UNESA Gelar Diskusi Kelompok Terarah Dengan Tema Pendidikan Sebagai Wahana Kokohkan Budaya Bangsa

Pendidikan241 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Universitas Negeri Surabaya (Unesa) gelar Diskusi Kelompok Terarah (DKT) dengan tema Pendidikan sebagai Wahana Mengokohkan Budaya Bangsa, Rabu (29/7/2020).

Diskusi ini merupakan buah kerjasama antara Unesa dengan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Aliansi Kebangsaan, dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) dihadiri oleh lebih dari 400 peserta.

Diskusi dibuka oleh rektor Unesa Prof. Dr. H. Nurhasan, M.Kes dan sambutan dari Pontjo Sutowo selaku Pembina YSNB-Ketua Aliansi Kebangsaan-Ketua Umum FKPPI ini menghadirkan tokoh-tokoh pendidikan yaitu Prof. Dr. Muchlas Samani (Rektor Unesa periode 2010-2014), Prof. Dr. Zainudin Maliki (Komisi X DPR-RI), Ki Darmaningtyas (Pengurus PKB Tamansiswa), Dr. Iwan Sjahril (Dirjen GTK Kemendikbud), M. Ramli Rahim (Ketua Umum IGI), Ahmad Rizali (Ketua bidang Pendidikan NU Circle), dan Najelaa Shihab (Pendiri Sekolah dan Kampus Guru Cikal) dengan dipandu oleh Bambang Pharmasetiawan (Pembina Yayasan Budaya Cerdas dan Pendiri SD Kupu-Kupu&SMP-SMA Garuda Cendekia).

Dalam sambutannya, Nurhasan mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses kebudayaan dan pemberdayaan untuk menjadikan generasi penerus bangsa yang berbudaya dan berkepribadian Indonesia.

Konsep inilah yang dikuatkan oleh prinsip penyelenggaraan Pendidikan Nasional bahwa pendidikan diselenggarakan  sebagai suatu proses kebudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (pasal 4 ayat 3 UU No. 20/2003 Sisdiknas).

Lebih lanjut dikatakan Nurhasan bahwa melalui pendidikan kita harus bisa mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain.

Sudah seharusnya bangsa Indonesia mendesain sistem pendidikannya sendiri bukan sekedar tambal sulam dari berbagai negara lain tanpa membuihkan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia.

“Indonesia sejak awal sudah membangun sistem bernegara sendiri seperti dilakukan para pendiri republik ini, jadi Indonesia harus memiliki sistem pendidikan sendiri dengan tidak mengekor kemana-mana. Ini penting sebagai landasan dalam revisi UU Sisdiknas.”Tegas Nurhasan dalam diskusi tersebut. 

Pontjo Sutowo yang ikut dalam diskusi mengatakan bahwa Pendidikan yang ‘tepat’ (right education)  berperan sangat besar dalam pembangunan mental spiritual bangsa.

Pendidikan yang tepat,  tambah Pontjo, akan berperan dalam proses menjadikan orang  baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik, dan warga dunia yang baik. Sebaliknya, pendidikan yang tidak tepat   bisa menggerus potensi kebajikan yang pada awalnya ada pada seseorang.

Oleh karena itu, masih menurut Pontjo, tantangan suatu bangsa adalah membangun  sistem pendidikan yang tepat yang  sesuai dengan konteks sosial-budaya, sejarah, lingkungan alam bangsa yang bersangkutan, dan kebutuhan masa depan. 

“Kepentingan dan urgensi dari membangun sistem pendidikan yang tepat semakin besar mengingat risiko dari kegagalan pendidikan tidak hanya membuat suatu bangsa terpuruk secara ekonomi dan sosial, namun juga mengancam eksistensi bangsa itu sendiri”, ujar Pontjo.

Dalam rangka ikut membangun pendidikan yang tepat dan mendorong percepatan pembahasan RUU Sisdiknas yang sudah masuk prolegnas 2020 maka YSNB, FKPPI, Aliansi Kebangsaan dan para kolega seperjuangan telah menyampaikan aspirasi dalam bentuk Naskah Akademik yang sudah disampaikan dan dipaparkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi X DPR-RI pada tanggal 6 Juli 2020 yang lalu.

Pada kesempatan itu diusulkan RUU Sisdiknas dirubah menjadi RUU Sisbuddiknas (Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional), karena Kebudayaan dan Pendidikan merupakan dua entitas yang saling terkait dan saling mempengaruhi.

“Meskipun pendidikan merupakan investasi dalam menghadapi tantangan masa depan, pendidikan nasional Indonesia harus tetap berakar kuat pada  bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia”, Tegas Pontjo.

Bambang Pharmasetiawan selaku pemandu diskusi, dalam pengantarnya menyatakan bahwa terkait tentang pendidikan, tugas konstitusional pemerintah NKRI seperti tertuang dalam alinea ke-empat pembukaan UUD 1945 yang mengatakan bahwa salah satu tugas konstitusional tersebut adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti bahwa negara harus hadir dalam segala urusan pembangunan pendidikan nasional.

Dalam konteks Ketahanan Nasional, lanjut Bambang,  hendaknya disimak pendapat salah satu tokoh pendidikan Indonesia Daoed Joesoef yang mengatakan bahwa ada dua hal yang dapat membuat sebuah bangsa lumpuh, yaitu pertama dengan melibatkannya dalam konflik yang berkepanjangan dan ke-dua pendidikan anak bangsa diabaikan.

