Tutup Pintu Masuk Terjadinya Kekerasan Seksual dengan Aturan Islam

Opini666 Views

 

 

Oleh : Masirah, S.Pi, M.P, Dosen

__________

RADARINDONESIANEWS.M, JAKARTA –Dilansir tempo.co edisi 12 November 2021 bahwa Mas Menteri Nadiem mengutip data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 menunjukkan data dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi.

Survei Kemendikbud pada 2020 juga menyebutkan bahwa 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Kondisi di atas tentu saja membuat miris. Kita semua membutuhkan solusi untuk mengatasinya. Munculnya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Permen PPKS disinyalir bisa mengatasinya, benarkah? Mari kita telusuri sebetulnya pintu masuk terjadinya kekerasan seksual tersebut dari mana?

Dalam kehidupan umum seperti di jalan, rumah sakit, sekolah, kampus, pasar dan lain-lain hampir-hampir campur baur (ikhtilat) pria dan wanita bisa kita saksikan begitu bebasnya.

Demikian juga dalam kehidupan khusus seperti di rumah-rumah dalam acara perjamuan, acara komunitas dan lainnya. Masalahnya campur baur tersebut kemudian berlanjut untuk pembahasan di luar kepentingan yang seharusnya.

Belum lagi jika dilanjutkan dengan aktifitas hanya ‘berdua’ tanpa adanya orang ketiga yang diijinkan bergabung. Dalam ajaran Islam aktifitas itu yang dikenal dengan istilah khalwat. Ini yang menjadi bahaya.

Pencampuran pria dan wanita sangat bisa menjadi sebab munculnya gerakan hati atau menyebabkan keduanya tidak mampu lagi memelihara pandangan yang telah diwajibkan oleh syariah. Pria dan wanita secara fitrahnya memungkinkan ada kecenderungan untuk saling tertarik.

Ketertarikan itu bisa muncul dari keduanya, bisa juga salah satu pihak sehingga kemudian bertindak melakukan kekerasan/kejahatan seksual.

Misal yang dilakukan oknum dosen kepada mahasiswa bimbingannya. Atau bisa juga pelakunya dari teman sesama mahasiswa. Kondisi ‘dipaksa’ alias tanpa persetujuan inilah yang menjadikan perbuatan tersebut dianggap kekerasan seksual yang kemudian perlu dibuatkan Permen PPKS.

Sayangnya Permen PPKS ini tidak menyoroti bagaimana jika aktivitas seksual dilakukan oleh dua pihak yang menyetujui melakukannya? Ini yang dikhawatirkan. Permen PPKS menjadi legalisasi seks bebas.

Seolah-olah persoalan ini bukan masalah, padahal akibat perbuatan seks bebas ini juga bisa menjadi penghalang/pengganggu tercapainya tujuan pendidikan.

Banyak kasus karena pergaulan bebas kemudian berbuntut dengan tindakan kriminal seperti menggugurkan bayi, membuang bayi, bahkan sampai tindakan bunuh diri dari pihak wanita yang tuntutan kepada pihak pria untuk tanggung jawab tidak digubris. Tidak siap nafkah, tidak siap menikah dan alasan lainnya.

Banyak juga yang akhirnya memilih mundur dan tidak melanjutkan kuliah. Tindakan asusila dan maksiat yang berujung terputusnya pendidikan.

Islam menutup pintu-pintu peluang terjadinya kekerasan seksual melalui pengaturan sistem pergaulan yaitu melalui hukum larangan ikhtilat, larangan khalwat, larangan tabarruj, diwajibkan menutup aurat dan menjaga pandangan serta penerapan sanksi yang tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat.

Dalam kehidupan Islam, yaitu kehidupan kaum Muslim dalam segala kondisi mereka secara umum, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syariah baik Al-Qur’an maupun As-Sunah, bahwa kehidupan kaum pria terpisah dari kaum wanita. Pemisahan pria dan wanita ini dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Islam pada masa Rasulullah dan pada seluruh kurun sejarah Islam.

Hukum umum wajibnya pemisahan kehidupan masyarakat Islam didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya pengaturan shaf shalat. Syariah telah menjadikan shaf laki-laki terpisah dari shaf perempuan. Shaf wanita berada di belakang shaf pria. Rasulullah SAW bersabda : “sebaik-baik shaf laki-laki adalah awalnya, sedangkan seburuk-buruknya adalah akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah akhirnya, sedangkan seburuk-buruknya adalah awalnya (HR Muslim).

Dalam Islam,  kehidupan diatur sedemikian rupa sehingga ada batas antara kaum pria dan kaum wanita. Pertemuan kaum pria dan kaum wanita dalam kehidupan umum maupun kehidupan khusus itu dalam rangka taawun, saling tolong menolong untuk terwujudnya kemaslahatan bersama seperti aktifitas jual beli, taklim atau belajar mengajar dan lain sebagainya.

Bisa juga karena ada hajat yang ditetapkan oleh syariah Islam yang membolehkan pertemuan antara laki-laki dan wanita seperti haji dan lain sebagainya. Ketika pertemuan itu terjadi, tetap aturan-aturan syariah wajib mengikutinya seperti menjaga pandangan, tidak khalwat, tidak ikhtilat, tidak tabarruj dan menutup aurat.

Penerapan aturan pergaulan menjadi solusi Islam untuk menyelamatkan generasi dari maraknya pergaulan bebas. Penerapan aturan pergaulan Islam tidak bisa dilepaskan dari penerapan aturan Islam  secara menyeluruh dalam kehidupan.

Selama sekularisme menjadi dasar bagi kehidupan, maka masalah kekerasan seksual dan segala masalah yang timbul akibat relasi pria dan wanita tidak akan pernah terselesaikan secara tuntas.

Oleh karena itu, sekulerisme harus dibuang jauh-jauh dan digantikan dengan penerapan Islam secara menyeluh. Wallahua’lam bishawab.[]

Comment