Wala Dwi Rahayu, S.Pd*: Utang Membengkak, Salah Siapa?

Opini655 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah kembali mengajukan utang baru, padahal utang sebelumnya pun belum juga dilunasi.

Utang pemerintah menjadi polemik yang terus diperbincangkan di tengah masyarakat. Utang pemerintah pada akhir Mei 2020 mencapai Rp5.258,57 triliun.

Secara umum peningkatan posisi utang pemerintah pusat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan akibat pandemi covid yang melonjak drastis.

Dilansir BisnisNews.id — Pemerintah tahun ini berencana menambah utang baru yang amat besar. Nilainya sangat ambisius yakni mencapai Rp1.006 triliun.

Jumlah itu mencapai tiga kali lipat dari utang setiap tahun, dengan dasar Perpu No 1 Tahun 2020 dan dengan dalih menghadapi wabah corona.

“Jika gagal mendapat utang sebesar itu, dan dipastikan APBN ambyar total. Sementara rencana cetak uang Rp6.000 triliun dimentahkan oleh Bank Indonesia (BI) artinya rencana ini ambyar. BI ketakutan,” kata peneliti AEPI Salamuddin Daeng di Jakarta.

Pada saat yang sama, lanjut dia, Pemerintah menanggung beban utang luar negeri yang sangat besar. Demikian juga utang BUMN luar negeri yang juga besar. Hal yang juga paling mengkhawatirkan adalah jika Pemerintah gagal membayar dana dana publik yang dipakai oleh APBN.

Hal ini membuat seolah tak ada alternatif lain dalam menangani pemulihan ekonomi, selain dengan terus berhutang, terkadang mencetak uang, atau dengan terus menaikan pajak yang secara tidak langsung membuat rakyat semakin sengsara.

Seiring penanganan wabah, utang luar negeri Indonesia semakin membumbung tinggi.

Baik untuk defisit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan secara efisien untuk membiayai rakyat d masa pandemi.

Ironis! Negara yang sangat kaya ini tidak bisa lepas dari jeratan utang, bahkan sejak krisis ’98 utang Indonesia senantiasa naik. Dalam APBN saja, anggaran pembayaran bunga utang mencapai ratusan triliun.

Utang luar negeri yang makin menumpuk bisa membawa negeri kehilangan kedaulatan dan menjadi alat penjajahan ekonomi.

Kebijakan negara berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat, namun berpotensi juga dikendalikan oleh kepentingan asing.

Walhasil, undang-undang hasil produk kapitalisme merupakan pesanan asing. Hal itu terlihat negara melakukan liberalisasi besar-besaran di semua sektor produktif.

Sistem kapitalisme bukan hanya cacat dalam penerapanya, namun lebih bahaya lagi karena mereka bisa mendikte para penguasa sebuah negara melalui pinjaman yang membengkak itu.

Dalam sistem pemerintahan islam, negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil.

Sumber pemasukan negara pun jelas dan rinci, yaitu dengan berbasis pos pemasukan. Pos-pos tersebut yaitu Pos Kepemilikan Negara (Fa’I dan Kharaj), Pos Kepemilikan Umum, dan Pos Zakat.

Tiga pos ini mengalirkan harta ke Baitul Mal karena bertumpu pada sektor produktif. Harta Baitul Mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi.

Sistem keuangan yang digunakan pun memakai dinar dirham ( emas dan perak) yang memiliki nilai yang tetap, sehingga tidak mudah rentan mengalami krisis moneter, serta tidak mudah anjlok nilainya sekalipun diterpa krisis.

Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri yang bisa saja menjadi alat politik dan ekonomi yang sangat ampuh bagi negara- negara Barat untuk mencengkeramkan kekuatannya dan mengeksploitasi kekayaan negeri- negeri islam dapat dihindari.
Wallahu’ alam.[]

*Praktisi pendidikan

Comment