Penulis: Jusniati Dahlan | Aktivis Muslimah, Ngaglik, Sleman, DIY
RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA — Belum usai perang melawan narkoba, korupsi, dan pinjol di kalangan masyarakat, muncul kerusakan baru bernama (judol) judi online yang menyeret wakil rakyat negeri ini. (cnn.indonesia.com, 14/06/2024).
Bahkan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, mengungkapkan lebih dari 1.000 orang baik di kalangan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlibat judol.
Ditaksir jumlah uang dan transaksi judol di lingkungan DPR dan DPRD tersebut sangat fantastis. Mencapai lebih dari 63.000 transaksi dengan nominal perputaran hingga Rp 25 miliar. (pikiran.rakyat.com, 26/06/2024).
Faktor utama judol adalah ekonomi. Sulit mendapatkan pekerjaan, yang endingnya mencari solusi jalan pintas untuk menghasilkan uang banyak dengan cepat dan mudah.
Namun, apa kabar jika yang terlibat judol adalah para wakil rakyat yang notabene telah memiliki pekerjaan tetap bahkan memiliki banyak tunjangan. Justru hal ini menjadi tanda tanya besar. Kok bisa? Ada apa dengan wakil rakyat negeri ini?
Miris, melihat fakta memalukan, wakil rakyat justru terseret kasus judol. Padahal harapan masyarakat, wakil rakyatlah yang mampu menghentikan judol. Tetapi kenyataan pahitnya, mereka sendirilah sebagai pelaku atau oknum.
Fakta memperlihatkan wajah buruk kualitas wakil rakyat negeri ini. Mulai dari integritas yang lemah, tidak amanah, dan kredibilitas yang rendah. Di lain sisi, banyaknya wakil rakyat yang terseret kasus judol menguak fakta bahwa masalah ini bukan hanya problem personal tetapi terkait sistem.
Gaya hidup materialistis, standar kebahagiaan terletak pada materi serta sikap individualis menambah daftar panjang semakin tertancapnya pengaruh paham kapitalisme di setiap diri individu-individu. Bahkan telah menjangkiti para wakil rakyat. Tidak mengherankan, sekalipun sudah di gaji sangat tinggi dari uang rakyat, mereka tetap terlibat judol.
Kapitalisme telah mendorong wakil rakyat lebih banyak melegalisasikan kepentingan penguasa dan oligarki. Terbukti dengan undang-undang yang di rancang, bahas, buat dan sahkan sama sekali tidak berpihak pada masyarakat.
Demikianlah potret buram sosok wakil rakyat dalam naungan sistem kapitalis. Mereka direkrut tidak mengutamakan kredibilitas dan representasi (perwakilan) dari masyarakat.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, wakil rakyat disebut sebagai majelis umat. Dalam Islam, majelis umat berfungsi sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasehat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintah.
Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah Saw yang sering meminta pendapat atau musyawarah dengan beberapa orang dari kaum muhajirin dan anshar yang di miliki kaum mereka.
Hal ini juga diambil dari perlakuan Rasulullah saw terhadap orang-orang tertentu di antara para sahabat beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau sering merujuk kepada mereka yang sering diperlakukan khusus untuk mengambil pendapat dibandingkan dengan sahabat-sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abu Thalib, Salman Al-Farisi dan Hudzaifah.
Realitas majelis umat juga diambil dari perlakuan khusus Abu Bakar terhadap beberapa orang dari kaum muhajirin dan anshar untuk menjadi rujukannya dalam meminta pendapat mereka jika terjadi suatu persoalan. Majelis umat pada masa Abu Bakar adalah para ulama dan orang-orang yang alih dalam masalah fatwa.
Abu Bakar dalam menghadapi suatu persoalan, meminta masukan dari para pemikir dan ahli fikih. Abu Bakar memanggil beberapa orang dari kalangan muhajirin dan anshar, memanggil Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Abdulrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab, dan Zaid bin Tsabit.
Masing-masing dari mereka bisa memberikan fatwa pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu bakar terus menjalankan hal itu hingga wafatnya. Lalu Umar bin Khattab di angkat menjadi Khalifah dan seterusnya.
Demikian juga terdapat dalil yang menyeru kaum muslim untuk mengoreksi dan mengontrol penguasa. Kaum muslim telah benar-benar menjalankan aktivitas mengoreksi para pejabat pemerintahan itu pada masa khulafaur rasyidin.
Sebagaimana umat memiliki hak untuk mengangkat wakil dalam menjalankan musyawarah, umat juga berhak mengangkat wakil dalam hal muhasabah.
Semua ini menunjukkan kebolehan untuk membentuk majelis umat secara khusus mewakili umat dalam mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintah serta menjalankan musyawarah yang telah ditetapkan di dalam Al-Quran dan As-sunah.
Demikian halnya dengan orang-orang nonmuslim yang menjadi warga negara, boleh menjadi anggota majelis umat dalam rangka menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka atau pengaduan tentang buruknya penerapan Islam terhadap mereka dan pengaduan dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan untuk mereka.
Majelis umat dipilih melalui pemilu bukan penunjukan langsung. Hal ini dilakukan agar Khalifah dapat mengetahui kebutuhan suatu daerah melalui majelis umat di mana keberadaan mereka adalah wakil individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat secara perwakilan di daerah tersebut.
Orang-orang yang menjadi perwakilan dari majelis umat adalah mereka yang dikenal amanah, bertanggung jawab, dan peduli terhadap kondisi masyarakat di daerah tersebut.
Demikianlah potret kriteria anggota perwakilan rakyat dalam Islam. Wakil rakyat seperti inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Wallahu a’lam bish shawab.[]
Comment