Atau lebih jauh lagi seperti dikatakan Hafid Abbas yang mengutip ucapan Badawi bahwa pendidikan menjadi persoalan hidup dan matinya seluruh bangsa (education is a matter of life and death for the entire of nation).

Ini lah pentingnya pendidikan, atau seperti berulang kali dalam opini di sebuah surat kabar dikatakan “jangan main-main dengan pendidikan”, karena jika salah melakukan kebijakan dan penerapan akan mengakibatkan hancurnya masa depan bangsa. 

Selanjutnya, dikatakan Bambang, dalam membangun pendidikan nasional, beberapa konsep pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional harus menjadi acuan.

Pertama, dalam pendidikan harus dianut konsep Tri Kepemimpinan yaitu Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Ketiganya harus selalu menjiwai jalannya pendidikan di Indonesia, tidak hanya cukup satu saja mewakili ketiganya.

Kedua,  dalam pembelajaran hendaknya selalu diingat konsep kebangsaan dari Ki Hadjar Dewantara yaitu Pengajaran harus bersifat kebangsaan … kalau pengajaran bagi anak-anak tidak berdasarkan kenasionalan, anak-anak tak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita…inilah yang disebut nasionalisme Ki Hadjar Dewantara yang pernah dia ucapkan pada tahun 1928, dan nasionalisme tidak pernah using. 

Ketiga, adalah pidato dari Ki Hadjar Dewantara sewaktu menerima doktor kehormatan di UGM tentang Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis hidup bangsanya secara kultural-nasional dan persamaan kedudukan dengan bangsa lain (egaliter).

“Semua itulah dasar Pendidikan Nasional di Indonesia, pendidikan yang tidak lepas dari kebudayaan sebagai induknya.”Ujar Bambang. 

Sementara itu Muchlas Samani dalam pemaparannya mengatakan bahwa UU Sisdiknas harus menjadi ‘ankor’ menghadapi era global.

Menurut Muchlas,  UU Sisdiknas terakhir adalah tahun 2003 yang berarti sudah berusia 17 tahun maka sudah sepantasnya untuk dilihat kembali dan direvisi untuk menghadapi tantangan global tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar akar budaya Indonesia.

Muchlas, dalam diskusi itu mengajukan dua tesis yaitu pertama UU Sisdiknas adalah babon dari segala kebijakan dan aktivitas dalam bidang pendidikan di seluruh wilayah NKRI. Kedua,  pendidikan adalah wahana untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang dicita-citakan founding father.

Dengan demikian lanjut Muchlas, maka UU nanti harus menjadi rujukan pendidikan sebagai sebuah rekayasa sosial untuk mendesain bangsa ini ke depan sesuai dengan amanah UUD 1945.

Lebih lanjut dikatakan Muchlas bahwa ada 5 prinsip dasar yang harus dipegang/dimasukkan ketika kita akan merevisi UU Sisdiknas ini yaitu pertama adalah seperti apa profil anak bangsa yang kita impikan? Kedua, untuk siapa pendidikan itu? Ketiga, harus mencermati ‘trend’ era global.

Selanjutnya keempat adalah pendidikan sebagai investasi negara. Dan terakhir kelima adalah pendidikan sebagai sebuah gerakan.

Dalam pemaparannya dikatakan ada beberapa hal prinsip yang harus dipegang, pertama pendidikan itu tidak bisa diulang balik (irreversible). Misalnya jika kita salah menerapkan di SD selama 6 tahun maka anak-anak kita tidak dapat disuruh mengulang kelas 1 lagi. Kedua pendidikan itu dilakukan saat ini tetapi menyiapkan anak-anak kita untuk masa depan. Atau baru dapat kita lihat sosoknya di depan. Ini sesuai dengan Ali bin Abi Thalib R.A yang mengatakan “Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu”.

Ki Darmaningtyas dari Tamansiswa yang juga ikut dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa tidak dapat dipisahkannya Pendidikan dan Kebudayaan itu sudah final sejak Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pengajaran.

Mengutip dari Rumusan Tim Komisi Dikbud BPUPKI dikatakan bahwa dalam garis-garis adab perikemanusian, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah `keselamatan’ dan `kebahagiaan’ masyarakat.

Ki Tyas juga mengkhawatirkan hilangnya/tercabutnya frasa ‘berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia’ di pasal pendidikan tinggi dan juga berubahnya prinsip nirlaba, kekhawatiran guru/dosen asing, dan perguruan tinggi asing.

Sementara Ahmad Rizali menegaskan perlunya Badan Pengelola Guru yang mengatur segala hal kebijakan guru secara terpusat.

Sementara itu Prof. Maliki mengapresiasi pembuatan Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional. Namun demikian dikatakannya, saat ini yang masih berlaku adalah UU No. 20/2003 sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat saat ini haruslah tetap berpijak pada UU tersebut.

Dalam UU juga dikatakan bahwa mengembangkan potensi siswa didik kita yang beriman dan bertaqwa (nilai transendensi). Sehingga kebijakan-kebijakan saat ini dan juga revisi UU No. 20 tidak boleh meninggalkan nilai transendensi tersebut. []

Comment