Ummu Aqila Sakha*: Berhutang Demi Kemajuan Rakyat, Benarkah?

Opini568 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pandemi virus corona (covid19) telah memukul perekonomian dunia termasuk Indonesia. Pengeluaran yang banyak menjadikan pemerintah melakukan berbagai kebijakan termasuk penambahan utang.

Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 tembus sebesar 404,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.868,15 triliun (kurs rp.14.500). ULN Indonesia tersebut tumbuh 4,8 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2020 sebesar 2,9 persen. (kompas.com 17/7/2020).

Tidak hanya itu, pemerintah pun menyebut masih membutuhkan sekitar Rp 900 triliun untuk pembiayaan defisit anggaran yang saat ini terjadi.

Memang, pandemi covid 19 ini yang terjadi sekarang membuat ekonomi Indonesia terpukul dan pembengkakan defisit. Oleh sebab itu dibutuhkan tambahan biaya dari berbagai sumber.

Termasuk sumber pinjaman alias utang.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengungkapkan untuk menambal defisit itu pemerintah akan menerbitkan surat berharga negara (SBN) dengan nilai Rp 900,4 triliun.

“Bagaimana memenuhi kebutuhan di sisa semester II tahun ini? Pertama kita lihat, setelah menerbitkan kurang lebih Rp 630 triliun, jadi sisa semester II masih harus Rp 900,4 triliun,” kata dia dalam diskusi online, Jumat (detik.com 24/7/2020).

Meski jumlah utang terus meningkat dan menuai pro kontra disebagian kalangan masyarakat, pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani justru meminta masyarakat lebih terbuka terhadap utang dan tidak memandangnya sebagai stigma negatif.

Penerintah mengklaim bahwa pinjaman diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bersama. Bisa dikatakan, lanjut dia, tak ada satupun negara di dunia yang tak memiliki utang, tak terkecuali negara-negara Islam.

Sri Mulyani menegaskan, kalau teman-teman yang suka pakai negara Islam. Semua negara Islam di dunia, semua berhutang. Mau Saudi, UEA, Qatar, Maroko, Pakistan, Afganistan, Kazakhstan, you name it,”.

Bahkan saat menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia banyak ditemui di negara-negara Islam terutama dari Afrika yang mayoritas miskin banget mereka dapat utang, bahkan dapat hibah. Tambah Sri Mulyani dalam live Instagram pribadinya, Sabtu (18/7/2020).

Jika kita cermati, strategi yang dinarasikan oleh Menteri Keuangan ini jelas keliru. seolah tidak ada alternatif lain untuk memulihkan ekonomi kecuali dengan berhutang, meningkatkan pajak dan terkadang dengan mencetak mata uang.

Sebab hanya solusi inilah yang mampu sistem kapitalisme berikan untuk mengatasi defisit anggaran. Maka tidak heran jika penguasa yang ada memang suka berhutang dan memalak rakyat dengan dalih untuk kemaslahatan bersama.

Padahal dengan bertambahnya utang kepada para kapital hanya akan mengancam kedaulatan negara dan menambah penderitaan rakyat secara tidak langsung.

Sebab di balik utang luar negeri tersebut pasti terdapat sejumlah konsekuensi yang harus diambil oleh negara penghutang. Seperti pemangkasan berbagai subsidi, padahal subsidi adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara.

Pemangkasan subsidi ini sangat memuluskan rencana para kapital untuk melakukan monopoli pasar, menguasai sumber daya alam yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan rakyat.

Alhasil rakyat justru melarat karena beban kebutuhan hidup yang terus meningkat. Dan negara hanya sebatas regulator kebijakan bukan menjadi pengurus rakyat.

Selain itu untuk melunasi utang-utang tersebut dilakukan dalam rentang waktu lama, sehingga beban bunga yang harus ditanggung saat utang jatuh tempo tentu sangat besar.

Ini semua akan ditanggung oleh rakyat dan generasi mendatang melalui pajak yang tinggi. Maka tidak heran pemerintah mengambil pajak hampir disemua sektor.

Tentu hal ini berbeda dangan Islam, dimana islam memiliki aturan yang khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Termasuk Solusi masalah keuangan negara hari ini bisa dengan mudah diselesaikan jika negeri ini mau taat dengan syariat islam secara sempurna dengan institusi islam.

Islam tidak akan menerapkan praktek hutang ribawi melainkan sistem keuangan negara berbasis syariah yakni baitul mal. Khilafah akan menghindari hutang bahkan haram jika hutang tersebut diambil dari pihak asing.

Sebab utang ini mengandung riba dan mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berhutang. Oleh karena itu khilafah akan melakukan optimalisasi pengelolaan SDA secara mandiri.

Hasil pengelolaan ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan negara dan mensubsidi kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur bahkan pembiayaan dikala pandemi. Dan pengelolaan ini menjadi salah satu pos pemasukan baitul mal yakni pos kepemilikan umum. Selain itu, khilafah memiliki 2 pos pemasukan lain, yakni pos kepemilikan negara dan pos shodaqoh.

Pos kepemilikan negara berasal dari harta seperti usyur, fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Harta ini digunakan secara khusus untuk mengatur kepentingan kaum muslimin serta kemaslahatan mereka sesuai pendapat dan ijtihad khalifah.

Sedangkan pos shodaqoh terdiri dari zakat uang dan perdagangan. Yakni dari zakat emas, zakat perak, zakat ternak, zakat pertanian, zakat perdagangan. 3 pos ini mengalirkan harta baitul mal karena bertumpu pada sektor produktif. Harta baitul mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat hutang ribawi.

Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat di hindari.
Namun, semua aturan ini akan sulit tercapai dan tidak mampu mengantarkan umat pada keridhaan Allah SWT bila masih menggunakan sistem sekuler-kapitalis.

Sungguh hanya dengan sistem Islam yang kaffah, semua permasalahan yang ada bisa teratasi, baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, politik, sosial budaya dan lain sebagainya.

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Thaha ayat 124, “Siapa saja yang berpaling dari perintahku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. Wallahu a’lam.[]

 

Comment