Penulis: Yuli S Ridwan, S.H. | Ekonom di Center Of Research Islamic Economics
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dalam rentang waktu lima tahun sekali, Indonesia kembali sibuk dengan pesta demokrasi. Seperti biasa, maka akan ada aktivitas berupa pemilihan umum untuk memilih pejabat negara, yang nantinya diamanahi tugas untuk mengurusi rakyat.
Mirisnya, demokrasi masih saja laku di tengah rakyat. Padahal, berkali-kali berganti kepala daerah, wakil rakyat dan berganti presiden sekalipun via pemilu di pesta demokrasi, tetap saja kondisi rakyat masih saja stagnan, berkubang problematika umat, mirip seperti benang kusut yang belum terurai.
Secara umum, Indonesia masih belum terbebas dari beragam problematika umat, mulai dari persoalan politik di dalam negeri yang masih tersandera neo-imperialisme, persoalan perekonomian yang masih tersandera hutang luar negeri berbasis ribawi, persoalan kesenjangan sosial masyarakat, persoalan kriminalitas yang merajalela, bahkan sampai ke persoalan politik luar negeri, di situ posisi tawar Indonesia di dunia internasional pun masih lemah.
Indonesia yang notabene mayoritas muslim tapi masih didikte oleh kapitalis barat (Amerika) dan timur (Cina). Aset sumber daya alam Indonesia, hampir ludes disandera investor asing-aseng.
Ini merupakan dampak Indonesia selama berdemokrasi. Lalu, di mana kemanjuran demokrasi, jika sudah berpuluh tahun berdemokrasi, tapi malah membuat Indonesia semakin terpuruk?
Hal ini seharusnya menggugah seluruh komponen umat untuk berpikir bersama, untuk menggunakan sistem politik alternatif lainnya, yang dapat memperbaiki keadaan ummat.
Pada faktanya, demokrasi mau didongkrak pencitraannya seperti apapun, tetaplah merupakan sistem utopis yang hanya bisa menjanjikan khayalan kesejahteraan, tapi gagal dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebarokahan.
Mengapa sistem politik demokrasi kita sebut sebagai sistem politik yang utopis (utopia) atau khayalan? Karena landasan sistem politik demokrasi adalah sekularisme.
Dalam paham sekularisme, urusan agama dipisahkan dengan urusan kehidupan. Sehingga, urusan politik, ekonomi, pendidikan, sistem sanksi, dan hubungan luar negeri, dianggap tidak berkaitan dengan hal agama. Begitulah racun sekularisme, yang memisahkan praktik kehidupan dari landasan beragama.
Sejatinya, manusia tidak mungkin dipisahkan dengan naluri beragama (gharizah tadayyun), yang sudah dianugerahi oleh Allah Swt kepada dirinya.
Apalagi dalam Islam, seluruh amaliyyah manusia itu wajib terikat dengan hukum syara’, yaitu seruan yang datangnya dari Sang pembuat hukum, Dia-lah Allah Swt khiththob Asy-Syari’.
Dalam Islam, kedaulatan seutuhnya milik Allah Swt. Allah Swt maha mengetahui kebutuhan manusia, makanya kita butuh diatur dengan hukum syara’.
Aktivitas politik sesuai syara’ merupakan aktivitas mulia yang tidak boleh dipisahkan dengan urusan beragama.
Sementara dalam sistem politik demokrasi yang sekular, kedaulatan malah diserahkan kepada perwakilan rakyat, padahal manusia tidak mampu mengetahui hakikat halal dan haram.
Di sinilah dilemanya, jika kaum muslim malah berada dalam kepengurusan sistem politik demokrasi yang bukan terlahir dari landasan sistem Islam, melainkan berlandaskan sekularisme.
Alih-alih berharap diurusi sesuai standar Islam, sistem politik demokrasi malah menjauhkan kaum muslim dari aturan berdasarkan rujukan syariah Islam kaaffah. Perpolitikan pun dijauhkan dari konteks Islam.
Kita lihat realitas, mendakwahkan syariah Islam kaaffah di negara bersistem demokrasi sering berhadapan dengan penghadangan dari rezim.
Demokrasi telah memicu penguasa yang beridentitas muslim pun terjangkiti Islamophobia.
Sungguh aneh, jika Indonesia yang mayoritas Muslim, penguasanya malah menampakkan sikap phobia terhadap Islam dan memusuhi para pengemban dakwah yang menyerukan penerapan sistem Islam.
Terkait demokrasi sekuler ini, mantan Presiden Amerika John Adams sudah mengatakan bahwa demokrasi akan hancur dengan sendirinya. Kini ucapan itu terbukti. Demokrasi sekuler dan utopis dengan segala kerusakan yang ditimbulkannya sudah semakin kronis alias sekarat.[]
Comment