Ummu Farah*: Inilah Potret Anak Generasi, Pilu Tak Terperi

Opini636 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Teringat saat beberapa tahun lalu, penulis naik angkot jurusan terminal Bekasi. Tepat di sebelah penulis, seorang gadis kecil umur 8 tahunan duduk dengan bawaan sekotak makanan di pangkuannya. Saking beratnya, bolak-balik dia sibuk menarik kotak makanan tersebut agar tidak lepas dari pangkuannya.

Dia manis sekali. Sayangnya wajahnya sedikit tertutup daki. Sepertinya belum mandi) dan rambutnya yang panjang melebihi bahu awut-awutan belum sempat disisir.

Penulis beranikan diri menyapanya. Ternyata dia bawa barang dagangan berupa empek-empek goreng beserta bumbunya yang akan dia jual di terminal Bekasi. Orang-orang di dalam angkot pun ikut kepo, “Siapa yang suruh adik jualan seperti ini?”. “Mama..” jawabnya singkat dengan tatapan seperti semula. Kosong.

Hati ibu mana yang tidak akan trenyuh melihat kenyataan di depan mata seperti ini? Setelah membeli beberapa potong dagangannya, kami berpisah di terminal Bekasi. Entah sudah seberapa besar dia sekarang.

Kejadian itu lebih dari 5 tahun yang lalu. Semoga Allah menjaganya dan menyelamatkannya dari kehidupan yang tidak ramah kepadanya.

Kejadian serupa juga pernah penulis alami saat naik angkot lagi ke terminal Bekasi. Tapi kali ini yang penulis temui adalah seorang anak laki-laki dengan usia yang hampir sama dengan anak perempuan tadi.

Di angkot, kami duduk berseberangan. Dia tertunduk lesu dengan pakaian lusuh dan wajah kotor. Orang yang duduk di sebelah penulis membisiki penulis agar jangan kasihan dan memberi uang.

“Saya sering lihat anak ini kumpul-kumpul di makam dekat terminal. Mereka ngelem! Kalau dikasih uang, bukan buat makan,” bisiknya.

Subhanallah. Sedih hati ini mendengarnya. Dia dilahirkan dari rahim suci seorang ibu.

Tapi saat itu, di depan mata saya, ada seorang manusia kecil pemadat, yang entah orangtuanya masih ada atau tidak karena jelas-jelas anak ini tidak terurus. Yang ada di benak penulis, saat si kecil masih berupa benih, sempatkah orangtuanya berpikir akan mereka ‘bentuk’ seperti apa anak ini kelak?

Tak terasa, air mata meleleh mengingat nasib anak-anak yang tidak beruntung. Mereka dilahirkan tapi setelah itu ditinggalkan, dimanfaatkan (dieksploitasi) atau bahkan hanya dijadikan ‘sansak hidup’. Dipukuli untuk meluapkan rasa frustasi orangtuanya.

Saat masih tinggal di sekitar Mampang Prapatan Jakarta 17 tahun yang lalu, penulis melihat seorang gadis kecil yang sangat cantik. Usianya baru 5 tahunan.

Dia menenteng ukulele. Yang bikin takjub, dengan lincahnya dia berlari kemudian naik metromini yang penulis tumpangi dengan lihainya. Sambil bersandar di pintu metromini, dia bersenandung dengan serak dan lantang sambil memetik ukulelenya.

Setelah dia mendapat uang hasil ngamennya, dia minta diturunkan di depan Plaza Tendean. Seperti tahu mata penulis masih terlongong-longong menatap si kecil menjauh dari metromini kami, sang kondektur mulai bercerita kisah si kecil.

Lagi-lagi hati perih mendengarnya. Pak sopir dan kondektur sebetulnya gak tega lihat anak ini mengamen di metromininya, tapi mereka sering lihat si kecil ini sampai jam 3 pagi masih di jalan mencari tumpangan metromini yang membolehkan dia ngamen.

Ternyata alasannya bikin hati teriris. “Setoran belum cukup, Om. Kalau saya pulang, nanti saya digebukin Bapak,” keluh si gadis kepada sang kondektur. Ya Allah, Ya Rabb, siapa orangtua yang hanya mengeksploitasi anaknya seperti ini? Andai si kecil bisa memilih, dia lahir dari benih dan rahim siapa. Dia pasti minta kepada Allah untuk tidak dijadikan anak untuk orangtua biadab seperti ini.

Tanggal 23 Juli lalu, baru saja bangsa Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Tahun 2020 ini temanya adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Meski peringatan HAN ini sudah terselenggara sejak tahun 1984, akan tetapi jargon “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” seakan hanya sebuah ‘yel-yel yang tiada arti’ saat disandingkan dengan fakta kondisi anak Indonesia saat ini.

Tak lupa, saat peringatan HAN 2016 Pemerintah mencanangkan tema “Akhiri Kekerasan Pada Anak”. Sudah 4 tahun setelah diserukan, nasib pedih anak Indonesia nyatanya belum berakhir.

Medio 1 januari – 19 juni 2020 saja, terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, dengan rincian 852 kekerasan fisik, 768 kekerasan psikis dan 1848 kekerasan seksual.

Bahkan semakin banyak anak-anak yang menjadi korban pembunuhan atau pelecehan seksual dari orangtua kandungnya sendiri. Naudzubillahi min dzalik.

Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan hal laknat seperti itu.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُشَرِّكَانِهِ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَرَأَيْتَ لَوْ مَاتَ قَبْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ “اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.

Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang musyrik.”

Lalu seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana pendapat engkau kalau anak itu mati sebelum itu?” Beliau menjawab: “Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan.”

Benar seperti yang disampaikan Ustadz Bendri Jaiyshurrahman,”Jika memiliki anak sudah ngaku-ngaku jadi AYAH, maka sama anehnya dengan orang yang punya bola ngaku-ngaku jadi pemain bola.”

Tidak semudah itu menjadi orangtua. Saat si anak masih belum menjadi benih, orangtua baik ayah maupun ibu sudah mendidik dirinya sendiri terlebih dahulu menjadi manusia mulia di hadapan Allah SWT. Kelak saat si kecil lahir, mereka telah siap menjadi orangtua.

Tapi kini, banyak orang yang “menghasilkan” anak baik dari hubungan sah maupun tidak, naudzubillahi mindzalik, mereka bingung sendiri. Mau diapakan anak ini? Kadang mereka menjawab pertanyaan itu dengan kesalahan fatal, bahwa anak yang lahir dari benih dan rahimnya adalah barang miliknya.

Anak ini wajib tunduk pada apa yang mereka tuntutkan. Sehingga terjadilah kejadian-kejadian mengenaskan seperti yang penulis ceritakan di atas.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seorang lelaki mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra kedua orangtua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudian anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orangtuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak (dari ayahnya)?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik dan mengajarkannya Al Quran,” jawab Umar.

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang Majusi. Ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al Quran,” kata anak itu.

Umar segera memandang orangtua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu. (Tarbiyatul Awlad Fiil Islam – Abdullah Nashih ‘Ulwan)

Ujung tombak pertama perlindungan anak adalah individu orangtua. Melihat kondisi miris yang penulis sampaikan di atas saat, peran orangtua terasa ‘tumpul’. Bukannya mengasah diri untuk menjadi orangtua yang baik untuk anak-anaknya tapi malah sibuk dengan segala rasa frustrasi karena merasa kebahagiaan dunia sulit teraih. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hati yang selalu merasa cukup inilah yang saat ini tidak dimiliki oleh sebagian besar orangtua millenial sekarang.

Harapan agar lingkungan masyarakat melindungi anak-anak juga setali tiga uang. Sebetulnya mulai ada kesadaran untuk peduli kepada sesama terutama peduli kepada nasib anak-anak. Bisa kita lihat dari channel Youtube Baim Paula, Ade Septian atau Galang Al Fatih.

Mereka buka mata kita betapa banyaknya orang yang menderita di Indonesia ini, termasuk penderitaan anak Indonesia.

Mereka bantu anak-anak tersebut sesuai kemampuan mereka. Yang paling menonjol adalah channel Baim Paula yang sering memberi bantuan fantastis, mengangkat derajat dhuafa yang mereka temui sampai tuntas.

Tapi cobalah kita melihat dari sisi yang lain, bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak pernah habis dan menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesia ini. Upload video tiap hari dan isinya berupa konten kepedihan hidup dari orang dewasa atau anak-anak yang berbeda-beda.

Tapi lihat potret kemiskinan di Indonesia ini, apakah selesai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang murah hati ini? Tidak. Angka kemiskinan masih tinggi. Kenapa?

Karena akar masalah saat ini adalah sistem kehidupan yang benar sebagai solusi terhadap amburadulnya kehidupan umat. Sistem shahih ini adalah Sistem ISLAM dalam semua aspek kehidupan. Siapakah yang bertanggungjawab menerapkan sistem ini? Jawabnya adalah negara.

Saat ini negara tidak menggunakan sistem yang benar dalam mengelola kehidupan rakyatnya karena hanya memakai sistem buatan manusia yang tidak azali yaitu sistem kapitalis yang ‘mendewakan’ kapital atau harta sebagai tujuan perjuangannya.

Sehingga rakyatpun ikut berlomba-lomba memperjuangkan harta untuk kebahagiaan mereka masing-masing bahkan kebahagiaan anak pun mereka ukur dengan harta.

Saat harta tidak teraih, rasa frustasi hebat yang mereka dapat. Akhirnya berdampak kepada pola asuh dan pola sikap mereka terhadap anak-anak.

Sistem Islam tidak mengajarkan hal demikian. Negara atau penguasa dalam Islam mempunyai tugas seperti penggembala. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

…الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam itu adalah seperti penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.)

Dalam Islam, Negara wajib menjaga aqidah rakyatnya sehingga terwujud ketaatan hanya kepada Allah SWT dan rasa takut hanya kepadaNya. Hanya negaralah yang mampu untuk menularkan semangat untuk beraqidah yang kokoh kepada seluruh warganya.

Dengan aqidah yang kokoh manusia akan menatap masa depan yang cerah yaitu surga Allah SWT. Sebagai orangtua dan masyarakat, mereka akan mampu menghormati hak-hak anak sebagaimana mereka menghormati hak-hak sesamanya.

Nabi saw. Bersabda, “Sungguh di dalam surga itu ada rumah yang disebut rumah kebahagiaan yang tidak dimasuki kecuali orang yang membahagiakan anak-anak kecil.” (Hadis ini diriwayatkan oleh imam Abu Ya’la dari sayyidah Aisyah r.a.)[]

 

*Parenting Consultant MQ Lovers Bekasi)

Comment