Ilustrasi |
Ketua Komisi XI DPR RI, Ahmadi Noor Supit mengatakan, pembentukan panja tersebut bertujuan untuk mengkaji besaran dan penggunaan utang yang terus meningkat.
“Kita sepakat membentuk panitia kerja (panja) pembiayaan dan utang negara, baik dalam bentuk surat berharga maupun pinjaman bilateral dan multilateral,” kata Ahamdi, di Jakarta, Senin (23/5/2016).
Ia menilai, persoalan utang negara sangat penting dibahas secara mendalam agar penggunaannya bisa lebih tepat sasaran. Selain itu, DPR juga meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan revaluasi aset yang akan digunakan kembali (roll over) oleh pemerintah.
Hal senada dikatakan anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno. Menurut dia, panja ini dibutuhkan untuk mengiventarisasi utang-utang serta tata cara atau mekanisme utang kepada negara lain dengan diawali syarat situasi dan kondisi mendesaknya berutang.
Dalam catatan, utang luar negeri (ULN) berjangka panjang pada akhir triwulan I-2016 mencapai US$ 277,9 miliar (87,9% dari total ULN), atau naik 7,9%. Lebih lambat dari pertumbuhan triwulan IV-2015 yang sebesar 9,2%.
Di sisi lain, ULN berjangka pendek pada kurun waktu sama tercatat US$ 38,1 miliar atau turun 8,4%, lebih lambat dibanding penurunan pertumbuhan triwulan IV-2015 yang sebesar 13,7%.
Selain perkembangan rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal I-2016 tercatat 36,5 persen, sedikit meningkat dari 36,0 persen pada akhir kuartal IV-2015.
Catatan itu menempat Indonesia masuk kelompok Heavily Indebted Poor Countries (HIPC), yakni negara miskin yang utangnya besar. “Untuk itu pemerintah seharusnya menggunakan banyak indikator untuk melihat rasio utang,” tegas dia.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengklaim kondisi utang pemerintah sejauh ini masih dalam batas yang manageble. Rasio jumlah utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sekitar 27%. Jumlah itu masih jauh lebih rendah dari negara maju ataupun negara dengan kondisi ekonomi mirip Indonesia.
Bambang menjelaskan, utang tersebut didominasi dari luar negeri, ada bilateral, multilateral, komersial dan suplier. Lima lander terbesar berasal dari pinjaman Bank Dunia, Jepang, ADB, Prancis dan Jerman.
“Sedangkan SBN yang sudah diterbitkan Rp2.513,36 triliun terdiri dari valas Rp658,6 triliun ini ada valas USD, EURO dan Yen. Sisanya Rupiah, yaitu pinjaman Rp1854,78 triliun. Saat ini sekitar 38 persen SBN didominasi Rupiah dipegang investor asing,” terangnya.
Menurutnya, penerbitan utang tidak mungkin dihentikan, karena kebijakan anggaran pemerintah yang menggunakan sistem budget defisit. Dengan adanya defisit anggaran yang terjadi saat ini, maka agar kegiatan pembangunan bisa tertutupi membutuhkan tambahan dana dari utang.[hanter]
Comment