Tuntutan Penyandang Disabilitas Terhadap KPU Pusat

Berita513 Views
Kaum disabilitas.[foto/Agung/radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dinilai Diskriminatif terhadap Disabilitas, KPU akan Revisi SK Petunjuk Teknis Standar Kemampuan Calon Pemimpin Daerah
Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas Dra. Hj. Ariani Soekanwo menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas lebih tinggi lebih dari terminologi disabilitas-medis atau kedokteran yang menjadi acuan SK KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kemampuan Jasmani, Rohani serta Standar Pemeriksaan Kesehatan jasmani, Rohani dan Bebas Penyalahgunaan Narkotika dalam Pilkada.
Hal tersebut disampaikan Ariani ketika menyerahkan pernyataan sikap PPUA Disabilitas ke anggota komisioner KPU Pusat Ilham Saputra Senin siang (22/1/2018) di kantor KPU Pusat, Jakarta.
“Kami meminta KPU Pusat melakukan revisi atas SK No. 231 KPU, selambatnya 12 Februari 2018 atau sama dengan sebelum masuk dalam tahapan penetapan pasangan calon dalam Pilkada 2018,” tuntut penyandang tuna netra ini kepada KPU.
Pernyataan sikap ini disampaikan agar asas penyelenggaraan Pilkada 2018 aksesibel dan menjamin adanya kesamaan hak dan kesempatan bagi semua warga negara termasuk penyandang disabilitas untuk melaksanakan hak politiknya, yakni hak untuk memilih, hak untuk dipilih serta hak untuk menjadi penyelenggara Pemilu.
Heppy Sebayang, SH (47), rekan disabilitas Ariani, membacakan pernyataan sikap PPUA Disabilitas dan sangat berharap agar KPU menindaklanjutinya agar tidak terjadi permasalahan lebih lanjut terkait pelaksanaan Pilkada.
“SK KPU No. 231 harus segera direvisi agar proses pencalonan pilkada memberikan kesempatan kepada disabilitas dan tidak melanggar ketentuan hukum yang lebih atas,” ujar Ketua 1 PPUA Disabilitas ini.
Ia menandaskan bahwa keputusan KPU terkait pengambilan keputusan seorang calon kepala daerah dinilai memenuhi syarat atau tidak, seharusnya diberikan tidak hanya memasukkan tim kesehatan, tetapi juga tim yang lebih menilai kemampuan calon kepala daerah dalam melakukan observasi, menganalisis, membuat keputusan dan mengkomunikasikannya, bukan sekadar standar medik yang sifatnya fisik sebagaimana ditentukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Sementara komisioner KPU Ilham Saputra merespon pernyataan sikap yang disampaikan PPUA Disabilitas bahwa ketentuan yang ada di SK Petunjuk Teknis (Juknis) KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 semata karena KPU khilaf.
Sehingga, Ilham akan memastikan KPU untuk membuka akses sebesar-besarnya kepada penyandang disabilitas untuk bekerjasama dengan KPU agar tidak ada lagi ketentuan dalam Pilkada yang mendiskriminasi para penyandang disabilitas. Menurutnya, tidak ada sama sekali kesengajaan dalam membuat SK Juknis ini. Kelalaian terjadi karena banyaknya pekerjaan KPU.
“Prinsipnya kami siap merevisi SK 231 ini. Kami segera merevisi, agar penyandang disabilitas kembali mendapat akses publik,” kata Ilham.
Ia juga akan menyesuaikan terminologi disabilitas versi kedokteran atau medic dengan terminologi yang menjadi ketentuan yang ada di dalam UU Disabilitas.
Berikut ini Pernyataan Sikap
*Pernyataan Sikap dan Usulan Revisi Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 Tentang Petunjuk Teknis Standar Kemampuan Jasmani, Rohani serta Standar Pemeriksaan Kesehatan Jasmani, Rohani dan Bebas Penyalahgunaan Narkotika Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota*
Terkait dengan penerbitan SK KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 perihal sebagaimana tersebut diatas, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas (PPUA Penca) sebagai lembaga advokasi hak-hak sipil dan politik penyandang disabilitas di Indonesia menyatakan keberatan dan mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan revisi dengan segera terhadap Keputusan tersebut. Sikap ini merupakan tindak lanjut dari telah banyaknya laporan dan pengaduan, baik secara kelembagaan maupun perorangan, dari komunitas penyandang disabilitas di berbagai wilayah Indonesia.
Laporan dan pengaduan tersebut pada intinya merujuk kepada sejumlah argumentasi, baik prinsip hukum maupun ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, perkenankan kami menyampaikan hal – hal sebagai berikut:
1. Bahwa dalam menentukan standard mampu jasmani dan rohani, KPU seharusnya berpegang kepada prinsip yang sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang menyatakan bahwa “Syarat calon mampu secara jasamani dan rohani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (e) tidak menghalangi penyandang disabilitas.”
