RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Awal Juni disebut-sebut sebagai bulan kehidupan normal yang baru (new normal) di mana PSBB (Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar) dilonggarkan demi mengembalikan nafas kegiatan ekonomi Indonesia. Badan Pemeriksa Statistik (BPS) mencatat untuk kuartal I laju pertumbuhannya sempat terpuruk yakni hanya 2,97%
Dikutip dari DetikFinance, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan bahwa berbicara terkait wabah di Indonesia masih relatif tinggi atau meningkat dibandingkan negara lain. Seandainya tidak diperhatikan tentu akan berpotensi menambah apa yang sering disebut orang sebagai second wave, gelombang kedua.
Menurutnya kegiatan normal baru di tengah pandemi COVID-19 ibarat dua mata uang, ada potensi untuk meningkatkan perekonomian, tapi ada risiko peningkatan kasus positif virus Corona.
Opini Herd Immunity
Banyak masyarakat meyakini bahwa New Normal adalah cara yang sangat berisiko karena harus berhadapan dengan kemungkinan semakin terbukanya interaksi yang bermuara penularan dan berujung jatuh korban.
Bagaimana tidak, wacana new normal diumumkan pemerintah di tengah angka kasus Corona yang masih sangat tinggi di Indonesia.
Data per 7 juni 2020 ini jumlah positif terinveksi total mencapai 30.514 dengan 1.801 kematian dan 9.907 pasien yang dinyatakan sembuh. Angka ini membuat Indonesia menempati posisi ke 34 Dunia. Namun bukan tidak mungkin angka ini akan terus bertambah setiap hari ke depan. Seperti India misalnya, dalam 24 jam kemarin 9.887 masyarakat dinyatakan terjangkit Covid 19 pasca pelonggaran aturan karantina.
Secara tiba-tiba India langsung menembus urutan ke-6 dunia dan bukan tidak mungkin hal ini juga akan dialami Indonesia.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) cabang kota Bekasi, Eko S. Nugroho mengatakan,New normal adalah sebuah cara untuk dancing with Covid-19.
Masyarakat pun terheran heran dengan pernyataan semacam ini. ‘menari dengan virus?’ Bukankah semakna dengan hidup berdampingan ala herd immunity secara sengaja di tengah wabah?
Dikutip dari Detik Health, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, MSc, ingin meluruskan bahwa herd immunity sebenarnya jauh berbeda dengan new normal. Namun jika masyarakat dibiarkan menjalani new normal saat kasus baru Corona masih tinggi bisa dikatakan sama saja dengan mengadopsi strategi herd immunity.
Dengan menyaksikan angka positif covid dan perbandingannya dengan pasien sembuh, tentu syarat new normal tidaklah berlaku. Hal ini sangat beresiko dan berdampak fatal. Tak mengherankan masyarakat mengambil kesimpulan sendiri tentang strategi herd immunity yang sejatinya lebih cocok digunakan untuk hewan.
Alasan Ekonomi?
Alasan terbesar diterapkannya new normal sebagai kebijakan adalah perekonomian Indonesia yang terus mengalami kemunduran.
Ekonom senior Dr. Rizal Ramli berani menyatakan bahwa jauh sebelum ada Corona, ekonomi Indonesia memang sudah terpuruk.
Secara kasat mata, infrastruktur Indonesia memang semakin memukau. Fasilitas terbarukan dan ingin menyamakan diri dengan negeri tetangga bahkan negara maju tapi di sisi lain angka pengangguran semakin bertambah, TKA membanjir dan menggantikan posisi anak negeri. Utang melonjak dan berbagai masalah yang jika diakumulasikan memang membuktikan bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja.
Namun ketika Covid-19 mewabah, ia malah dituding sebagai alasan dan kambing hitam atas keterpurukan ekonomi Indonesia.
Masuk akal memang, beban negara semakin bertambah. Namun bukankah para pakar telah jauh-jauh hari mewanti-wanti? Bukankah kebijakan lamban yang harus bertanggungjawab atas carut marut penanganan wabah ini? Seharusnya negara menjadi garda terdepan memayungi rakyat yang tengah dihujani kesulitan dari berbagai aspek. Bukan menggunakan alasan ekonomi lalu mengorbankan keselamatan jiwa masyarakatnya sendiri. Inikah pertanda negara telah sampai di jalan buntu?
Bagaimana Sudut Pandang Islam?
Islam akan membawa dampak positif bagi seluruh alam hanya apabila diterapkan secara sempurna (completed/kaaffah) baik aspek pemikiran maupun metodologinya. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintakan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Sehingga siapapun penguasa yang hari ini mempimpin, hendaklah tampil sebagai pribadi yang maksimal dan bekerja ekstra untuk menyelesaikan masalah, khususnya wabah.
Di masa sulit pandemi ini, tak seharusnya negara bicara untung rugi. Syariat Islam mewajibkan adanya penjagaan terhadap nyawa manusia (hifzh an-nafs) sehingga tak boleh trial error dalam memperlakukan rakyat apalagi jika new normal (atau bahkan herd immunity) yang berpotensi memakan lebih banyak jatuh korban jiwa.
Rasulullah SAW bersabda,”hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingan terbunuhnya seorang mukmin tanpa haq.” (HR. an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).
Oleh karena itu, negara harus berada terdepan memainkan peran sebelum segalanya terlambat. Jumlah penderita bisa ditekan jika sedari awal diberlakukan karantina sebelum wabah tersebar luas ke berbagai daerah.
Ketika Islam diterapkan di era Kekhilafahan pada waktu silam, wabah pun pernah terjadi. Namun ketika diberlakukan isolasi dan di lain sisi negara juga menanggung kebutuhan dasar masyarakat. Tak perlu waktu bertahun-tahun, wabah pun tak tersebar lalu segera pergi.
Di samping itu, masyarakat harus taat aturan demi kemaslahatan bersama. Tidak berputus asa dan memaksimalkan ikhtiar sesuai tuntunan agama. Sekaligus saling membantu antar tetangga karena dorongan keimanan.
Jangan sampai sifat individualis di era kapitalis menyebabkan orang sekitar kita wafat karena lapar yang pada akhirnya menyulitkan masa hisab kita nanti.[]
Comment