Oleh: Vikhabie Yolanda Muslim, S.Tr.Keb*
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Gali lubang tutup lubang. Tampaknya frasa ini menjadi gambaran yang sesuai dengan kondisi negeri. Catatan akhir tahun sekaligus bingkisan pahit dalam buku utang Indonesia. Utang luar negeri milik Indonesia yang pada awalnya berada pada level di bawah seribu triliun rupiah, kini nyaris menyentuh angka Rp 6.000 triliun per Oktober 2020.
Sungguh sebuah angka yang terbilang fantastis, dan tentu efeknya pun tidak kurang membuat meringis. Berkat angka ini, tidak heran jika World Bank memasukkan Indonesia dalam daftar 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu.
Data yang dipublikasikan World Bank dalam laporan Statistik Utang Internasional (IDS) bulan Oktober 2020 yang lalu tersebut menunjukkan Indonesia berada pada peringkat keenam pengutang terbesar.
Paparan data dari World Bank seperti dikutip laman Republika.co.id tampaknya relevan dengan kondisi utang negeri kita saat ini. Dilihat dari data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2020 tercatat naik hingga 22,76% atau setara Rp 5.910 triliun.
Terlebih pada masa pandemi sepanjang 2020, pemerintah pun harus menggelontorkan Anggaran Belanja Negara yang lebih besar dari pendapatan.
Sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit di atas 3%, sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020.
Dengan adanya defisit ini, pemerintah pun mencari alternatif untuk menutup defisit APBN, termasuk melalui pinjaman atau utang (viva.co.id).
Meski demikian, Menteri Keuangan RI mengatakan, utang yang dibuat di tengah masa krisis ini ialah upaya untuk menyelamatkan rakyat.
Benarkah utang menjadi satu-satunya jalan dan cara mengeluarkan negara dari krisis ?
Mencermati persoalan di atas, ada beberapa sudut pandang yang perlu dirangkai.
Pertama, utang luar negeri merupakan salah satu senjata ampuh yang menjadi andalan negara-negara kapitalis menguasi negara-negara miskin dan berkembang. Termasuk negeri dengan mayoritas kaum muslim yang memiliki aset sumber daya alam melimpah.
Utang yang telah menggunung sejak bertahun-tahun sebelumnya semakin membengkak, pada akhirnya akan menyulitkan negara peminjam untuk melunasi utang hingga terasa mencekik.
Tidak jarang pula negara peminjam tersebut akhirnya harus rela menggadaikan aset negara termasuk dalam hal eksploitasi sumber daya alam.
Jadilah ia negeri yang seolah tidak mampu berdiri di kaki sendiri tanpa adanya utang.e
Kedua, pinjaman (Creditor) luar negeri tidak produktif dan tidak memberi jalan keluar terhadap persoalan ekonomi yang dihadapi kecuali bertambahnya kemiskinan terhadap negara yang berutang (debitor).
Hal ini ini bisa saja dikatakan sebagai yang disebut dengan jebakan batman. Ujungnya ialah semakin memperkuat cengkeraman asing menguras sumber daya negeri.
Utang dalam hal ini, menjadi sebuah kebijakan yang cukup dan dapat membahayakan eksistensi negara. Utang jangka pendek (short termasuk) dapat menjadi celah bagi negara pemberi pinjaman mengobok obok sistem ekonomi dan moneter mata uang negara pengutang.
Sementara utang jangka panjang yang terus menumpuk seperti saat ini, sudah cukup menghantam perekonomian dalam negeri dan berdampak negatif terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Ketiga, dampak cengkeraman asing saat ini begitu terasa hingga merambah ke ranah paling fundamental. Hampir di seluruh sektor terkena dampaknya, mulai dari ekonomi, pertanian, kesehatan, pendidikan, pangan, hingga perbankan.
Hal terburuk yang mungkin belum disadari adalah dikendalikannya kebijakan negara peminjam (debitor) oleh negara pemberi pinjaman (Creditor).
Lalu benarkah utang menjadi satu-satunya kebijakan dan solusi final sebagai tool mengatasi krisis dan mempercepat laju pembangunan sebuah negeri ?
Tampaknya kita perlu berkaca pada sebuah sistem yang telah terbukti 13 abad lamanya mampu memberikan kesejahteraan pada 2/3 belahan dunia, yakni sistem Islam.
Dalam sistem ekonomi Islam, ada sebuah badan yang bernama Baitul Mal. Baitul Mal ialah institusi yang secara spesifik menangani harta yang diterima negara dan dialokasikan bagi kaum Muslim yang secara hukum berhak menerimanya.
Setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lain yang dimilikinya kaum muslim sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Baitul Mal kaum Muslim.
Sistem ekonomi Islam telah terbukti berhasil mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi muslim dan non muslim selama lebih dari 13 abad. Pos-pos pendapatan dalam sistem keuangan Baitul Mal terdiri dari tiga pos pemasukan utama yang masing-masing rinciannya memiliki beragam jenis pemasukan.
Pertama, pos fai dan kharaj. Fai adalah salah satu bentuk pampasan perang dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah di mana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj kepada negara.
Kedua, pos kepemilikan umum (milkiyah ‘am). Kepemilikan umum adalah izin kepada jama‘ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi rakyat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan. Misalnya barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, bagian sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian, zakat ternak, dan lain sebagainya. Dalam kebijakan fiskal baitul mal, sumber daya alam dalam bentuk hasil laut, hutan, serta tambang adalah milik rakyat, bukan milik negara. Oleh karenanya, semua itu harus diolah, dimanfaatkan, atau dijual hasil pengelolaannya murni untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan keuangan dalam baitul mal digunakan untuk membelanjakan anggaran pada investasi infrastruktur publik serta menciptakan kondisi yang kondusif.
Pada zaman Rasulullah, beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan pula hingga era khalifah ‘Umar bin Khattab ra.
Pembangunan pun berkembang begitu pesat. Sala satu hasil pembangunan pada era beliau ialah mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah dan kota Kuffah (Karim, Ekonomi Makro Islami).
Terkait hal ini, Indonesia sebagai sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi dengan seluruh kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia, sudah seharusnya mampu menjadi negeri yang makmur dan sejahtera serta terbebas dari cekikan Utang Luar Negeri (ULN).
Terlebih lagi jika dikelola dengan sistem yang baik dan benar sesuai syariah Islam, maka hal ini tentu akan menjadi roda penggerak perekonomian yang bukan hanya makmur tapi juga penuh berkah.
Islam, telah memberi konsep yang komprehensif dalam mekanisme kebijakan fiskal baitul mal, yakni sebuah sistem keuangan negara berbasis syariah.
Dengan adanya baitul mal yang berperan dalam hal pengelolaan kebijakan fiskal, akan menjadi alternatif yang mampu mengeluarkan negeri ini dari cengkeraman utang yang bertumpuk-tumpuk.
Sistem dan pengoperasian baitul mal akan mampu dijalankan ketika negeri ini mau menerapkan Islam secara kaffah.[]
*Praktisi kesehatan
____
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.
Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.
Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.
Comment