Wakil Rakyat Terlibat Judi Online, Kok Bisa?

Opini209 Views

 

Penulis: Revista Rizky | Mahasiswi Pascasarjana Universitas Negeri Malang

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Meruaknya judi online di tengah masyarakat semakin memprihatinkan, bahkan pelakunya juga para wakil rakyat. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK), Ivan Yustiavandana bahwa lebih dari 1.000 anggota dewan baik itu di DPR RI dan DPRD bermain Judi Online. Jumlah perputaran uangnya mencapai puluhan miliar rupiah.

Ivan menyebutkan bahwa angka yang dipotret PPATK itu terdiri dari legislator maupun mereka yang bekerja di lingkungan Sekretariat Jenderal DPR maupun DPRD.

Jumlah uang dan transaksi judi daring di lingkungan DPR dan DPRD tersebut sangat fantastis. Yaitu mencapai lebih dari 63.000 transaksi dengan nominal perputaran hingga Rp 25 miliar (news.republika.co.id).

Sungguh miris, wakil rakyat harusnya bisa menghentikan judi online, namun nyatanya merekalah yang menjadi pemain di dalamnya. Realitas ini menunjukan betapa buruknya kualitas wakil rakyat, mulai dari integritas yang lemah dan tidak amanah serta kredibilitas yang rendah.

Banyaknya wakil rakyat yang terjebak judi online juga menggambarkan bahwa masalah ini bukan hanya masalah individu namun masalah sistemik.

Masyarakat harus sadar bahwa mereka sedang diatur oleh sistem yang batil yaitu sistem kapitalisme yang memisahkan antar kehidupan dengan agama. Oleh karenanya agama hanya berlaku pada ranah-ranah ibadah, namun bukan sebagai pengatur didalam sistem kehidupan.

Sistem kapitalisme juga berasaskan kebebasan, yang berarti setiap individunya bebas untuk berperilaku, bertindak, dan lain sebagainya. Atas dasar asas inilah orang-orang yang memiliki kekuasaan menjadi serakah karena orientasi sistem kapitalisme adalah materi. Selama ada kesempatan meraup keuntungan besar maka kesempatan itu harus digunakan.

Tidak mengherankan sekalipun para wakil rakyat sudah digaji sangat tinggi dari uang rakyat, mereka tetap terlibat judi online. Ditambah lagi sistem demokrasi yang digunakan sebagai sistem pemerintahan oleh kapitalisme menjadikan anggota dewan hari ini lebih banyak melegalisaskan kepentingan penguasa dan oligarki.

Hal ini terbukti dari undang-undang yang mereka bahas, mereka rancang dan sahkan sama sekali tidak berpihak pada masyarakat. Jadi slogan yang sering disuarakan “wakil rakyat bekerja untuk rakyat” hanyalah slogan kosong.

Seperti iniliah wakil rakyat dalam sistem demokrasi kapitalisme. Mereka direkrut tidak mengutamakan kredibilitas dan representasi masyarakat. Alhasil para wakil rakyat tidak bekerja untuk mewakili rakyat. Namun untuk kesenangan pribadi dan para korporat.

Hal tersebut berbeda dengan para wakil rakyat dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam anggota wakil rakyat disebut dengan Majelis Umat yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum Muslim yang memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan (Kitab Ajhizah Daulah Khilafah).

Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah atau mengontrol dan mengoreksi para penjabat pemerintahan atau al hukam. Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah SAW yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshor yang mewakili kaum mereka.

Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah SAW terhadap orang-orang tertentu diantara para sahabat beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau lebih sering merujuk kepada mereka yang perlakukan khusus dalam mengambil pendapat dibandingkan merujuk kepada sahabat-sahabat lainnya.

Di antara mereka adalah Abu Bakar Ash-Siddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Hamzah bin Abdul Muttalib, Bilal bin Rabbah, Abu Dzar al Ghifary, Sa’ad bin Mu’adz, Sa’ad bin Ubadah, Usayd bin Hudayr, Al Miqdad al Aswad, Hudzaifah al Yaman, dan Salman al Farisi.

Dengan demikian keberadaan Majelis Umat sebagai wakil rakyat bukan untuk melakukan legalisasi seperti perwakilan dalam sistem Demokrasi, namun sebagai pengimbang kekuasaan eksekutif Khalifah. Sebab Allah SWT membolehkan untuk bersyuro atau berdiskusi tentang perkara yang bisa didiskusikan bukan diskusi terhadap hukum syariat.

Allah SWT berfirman yang artinya “Dan bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159).

Dalam kitab Ath Thariq Syaikh Ahmad Athiyat menjelaskan beberapa wewenang utama Majelis Syura, yaitu:

(1) Memberikan pendapat (usulan) kepada Khalifah dalam setiap urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi sebagaimana juga usulan mendirikan sekolah, membuat jalan atau mendirikan rumah sakit. Dalam hal ini pendapat majelis bersifat mengikat.

(2) Mengoreksi Khalifah dan para penguasa tentang berbagai hal yang dianggap mereka sebagai sebuah kekeliruan. Pendapat majelis ini bersifat mengikat, jika pendapat mayoritasnya mengikat pula. Bila terjadi perbedaan dengan Khalifah maka perkara tersebut diserahkan kepada Mahkamah Madzalim.

(3) Menampakkan ketidaksukaan terhadap para wali atau para mu’awin yang melanggar hukum syara’ dan menyulitkan rakyat. Khalifah harus memberhentikan mereka yang diadukan itu.

(4) Memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat khalifah.

Dari sini jelas bahwa keberadaan Majelis Umat adalah representasi umat, berperan penting dalam menjaga penerapan hukum syara oleh pejabat negara dan menyalurkan aspirasi rakyat. Adapun para anggota Majelis Umat terdiri dari umat Islam dan non-Islam, lelaki dan perempuan, berakal, baligh, dan merdeka.

Majelis Umat dipilih melalui pemilu bukan penunjukkan agar Khalifah dapat mengetahui kebutuhan suatu daerah melalui majelis umat. Di mana keberadaan mereka adalah wakil individu-individu, kelompok-kelompok, dan masyarakat di daerah tersebut. Kebutuhan yang demikian hanya bisa direalisasikan melalui Pemilu.

Pastinya orang-orang yang ada dalam Majelis Umat diketahui oleh masyarakat daerahnya sebagai orang yang amanah, bertanggung jawab, dan peduli terhadap kondisi masyarakat.

Demikian rincian wewenang dan kriteria anggota perwakilan rakyat dalam Islam. Bukankah wakil rakyat seperti ini yang dibutuhkan umat? Wallahu ’alam bishawab.[]

Comment