Foto/Nicholas/radarindonesianews.com |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Ratna Sarumpaet Crisis Center, Gerakan Selamatkan Indonesia dan umumnya aktivis yang masih menggunakan nalar dan berpikir waras sangat menyanyangkan atas keputusan Pemerintah menghentikan evakuasi 164 orang korban tenggelamnya KM Sinar Bangun tanggal 18 Juni 2018 lalu, demikian utara Ratna Sarumpaet saat memberikan keterangan pers singkatnya di kediamannya bilangan kampung melayu, Jakarta Timur di hadapan wartawan pada rabu (4/7). Jakarta
“Kami menganggap penghentian itu aneh, tidak transparan, dan kurang bertanggung-jawab karena Basarnas baru bekerja selama 14 hari dan titik koordinat dimana bangkai kapal dan mayat manusia terletak justeru sudah ditemukan,” ujar Ratna.
Adapun saat tim evakusi dari Basarnas memperlihatkan pada publik rekaman video jasad beberapa korban dan benda-benda lain dari KM Sinar Bangun di dasar danau, masyarakat terutama keluarga korban seraya telah terlanjur diberi harapan dan optimisme betapa kemungkinan jasad anggota keluarga mereka dapat dievakuasi sudah di depan mata.
Awalnya, kemuka Ratna, dirinya bertujuan bertemu keluarga korban, namun tidak berhasil.”Tadinya di posko terpadu basarnas, dipindahkan ke tempat kantor Bupati, yang saat itu dikatakan sedang ada rapat,” paparnya menjelaskan.
Dan kemudian, Ratna bertemu dengan Basarnas dan BNPBD, dan sempat mendengar bahwa proses evakuasi akan dihentikan.”Ada delapan (8) orang tidak setuju dihentikan, cuaca tidak baik dan sudah hujan. Esok paginya sudah diberitahukan oleh pihak kecamatan akan dilaksanakan tabur bunga dan dihentikan rencananya Selasa, namun pada saat itu juga hadir beberapa keluarga di penginapan dan sempat meminta dibantu,” tukasnya.
Harapan evaluasi lenyap setelah pemerintah yang diwakili Menko Maritim Luhut B. Panjaitan mengumumkan peng-hentian upaya pencarian padahal Pemerintah masih setengah hat (belum maksimal) dan tampak sekali mencari-cari alasan untuk menghentikan evakuasi korban. Rabu (4/7/2018).
Alasan teknis seperti tekanan air di kedalaman sekitar 500 meter yang disebut-sebut “sangat mustahil” tidak sepenuhnya dapat diterima atau masih terbuka untuk diperdebatkan. Karena sesuai penjelasan koordinator BPBN yang bertugas d pelabuhan satu malam sebelum upaya evakuasi dihentikan, kami (Ratna) mendapatkan informasi bahwa alat untuk mengangkat jasad korban dan bangkai KM Sinar Bangun sebenarnya ada di Jawa Timur.
Akan tetapi untuk membawanya ke Simalungun, Tigaras, diperlukan waktu sekitar tiga minggu dan satu minggu untuk merakitnya. Bagi kami kalau alat itu betul ada di Jawa Timur, waktu empat minggu menyiapkannya sepadan dengan yang dibutuhkan untuk memindah dan duka cita warga dan keluarga korban bakal melekat nama sepadan dengan
‘citra buruk’ yang akan selamanya melekat pada nama bangsa Indonesia karena tak cukup berupaya menyelamatkan Danau Toba dari julukan kuburan massal.
“Sebab bagaimanapun, keluarga korban ingin melihat jasad ataupun bagian dari jasad korban untuk dimakamkan dengan layak,” ungkap Ratna
Adalah aneh kalau Indonesia tidak memiliki alat yang dibutuhkan. Tapi seharusnya pemerintah bisa meminta bantuan dari negara lain demi memperlihatkan keseriusan dan perhatian negara pada korban dan keluarga korban. “Bahkan, kalau kalau persoalannya adalah ‘tidak adanya dana’ Rakyat Indonesia pasti tidak keberatan melakukan patungan dana
“Yang aku pahami sebagai human right activist semenjak di masa ‘marsinah’, nampak ini transaksi transaksi yang cukup mengejutkan,” lanjutnya.
Padahal, menurut Ratna alat evakuasi barangnya tinggal diangkat.”Saya merasa kalau memang tidak ada alat, bisa meminjam atau minta tolong pada negara lain. Bila biayanya mahal, Rakyat Indonesia bisa patungan kok,” ujarnya.
“Kok setiba tibannya berkeinginan untuk menjadikan Danau Toba kuburan massal ? ini bentuk kepincangan Infrastruktur. Perlu dituntut perhatian khusus terkait atas terjadinya musibah tenggelam kapal seperti ini,” paparnya.
Kaitan atas peristiwa ini seandainya pun itu betul, sambung Ratna sebaiknya Pemerintah harusnya bisa meminta bantuan, seperti misalnya :
1. Dari beberapa kejadian dan cara-cara membujuk keluarga korban dengan cara kurang wajar, dengan memanfaatkan pengaruh Tokoh- tokoh Agama, serta penggunaan dukun sebagai cara mendramatisasi keadaan, kami terus terang “menduga” ada motivasi lain di balik keputusan disampaikan secara terbuka. Untuk itu, kami meminta agar semua pihak, seluruh rakyat dan semua badan Negara yang berkaitan dengan masalah ini memberikan attensi dan dukungan/pemikiran agar Basarnas, BPBN dan Kementerian terkait dapat segera bergerak kembali melanjutkan evakuasi.
2. Tragedi Danau Toba bukan lah Bencana alam, melainkan Bencana yang timbul akibat kelalaian manusia, terutama Pemerintah Negara. Maka Pemerintah sudah sepatutnya menjukkan rasa tanggung jawab lebih dalam menangani kasus ini.
3. Tragedi Danau Toba adalah Potret Kegagalan Negara dalam menyuguhkan pembangunan Invrastuktur yang berkeadilan dan berharap kedepan menjadi koreksi bagi Pemerintah. [Nicholas]
Comment