Umi Salamah*: Pembunuhan Bocah oleh Remaja 15 Tahun, Salah Siapa?

Opini800 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pembunuhan tak selamanya hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini didukung fakta seorang remaja berusia 15 tahun yang membunuh tetangganya sendiri.

Pelaku berinisial NF itu melaporkan sendiri perbuatannya kepada pihak kepolisian serta mengakui bahwa dia melakukan pembunuhan karena terinspirasi dari film-film horor yang ditontonnya. Sebelum korban tewas, pelaku melakukan penyiksaan dengan berkali-kali membenamkan tubuh korban ke dalam bak air.

Bukannya menyesal, justru dia merasa puas setelah melakukan aksinya menghabisi nyawa anak berusia enam tahun yang tak lain teman adiknya sendiri.

Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, bagaimana mungkin remaja usia 15 tahun terpikir untuk membunuh orang lain tanpa rasa penyesalan usai melakukannya.

Umur 15 tahun seharusnya menjadi usia yang cukup bagi seseorang untuk dikatakan mampu membedakan mana yang baik atau buruk, dan perilaku apa yang terkategori tindak kejahatan.

Apalagi bagi muslim, usia 15 tahun adalah masa lazimnya seseorang memasuki usia baligh, artinya sudah mampu berpikir dan membedakan mana benar dan salah. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas perkara ini?

Pertama, jelas ini adalah kesalahan pelaku.  Jika pelaku sudah baligh, dia harus mempertanggung-jawabkan sendiri perbuatannya di hadapan Allah SWT. Hanya saja, kembali kepada pertanyaan besar tadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan pelaku melakukan aksi sadisnya itu. Apakah yang bersangkutan mengalami kegilaan? Ataukah mengidap psikopati? Perkara ini harus ditelusuri untuk mendapatkan yang lebih lengkap tentang pelaku dan ini sedang dilakukan pihak kepolisian.

Namun, yang jelas, terlepas dari apakah gila, psikopat, ataukah normal saja, seorang anak hingga usia 15 tahun tentu tidak tumbuh begitu saja. Ada banyak hal yang mengiringi masa pertumbuhannya.

Maka, pihak kedua yang harus dipertanyakan adalah orangtuanya karena orang tua adalah pihak pertama yang lazim dikenal oleh seseorang. Memang, tidak semua orang menonton film horor langsung melakukan pembunuhan. Hanya saja, melihat kasus ini, peluang itu ada. Untuk itulah, bagaimana peran orang tua selama ini dalam mendidik anaknya termasuk dalam hal menonton film perlu dikaji lebih jauh.

KPAI sendiri menyatakan bahwa anak usia di bawah 18 tahun seharusnya dipenuhi hak-haknya. Tentu jika berbicara hak sendiri banyak macamnya, termasuk hak untuk diberikan ilmu, pendampingan dan juga perhatian. Jika anak usia 15 tahun sudah bisa meniru  film yang ditontonnya, bisa jadi tidak ada pendampingan dari orang-orang di sekitarnya termasuk keluarga dan khususnya orangtua.

Untuk kasus NF ini, polisi menemukan gambar-gambar pelaku yang menunjukkan apa yang ada di pikirannya. Sebagiannya seolah menunjukkan dia menyimpan kemarahan kepada ayahnya.

Apakah hubungan dia dan ayahnya kurang harmonis? Yang jelas, akhirnya ini menjadi pelajaran bagi semua orangtua agar benar-benar menjalankan peran sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang sudah Allah perintahkan.

Berikutnya, kita juga perlu mempertanyakan pengkondisian media massa hari ini. Tidak bisa dipungkiri media massa kita baik cetak, online maupun elektronik memperlihatkan hal apapun secara bebas.

Masyarakat pun mudah untuk mengaksesnya. Apalagi di era digital. Melalui internet, orang bisa menonton apa saja dan meniru apa saja bahkan tanpa diketahui oleh orang lain karena sudah masuk ruang yang sangat privat seperti telepon genggam.

Untuk itulah, merupakan hal yang sangat mendesak agar ada upaya untuk memfilter jaringan internet agar hanya tontonan yang mendidik saja yang bisa diakses masyarakat.

Kasus pembunuhan NF ini tak bisa dipandang sebelah mata. Kemungkinan akan terjadinya hal yang sama masih terbuka lebar. Untuk itu, kita perlu melakukan upaya dari berbagai sisi agar kejadian serupa tak terulang.

Dari sudut pandang Islam, pendidikan dan upaya membentuk kepribadian anak harus dilakukan sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan. Sejak usia dini anak harus ditanamkan aqidah dan nilai-nilai Islam yang kuat serta diajarkan benar-salah atau halal-haram. Islam juga mewajibkan orangtua, khususnya ibu untuk mendidik anaknya, memberikan hak-haknya sebagai seorang anak, serta mengontrol tumbuh kembang fisik, psikis, dan perilakunya.

Berikutnya, sekolah juga harus mengajarkan hal yang menguatkan pendidikan di keluarga, selain memperkaya ilmu pengetahuan. Untuk itu, aspek aqidah Islam dan standard halal-haram juga harus diajarkan di sekolah.

Namun, keluarga dan sekolah tidak cukup. Masyarakat juga harus berperan aktif mengajarkan hal yang benar. Kontrol masyarakat harus hidup. Jika terindra perilaku menyimpang di tengah masyarakat, maka harus ada yang menegur dan menasehati pelakunya. Jika masyarakat sendiri abai terhadap tindak kejahatan, justru itu akan berdampak juga kepada dirinya yang tidak punya jaminan tentang keamanan.

Namun, masyarakat seperti ini tidak akan terbentuk kecuali orang-orang di dalamnya memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama, yang berstandarkan pada halal-haram, yaitu Islam.

Selanjutnya, peredaran media massa dan apa-apa yang terkandung di dalamnya juga harus mendukung pendidikan yang telah tercipta di tengah keluarga, sekolah, dan masyarakat tadi.

Untuk itu, yang boleh beredar di media massa dan dapat diakses bebas oleh masyarakat luas adalah hal-hal yang tidak bertentangan dengan syari’at Allah, serta bukan sesuatu yang hoax, porno, dan tidak mendidik.

Pengendalian media massa seperti ini tentu hanya bisa dilakukan oleh negara, karena negaralah yang memiliki otoritas itu.

Jika pengkondisian dari berbagai lini di atas telah dijalankan tapi masih ditemukan tindakan menyimpang atau kriminal, maka negara harus menyiapkan sanksi yang tegas dan membuat jera dan tak bisa ditawar atau dibeli dengan uang. Di dalam Islam, sistem sanksi sudah lengkap, tegas, dan membuat jera, bahkan bisa menebus dosa.

Oleh karena itu, semua upaya di atas tentu tak akan bisa dilakukan jika negara masih menganut paham sekulerisme yang memarginalkan aturan Islam dari kehidupan. Sebaliknya, hanya negara yang berlandaskan pada aqidah Islam dan menerapkan aturan Islam-lah yang bisa melakukan langkah-langkah sistemik di atas. Negara seperti inilah yang akan menjadi rahmatan lil alamin, rahmat bagi segenap alam.[]

*Alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang

Comment