UKT Mahal, Sesuaikah Dengan Nalar?

Opini213 Views

 

Penulis: Ihta Tiana | Mahasiswi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Belakangan ini ramai diperbincangkan tentang adanya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menaikkan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang wajib dibayar mahasiswa di setiap semester.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekonologi (Kemendikbudristek) Nadiem Makarim membuat pernyataan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi.

Ia menyampaikan UKT mahal merupakan wujud keadilan bagi mahasiswa kaya mensubsidi mahasiswa miskin. Benarkah itu solusi?

Siti Aisyah, warga Pekan Baru,  salah satu dari ribuan orang yang diterima di Universitas Riau (Unri) melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), namun gadis berusia 18 tahun ini akhirnya lebih memilih mengundurkan diri karena mahalnya UKT.

Gadis ini sebelumnya dinyatakan lulus jurusan agroteknologi fakultas pertanian Universitas Riau dan harus membayay UKT golongan 4 sebesar Rp3,5jt/semester. Padahal siti berasal dari keluarga tidak mampu (Sindonews.com, 23/05/2024).

Bukan hanya Siti Aisyah, sekitar 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau (Unri) yang lolos SNBP memutuskan mundur dari Universitas Riau karena merasa tidak sanggup membayar UKT (Kompas.com 20/05/2024).

Peristiwa yang sama juga terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU). Naffa Zahra mahasiswi yang juga lulus jalur mandiri mengundurukan diri karena tidak mampu membayar UKT yang besarnya Rp8,5 jt.

Mahalnya UKT jelas bertentangan dengan konsep pendidikan hak setiap rakyat. Apakah ini yang dinamakan wujud keadilan bagi mahasiswa kaya mensubsidi mahasiswa miskin? Inilah bukti nyata komersialisasi pendidikan. Pendidikan berkualitas dicirikan bukan dari UKT mahal, tapi dari kualitas didikan yang mampu bersaing secara nalar.

Sungguh mahalnya UKT adalah wujud nyata kapitalisasi pendidikan. Negara semakin hari semakin jelas abai dan makin lepas tangan dalam menyelenggarakan pendidikan terhadap rakyatnya. Inilah potret kapitalistik.

Islam menjelaskan “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya (HR Muslim dan Ahmad).

Islam memiliki pandangan yang jauh berbeda dengan pandangan kapitalis. Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat yang disediakan oleh Negara bahkan diberikan secara gratis kepada rakyat apalagi pendidikan tinggi.

Untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat dalam sistem Islam, negara mengandalkan sumber pemasukkanya yang ada di baitul mal. Sumber pemasukkan itu antara lain dari kharaj, jizyah, ganimah dan sumber-sumber yang berasal dari kepemilikkan umum seperti sumber tambang dan sebagainya.

Perguruan tinggi dalam islam juga dituntut untuk melahirkan sekumpulan politikus, para pakar ilmu pengetahuan, dan orang-orang yang mampu memberikan pengajaran dan ide-ide yang ditujukan khusus untuk mengurus kemaslahatan hidup umat.

Inilah Islam bukan hanya melahirkan pemuda yang berintelektual tapi bertakwa dan yang pasti juga mengurus kemashalatan hidup umat. Sudah selayaknya konsep-konsep islam kembali mengisi ruang diskusi akademik. Wallahu a’lam bisshawab.[]

Comment