengaku-aku miskin agar bisa masuk sekolah yang diinginkan? Nadiem menyatakan akan menyerahkan sesuai UU yang berlaku. Ancaman itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 39:
Pemalsuan terhadap:
a. kartu keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
b. bukti sebagai peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 dan Pasal 18; dan
c. bukti atas prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
Nah, berdasarkan ketentuan perundang-undangan, bagi yang memalsukan akta otentik bisa dikenai Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara. (Jakarta, 30/12/2019/detik.com).
Permendikbud menetapkan sistem zonasi ini bertujuan untuk menyebar calon siswa dengan kemampuan rata-rata, dan mengurangi status sekolah favorit/unggulan. Juga dalam rangka merevitalisasi pelaksanaan penerimaan peserta didik baru agar berlangsung secara lebih objektif, akuntabel, transparan, non diskriminatif, dan berkeadilan sehingga dapat meningkatkan akses layanan pendidikan.
Namun alih-alih menjadi solusi, ternyata permasalahan akan adanya penerimaan peserta didik baru (PPDB) justru terus terjadi. Suasana yang memprihatinkan berupa demo penolakan masyarakat, berbagai kecurangan, kesulitan akses pendidikan, biaya pendidikan yang memberatkan, hingga kekecewaan pada diri siswa dan fatal akibatnya jika sampai terjerat pasal terkait zonasi.
Pada akhirnya, sistem zonasi PPDB menjadi solusi tambal sulam problem pemerataan pendidikan. Karena pada dasarnya akar masalah pendidikan bukan sekedar soal zonasi, tetapi berkaitan dengan pelayanan dan tanggung jawab negara dalam mewujudkan pendidikan bermutu bagi seluruh warga negara, tanpa kecuali.
Terkait sekolah favorit dan tidak favorit ini muncul karena abainya peran negara dalam menyediakan layanan pendidikan sehingga kemajuan sekolah tidak terkontrol. Lain halnya jika negara sudah menjalankan dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk pendidikan maka sistem zonasi kini tidak akan terjadi, karena semua sekolah sudah merata kualitas dan kuantitas pendidikannya.
Lalu, bagaimana Islam memandang masalah pendidikan?
Pendidikan dalam Islam merupakan hajat atau kebutuhan dasar bagi setiap warga negara. Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang akan memiliki kepribadian Islam, menguasai pemikiran Islam dengan cemerlang, menguasai ilmu terapan, dan akan memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Dalam sistem Islam, tanggung jawab proses pendidikan ada pada negara, dalam hal ini seorang pemimpin/kholifah. Kholifah wajib membuka dan membangun sekolah sesuai dengan jumlah peserta didik yang ada. Kholifah juga wajib menyelenggarakan pendidikan yang mudah di akses untuk semua kalangan, baik kaya atau miskin.
Karena pada dasarnya menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda : “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”(HR. Ibnu Majah).
Dengan demikian, negara menyadari hingga semua pembiayaan (gaji guru, fasilitas sarana dan prasarana pendidikan) ditanggung oleh negara yang dananya diambil dari Baitul Mal.
Negara juga hadir menyiapkan standar kurikulum, yakni kurikulum yang terintegrasi dengan aqidah Islam, menetapkan metode pembelajaran yang baku dalam proses belajar mengajar.
Menyediakan pula tenaga pengajar yang berkualitas berikut kompensasi kesejahteraan yang mencukupi. Negara juga harus mendorong dan memfasilitasi orang tua untuk meningkatkan kemampuannya dalam mendidik anaknya agar tercapai output pendidikan yang diharapkan.
Hingga lahirlah individu-individu terbaik yang memiliki syakhsiyah islamiyah, faqih fii ad-din, terdepan dalam sains dan teknologi serta berjiwa pemimpin.
Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda : “Seorang Imam (Kholifah/Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan begitu, tidaklah ada permasalahan zonasi apalagi sampai mempenjarakan generasi. Wallahu A’lam bi As-showab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment