Oleh : Hani Handayani, Anggota Komunitas Menulis Online
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Progres kereta cepat yang direncanakan pemerintah membentang dari Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 Km, akan diuji coba pada November 2022 nanti bersamaan dengan G20 di Bali. Proyek ini terjalin kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC).
Proyek pembangunan kereta cepat ini mendapat investasi dari China Development Bank (CDB) dengan anggaran yang digelontorkan 75% dari CDB dan 25% dari PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Total investasi proyek ini ditaksir sekitar US$ 6,071 miliar.
Namun seperti dilansir cnnindonesia.com (8/7/2021), Kementerian BUMN mengatakan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) diprediksi mengalami cost deficiency (kekurangan biaya) operasi saat pengoperasian. Selain cost deficiency, juga berpeluang mengalami pembengkakan konstruksi (cost overrun) sampai dengan US$1,4 miliar-US$1,9 miliar. Karena itu, pemerintah tengah bernegosiasi dengan China untuk menambal pembengkakan itu.
Bila pemerintah jadi melakukan pinjaman utang ke China untuk mempercepat proses pembangunan KCJB ini tentu ini sangat disayangkan. Karena saat ini Indonesia mengalami pandemi yang berdampak pada roda ekonomi rakyat. Alangkah bijak bila pemerintah meninjau kembali rencana ini.
Ekonomi Terpuruk
Bank Dunia menyoroti utang Indonesia yang masuk dalam 10 besar negara berpendapatan menengah kecil alias berkembang dengan utang luar negeri terbesar.
Hal ini diakui staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, saat Pandemi pemerintah membutuhkan dana untuk penanganan Covid-19. Ini yang menjadikan jumlah utang pemerintah sebesar Rp 6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per Mei 2021.
Dikutip dari ccnindonesia.com (30/6/2021), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengkhawatirkan pemerintah Indonesia tidak sanggup melunasi utang. Pasalnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap penerimaan telah tembus 369 persen yang jauh di atas rekomendasi Internasional Debt Relief (IDR) sebesar 92-176 persen dan rekomendasi Dana Moneter (IMF) sebesar 90-150 persen.
Jangan Berutang
Seyogianya Pemerintah lebih fokus pada perbaikan ekonomi rakyat yang terdampak pandemi Covid-19, terlebih kebijakan PPKM di beberapa wilayah membuat masyarakat semakin sulit memutar roda perekonomian mereka.
Pembangunan yang memakan dana cukup besar dan bukan infrastruktur penting lebih baik dialihkan pada sektor lain, seperti pembangunan sekolah, jalan raya di pedalaman, rumah sakit dan fasilitas umum lain yang saat ini lebih dibutuhkan rakyat.
Terlebih dalam pembangunan infrastruktur yang berasal dari utang. Ini akan mempengaruhi stabilitas keamanan dan kedaulatan negeri. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa negara pengutang atau debitur akan tersandera oleh negara pemberi pinjaman (kreditur).
Negara kreditur akan menjustifikasi kepentingan mereka sehingga mengintervensi ranah kebijakan politik dan ekonomi negara debitur.
Sistem kapitalis yang diterapkan saat ini menjadikan utang sebagai dana segar untuk kas negara, baik dalam menyelesaikan persoalan keuangan atau dalam pembangunan Infrastruktur.
Dalam Islam utang hanya dilakukan untuk perkara-perkara yang sangat urgen di mana bila tidak berutang akan berdampak bahaya bagi rakyat.
Di dalam Islam ketika ditemui persoalan kekurangan dana pembangunan maka negara akan menunda hal tersebut dan tidak akan berutang. Negara lebih baik menunggu hingga memiliki dana untuk dianggarkan dalam belanja negara berikutnya. Jadi negara tidak akan buru-buru berutang hanya mengejar keperluan infrastruktur yang belum urgen dibutuhkan rakyat.
Namun, bila keadaan mendesak seperti saat ini terjadi wabah penyakit dan kas negara kosong, maka yang dilakukan dalam sistem Islam tetap mengupayakan mencari dana dari dalam negeri terlebih dahulu. Seperti mengambil pajak dari orang kaya yang ada di dalam negeri, tetapi ini hanya bersifat sementara sampai kas negara mencukupi.
Merujuk pendapat Syekh Abdul Qadim Zallum ketika anggaran negara mengalami defisit solusinya dengan memberdayakan BUMN. Bisa juga melalui pos-pos yang didapat dari ghanimah, fa’i, kharaj, khumus dan seterusnya. Bila masih kurang maka bisa dilakukan pengelolaan SDA dengan perspektif Islam di mana BUMN dikelola oleh negara dan hasilnya diserahkan kepada rakyat.
Bila masih kurang juga, maka negara berutang kepada pihak lain tanpa ada riba sedikit pun, karena Islam jelas melarang aktivitas riba sebagai mana firma Allah SWT::
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275).
Demikianlah aturan Islam yang begitu sempurna. Bila diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan insyaa Allah mampu menjadi solusi terbaik bagi seluruh umat manusia. Tidak akan ada ketimpangan dalam pembangunan infrastruktur dan kebutuhan rakyat tetap terjamin dengan baik.Wallahu a’lam.[]
Comment