UKT Mengangkasa, Rakyat Miskin Makin Tak Kuasa 

Opini163 Views

 

Penulis: Diana Nofalia, S.P | Pemerhati Politik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Meningkatnya biaya UKT yang ugal-ugalan bagaikan petir di siang bolong. Bagaimana tidak, pendidikan yang merupakan hal penting bagi kemajuan generasi justru menjadi suatu hal yang sulit didapat karena butuh biaya besar. Tak ayal kondisi ini memancing respon berbagai kalangan yang mempertanyakan mau dibawa kemana negeri ini jika pendidikan generasi harus dikomersilkan?

Padahal kemajuan suatu bangsa ditentukan sejauh mana generasi memiliki taraf berfikir cemerlang yang  didapat melalui pendidikan yang baik.

Mahalnya UKT mengakibatkan sekitar 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau (Unri) yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memutuskan mundur dari Universitas Riau karena merasa tidak sanggup untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT).

Hal itu diungkapkan Presiden Mahasiswa Unri Muhammad Ravi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Komisi X DPR, seperti dikutip kompas.com (Kamis 16/5/2024).

Siti Aisyah, salah satu dari ribuan orang yang diterima di Universitas Riau (Unri) melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Namun gadis berusia 18 tahun ini akhirnya lebih memilih mengundurkandiri karena mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Gadis ini sebelumnya dinyatakan lulus jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau dan harus membayar UKT golongan 4 yakni Rp3,5 juta per semester. Padahal Siti berasal dari keluarga tidak mampu sebagaimana ditulis sindonews.com.

Mahalnya UKT jelas bertentangan dengan konsep bahwa pendidikan hak setiap rakyat. Mirisnya lagi, sekolah yang siswanya lolos SNBP namun tidak mengambilnya, sekolah bisa diblacklist. Benar sepertinya ungkapan berikut “orang miskin dilarang sekolah!”. Pasalnya, biaya pendidikan semakin mahal. Diskriminasi dalam dunia pendidikan semakin nampak. Jika punya uang bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Sebaliknya, jika tidak punya harus pasrah dengan kualitas yang menyedihkan.

Padahal seharusnya pendidikan berkualitas harus berlaku sama bagi siapa saja, punya uang atau tidak. Sebab, pendidikan berkualitas merupakan aset negeri dan bukan hak orang kaya saja.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Kewajiban pemerintah yang seharusnya menjamin setiap pendidikan baik kaya ataupun miskin, dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu.

Kebijakan kapitalis dalam dunia pendidikan semakin menguat. Dalam sistem kapitalis, peran negara diminimalisasi; negara hanya sebagai regulator. Bermunculanlah istilah-istilah  seperti “otonomi kampus” yang sesungguhnya menegaskan bahwa negara lepas tangan terhadap dunia pendidikan.

Akibatnya, kampus harus jungkir balik mencari dana. Jalan pintas yang diambil adalah menaikkan biaya pendidikan. Akhirnya pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau orang miskin.

Sangat disayangkan. Pemerintah yang semestinya bertindak sebagai pengembala, telah berubah menjadi serigala buas yang tega mengisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan semakin mahal. Hal ini semakin menambah deretan kegagalan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada rakyat sebagaimana mestinya.

Dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara.

Negara menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan dan papan yang dijamin secara tak langsung oleh negara. Adapun pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurrahman al-Maliki, 1963).

Terdapat dua sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos _fai’_ dan _kharaj_ yang merupakan kepemilikan negara seperti _ghanimah_, _khuumus_ (seperlima harta rampasan perang, jizyah,  dan dharibah (pajak): (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan _hima_ (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat ditentukan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani, 1990)

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim (Al-Maliki, 1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan.

Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dalam pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain.

Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya (An-Nabhani, 1990)

Demikianlah gambaran sistem Islam dalam pembiayaan pendidikan rakyatnya. Sehingga tidak akan terjadi biaya pendidikan yang mengangkasa yang mengakibatkan rakyat miskin tak kuasa untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesungguhnya adalah hak mereka.

Hal ini tak akan pernah didapat jika sistem pendidikan negeri kita masih menganut sistem sekularisme-kapitalisme. Wallahu a’lam.[]

Comment