Oleh: Ummu Syam*
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Masih hangat dalam benak publik ketika seorang guru honorer dari bumi Borneo, Despianoor Wardani ditangkap pada 13 Juli 2020 lalu gara-gara postingan Khilafah di akun media sosialnya.
Despianoor hanyalah satu dari sekian banyak orang yang ditangkap karena sikap kritisnya terhadap kebijakan yang diterapkan di negeri ini.
Padahal kebebasan berpendapat sudah dijamin oleh undang-undang sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Apa yang dilakukan pemerintah mencerminkan bahwa pemerintah bersikap anti kritik, otoriter dan menjegal Hak Asasi Manusia yang telah dijamin oleh undang-undang.
Hal ini juga terbukti dari hasil survei opini yang dilakukan oleh Lembaga Indikator Politik Indonesia yang mencoba memotret kondisi demokrasi di Indonesia di mana salah satu yang menjadi variabel yakni hak menyatakan pendapat.
Hasilnya sungguh mencengangkan. Survei menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat 79,6 persen, makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8 persen, dan aparat dinilai semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa 57,7 persen. (Merdeka.com, 25/10/2020)
Padahal dalam sistem demokrasi kebebasan berpendapat memiliki arti bahwa setiap individu berhak menyerukan, mengemukakan, mengembangkan dan menyebarluaskan pendapat atau ide apapun, bagaimana pun bentuknya dengan sebebas-bebasnya tanpa ada syarat atau batasan apapun, tanpa adanya larangan baik dari negara atau pihak lain selama dia tidak mengganggu pihak lain.
Oleh karenanya, setiap larangan untuk menyerukan, mengemukakan, mengembangkan dan menyebarluaskan pendapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan.
Namun faktanya tidak demikian. Kebebasan berpendapat itu tidak didapatkan oleh masyarakat yang menyuarakan kebenaran terlebih jika mengkritik kebijakan pemerintah.
Sikap kritis umat Islam dibungkam bila mengganggu kepentingan korporasi, terbukti banyak standar ganda dalam menyikapi kritik umat Islam.
Ini mengindikasikan bahwa secara tidak langsung sistem demokrasi telah melahirkan negara korporasi.
Tapi, kebebasan berpendapat akan terasa sekali didapatkan oleh orang-orang yang menghina Islam. Mereka tidak dikenakan delik hukum dengan dalih itu adalah kebebasan berpendapat.
Hal ini sangat berbeda dengan ketentuan ajaran Islam. Setiap muslim dalam seluruh perbuatannya harus terikat dengan hukum syara’ (syariat Islam). Dalam kebebasan berpendapat tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan satu perkataan, kecuali ada dalil syara’ yang membolehkannya.
Karena itulah seorang muslim bebas untuk menyerukan, mengemukakan, mengembangkan dan menyebarluaskan pendapatnya selama dalil syara’ membolehkannya.
Namun sebaliknya, jika dalil syara’ melarangnya untuk menyerukan, mengemukakan, mengembangkan dan menyebarluaskan pendapat tersebut, maka seorang muslim tidak boleh melakukannya. Jika tetap dilakukan maka mendapatkan dosa dan sanksi.
Semisal mencela sesembahan agama orang lain seperti yang tertuang dalam QS. Al-An’am (6) : 108:
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Demikianlah seorang muslim itu harus selalu terikat dengan hukum syara’ dalam setiap aktivitas di dalam kehidupannya. Dalam mengemukakan pendapat, seorang muslim tidak bebas untuk melakukannya jika dalil syara’ melarangnya.
Islam sendiri telah mewajibkan seorang muslim untuk mengucapkan kebenaran di setiap waktu dan tempat. Dalam hadits ‘Ubadah Ibn ash-Shamit ra disebutkan:
“….. Dan kami akan mengatakan kebenaran dimana pun kami berada. Kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela… ”
Islam pun telah mewajibkan kaum muslimin untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa sekaligus mengoreksi dan mengawasi kebijakan mereka. Ummu ‘Athiyah menuturkan riwayat dari Abu Sa’id ra bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda,
“Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa zalim”
Di dalam Islam mengkritik/mengoreksi kebijakan pemerintah, menyampaikan pendapat, mengawasi kebijakannya tidaklah dipandang bagian dari kebebasan berpendapat, melainkan merealisasikan dari keterikatan hukum-hukum syara’, yakni beramar ma’ruf dan bernahi munkar, serta kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu keadaan dan kewajiban menyampaikan pendapat lain. Wallahu ‘alam bish-shawab.[]
*Aktivis Muslimah Majalengka
Comment