RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Merujuk pada kitab-kitab klasik yang membahas tentang ulama di zamannya, kita dapati berbagai kisah yang menggetarkan jiwa. Ulama dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian, tegas dalam bersikap, meski harus didera penguasa. Maka wajar lisannya didengar, ilmunya tersebar, padanya umat mengadukan problematika dan fatwa.
Alkisah, muslimin dan pemimpinnya pernah berada dalam kondisi terpuruk dan rendah taraf berpikirnya. Sebut saja era Kekhilafahan Abbasiyah.
Secara umum kita paham betul bahwa ilmu tengah terang benderang di masanya. Kekuasaan Islam dan kehormatan muslim tengah dielu-elukan masyarakat dunia. Namun seiring tersebar luasnya kekuasaan Islam saat itu, tersebar pula paham-paham ‘fasad’ yang mewarnai corak masyarakat dibawah kepemimpinan al Mu’tashim Billah.
Dinukil dari Kitab Biografi Imam 4 Mazhab, jelas tercatat disana tentang fitnah ‘khalqul quran’ dan pengaruh kaum mu’tazillah terhadap pemahaman penguasa.
Bahkan seluruh ulama diminta memfatwakan hal serupa meskipun dipaksa. Namun seruan itu tak berlaku bagi Imam Ahmad bin Hambal. Ulama karismatik yang membela kemuliaan al Quran dan tak pernah mengakui bahwa al Quran adalah makhluk. Al Quran adalah kalamullah. Bukan makhluk yang bersifat lemah, terbatas, serba kurang dan rentan berubah-ubah diluar kondisi dan waktu.
Meski keteguhannya berbuah cambukan dan siksaan dari sang khalifah, namun jutaan jiwa terselamatkan dari paham sesat yang membahayakan masa depan Islam dan kaum muslimin.
Dari sejarah kita belajar, peran ulama begitu besar. Ia begitu didengar, hingga menjadi tolak ukur salah benar.
Kita pun diingatkan dengan kisah Imam Nawawi yang berhadapan dengan Sultan Mamluk.
Sultan meminta rakyat berpatungan membiayai keperluan perang. Demi melancarkan keputusannya, Sultan Zhahir Baibars meminta fatwanya.
Namun yang didapatnya bukanlah fatwa untuk melegitimasi rencananya, melainkan nasihat agar mencari dana dari sumber lain yakni kekayaan para penghuni istana yg selalu menampakkan kemewahan yg tidak dimiliki oleh masyarakat pada saat itu.
Keberaniannya ini memaksanya keluar dari negeri Syam karena mengundang amarah sang sultan lalu mengusirnya. Kembalilah Imam pembela umat itu ke kampung halamannya di Nawa.
Begitulah keteguhan orang berilmu (‘alim), pemahamannya tak hanya tampak dari kepribadiannya namun juga berdampak bagi sekitarnya.
Ilmu disebar hanya dengan lisan dan pena, tapi hikmahnya begitu terasa. Luas menyebrangi negeri dan penduduknya.
Jika kita berkaca, hari ini kondisi kita jauh berbeda. Arus informasi bisa sedemikian liar mempengaruhi cara pandang kita bahkan para cendikia muslimnya.
Isu Islam moderat semakin digencarkan, ini sejalan dengan silabus penguasa dan Barat yang menjadi kiblatnya. Hal ini bukan menyelamatkan umat dari pemahaman intoleran, melainkan mengaburkan pandangan umat hingga haluan justru menapaki cara pandang para penjajah.
Sebut saja lembaga penelitian Amerika, Rand Corporation, yang mengkotak-kotakkan kaum muslimin dengan berbagai istilah. Jika inginkan penerapan syariat, maka dilabel sebagai Islam Fundamental/Radikal dan Tradisionalis. Jika memiliki pemikiran terbuka dan menerima ide Barat untuk diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan disebut Moderat dan tingkat tertinggi yang paling mereka sukai adalah Islam liberal.
Ide ini diagendakan dan mendunia. Khususnya ke negeri-negeri muslim melalui para agennya. Ulama yang menentang, siap-siap dihadang. Tak sedikit yang memilih diam bahkan mendukung terang-terangan.
Mungkin sejarah kembali berulang. Ketika ulama tegas bersuara lantang, siap-siap didepak dari lembaga bahkan dipersekusi kemanapun ia menyambang. Dakwahnya dihadang. Tak sepakat dengan legitimasi penguasa, langsung dicap lancang.
Padahal hadirnya tidak membawa apapun kecuali perbaikan bagi negeri dan penguasanya. Menyelamatkan umat dari suramnya peradaban yang jauh dari Rabb semesta. Andai mereka tiada, masihkah ada alasan untuk negeri ini selamat dari bencana?[]
Comment