Umi Salamah*: Mau Dibawa Kemana Pendidikan Tinggi Kita?

Opini, Pendidikan621 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dunia pendidikan sempat sedikit ‘terguncang.’ Hal ini lantaran keputusan presiden yang menunjuk Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan.

Pasalnya, baru kali ini pendidikan diserahkan kepada orang yang tak berlatar belakang kependidikan secara langsung. Menurut presiden, penunjukan ini diharapkan mampu memberi wajah baru bagi pendidikan Indonesia.

Benar saja, sejak diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Bapak Nadiem sudah menyampaikan rencana-rencana beliau untuk perbaikan pendidikan ke depan ke tengah publik.

Memang, banyak hal baru yang beliau lontarkan, yang oleh sebagian orang dianggap ‘angin segar’ dan sebagiannya lagi mengira Bapak Menteri ini kurang memperhatikan dampak dari rencana kebijakan beliau.

Salah satu rencana kebijakan yang cukup mengagetkan adalah masa studi kuliah akan dipangkas menjadi lima semester. Selama lima semester itu, tiga semesternya bisa digunakan mahasiswa untuk magang di perusahaan. Masa magang yang biasanya sekitar dua bulan, akan diperlama.

Menurut beliau, perpanjangan waktu magang ini disambut baik oleh kalangan industri dan perusahaan. Selama ini, kata beliau, perusahaan kurang tertarik dengan program magang mahasiswa Karena waktunya singkat, yakni sekitar 2-3 bulan.

Selain itu, Pak Nadiem juga memberi kesempatan pada mahasiswa untuk mengambil matakuliah di luar prodinya selama 1 semester. Praktis, durasi belajar untuk prodinya sendiri hanya dua semester.

Dengan model perkuliahan seperti ini, mahasiswa diharapkan mampu belajar pada mata kuliah yang diminati dengan terjun langsung dalam dunia kerja.

Inilah yang membuat sebagian praktisi kependidikan di perguruan tinggi terkejut.

Pasalnya, pendidikan yang seharusnya dipahami, salah satunya adalah menjadi wadah belajar dan pencetak para ahli, bisa bergeser. Para ahli jebolan kampus sejatinya diharapkan mampu memberikan solusi pada segala persoalan negeri.

Negeri ini masih butuh banyak pakar di berbagai bidang, bukan hanya pekerja.

Benar juga apa yang dikhawatirkan banyak pihak. Selama ini, lama studi yang delapan semester saja belum tentu mampu mencetak calon ahli, lalu bagaimana jika lama studi ini dipangkas menjadi lima semster?

Sebenarnya persoalan mendasarnya bukan tentang lama studi. Tapi, tentang kematangan seseorang dalam belajar.

Bisa saja belajar dalam kurun singkat, asalkan ada metode pembelajaran yang mampu memahamkan pelajar dalam waktu singkat itu.

Jika model pembelajaran sebagaimana yang kita alami selama ini, tentu tidak cukup bagi mahasiswa untuk mendalami bidang mereka. Belum lagi mahasiswa harus terjun dalam dunia kerja saat kuliah, semakin berkurang waktu mereka untuk mendalami bidang keahlian mereka.

Jika arah pendidikan tinggi seperti itu, generasi yang berpendidikan mau tidak mau akan berpikiran materialistik. Berikutnya, Indonesia akan lebih banyak mencetak pekerja dari pada pakar. Memang, lulus kuliah langsung kerja itu dapat menyelesaikan salah satu problem ekonomi. Setidaknya, pengangguran bisa terkurangi.

Tapi, ingat ini hanya solusi sebagian kecil masalah ekonomi secara mikro. Padahal, persoalan ekonomi di Indonesia ini sudah pada tataran makro. Solusinya tak cukup jika hanya menjadikan generasi siap kerja tapi minim ilmu.

Ketika mahasiswa diajarkan untuk magang, berarti mereka dicetak untuk memiliki mental pekerja. Ketika lulus, tentu mereka akan menyerbu lapangan kerja dan perusahaan-perusahaan.

Mereka memang akan bekerja, tapi minim keahlian yang mendalam. Sehingga, seterunya mereka akan menjadi pekerja. Lantas, siapa yang akan meraup keuntungan besar? Lagi-lagi yang diuntungkan dalam hal ini adalah pihak korporasi.

Mengapa? Karena mereka bisa mendapatkan para pekerja dengan jumlah banyak dan sudah dikatakan siap kerja (karena sudah ditatar di masa magang).

Dengan kata lain, para lulusan siap kerja itu siap untuk menjadi pelumas mesin-mesin kapitalis untuk menghasilkan produksi lebih banyak dan lebih cepat lagi sehingga profit pun bisa dicapai lebih banyak dan lebih cepat lagi.

Para pemilik korporasi tentu tak akan serta merta memberi gaji yang tinggi pada para pekerja. Yang penting para pekerja bisa makan dan sesuai UMR, maka para pekerja itu tak akan mendemo korporat. Siapa yang akan tetap menjadi bos?

Para kapitalis konglomerat. Siapa yang akan jadi jongos? Para lulusan kampus yang dikatakan siap kerja itu.

Inilah bahayanya ketika dunia pendidikan tinggi hanya difokuskan agar lulusan siap kerja. Hal ini juga akan berdampak pada generasi muslim yang lebih mementingkan duniawi semata. Orientasi materi lebih diutamakan dari nilai-nilai agama.

Tidak hanya bagi muslim, bahkan nilai kemanusiaan sekalipun tidak terlalu diperhatikan seperti tidak mempedulikan kepentingan rakyat kecil.

Orang hanya fokus memikirkan dirinya dan keluarganya punya uang & bisa makan. Enggan menoleh kanan dan kirinya, siapa tahu ada yang masih kelaparan.

Intinya, mindset belajar yang seharusnya adalah untuk mencari kebenaran dan menggunakan kebenaran itu dalam pemecahan masalah kehidupan, beralih pada paradigma kapitalistik. Sungguh, ini sangat mendegradasi filosofi suci dari aktivitas belajar.

Padahal, dalam Islam orang yang semakin tinggi ilmunya semakin tinggi derajatnya di sisi Allah. Mahasiswa harusnya adalah pelajar dengan strata paling tinggi dibanding pelajar sekolah dasar & menengah.

Lulusan kampus harusnya diapresiasi negara dengan cara menggunakan keilmuan mereka dalam upaya memajukan negara bukan dengan melempar mereka ke mesin kapitalis.

Memang, hanya paradigma Islam yang mampu menempatkan manusia sebagai manusia, termasuk menghargai keilmuan seseorang. Islam tidak mengarahkan manusia untuk menjadi budak dunia, tapi bagaimana agar amalan mereka di dunia bisa mengantarkan pada keselamatan di akhirat kelak. Tapi, paradigma Islam tak akan mampu terwujud di dalam sistem kapitalis hari ini.

Hanya di dalam naungan sistem Islam lah, mindset pendidikan yang hakiki akan terealisasi, yakni mengembalikan hakikat eksistensi manusia untuk menghamba pada Tuhannya, bukan kepada dunia yang fatamorgana.[]

*Alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang

Comment