2. Bahwa ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 sudah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lainnya, yang menekankan pelaksanaan asas penyelenggaraan pemilu yang aksesibel dan menjamin adanya kesamaan hak dan kesempatan bagi semua warganegara termasuk penyandang disabilitas untuk melaksanaan hak politiknya yakni hak untuk memilih, hak untuk dipilih serta hak untuk menjadi penyelenggara pemilu. Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah sebagai berikut, Pasal 28 huruf h dan i UUD NRI 1945; Pasal 5, Pasal 21 huruf h, Pasal 117 huruf h, Pasal 182 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; bahkan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 2 Tahun 2017.
3. Bahwa dalam Keputusan KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 terdapat sejumlah materi pengaturan yang dapat berakibat menggugurkan dan menghilangkan hak warga penyandang disabilitas untuk mengikuti pencalonan sebagai Kepala Daerah dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 2018 mendatang, bahkan berpotensi menjadi rujukan dalam pelaksanaan Pemilu dan pemilihan kepala daerah selanjutnya.
4. Bahwa bagian materi pengaturan yang berpotensi mengugurkan dan menghilangkan hak penyandang disabilitas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pada Bagian Bab II tentang Standar Mampu Secara Jasmani dan Rohani:
i. Dasar penilaian yang hanya menggunakan aspek kesehatan sebagai standar menentukan apakah seorang calon kepala daerah mampu atau tidak mampu jasmani dan rohani adalah tidak benar. Seharusnya, dalam menentukan standar mampu jasmani dan rohani untuk menjalankan tugas sebagai kepala daerah memperhatikan juga kemampuan dalam melakukan observasi, menganalisis, membuat keputusan, dan mengkomunikasikannya serta integritas, akuntabilitas dan kepemimpinan. Bahkan aspek kesehatan seharusnya bukan menjadi faktor yang menentukan penilaian akhir, karena pemeriksaan kesehatan hanya dilakukan untuk mengetahui kondisi calon kepala daerah, yang kemudian menjadi catatan untuk penyediaan fasilitas atau akomodasi yang layak untuk menunjang pekerjaannya setelah terpilih.
ii. Penggunaan istilah “disabilitas” yang dipadankan dengan istilah “medik” adalah tidak benar, dan cenderung menimbulkan kesalahan persepsi di masyarakat. Disabilitas-medik dimaknai sebagai keadaan kesehatan yang dapat menghambat atau meniadakan kemampuan dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah. Sedangkan seharusnya, disabilitas dimaknai sebagai keragaman manusia yang perlu diakomodir dalam fasilitas dan pelayanan publik secara umum. Oleh karena itu, kondisi disabilitas tidak menghalangi seorang penyandang disabilitas untuk setara dengan masyarakat non-disabilitas. Dalam hal ini Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, dan sudah mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
b. Pada Bagian Bab V tentang Pengambilan Keputusan dan Perumusan Kesimpulan:
i. Ada dua kategori keputusan yang dirumuskan dalam Bab V Keputusan KPU Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017, yaitu memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat. Dengan hanya mendasarkan dua kategori keputusan ini pada hasil pemeriksaan kesehatan adalah tidak benar. Seharusnya, hasil pemeriksaan kesehatan hanya berupa penjabaran kondisi medik seorang calon kepala daerah, tidak seharusnya disimpulkan. Selain penjabaran kondisi medik, hasil pemeriksaan kesehatan juga perlu disertai dengan rekomendasi solusi penanganan untuk menunjang seseorang dalam menjalankan tugas sebagai kepala daerah apabila terpilih.
ii. Pengambilan keputusan memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat, seharusnya diberikan kepada tim yang tidak hanya memasukan tim kesehatan, tetapi juga tim yang menilai kemampuan calon kepala daerah dalam melakukan observasi, menganalisis, membuat keputusan, dan mengkomunikasikannya.
5. Berdasarkan uraian kami tersebut diatas, bersama ini kami menyampaikan usulan sebagai berikut:
a. KPU segera melakukan revisi terhadap Keputusan KPU Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017, khususnya Bab II dan Bab V, selambatnya 12 Februari 2018 atau sama dengan sebelum masuk dalam tahapan penetapan pasangan calon dalam Pemilihan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 2018.
i. Revisi Keputusan KPU Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 pada Bab II dilakukan dengan menambahkan aspek selain kesehatan sebagai standar mampu jasmani dan rohani. Aspek lain yang dimaksud adalah melihat kepada kemampuan dalam melakukan observasi, menganalisis, membuat keputusan, dan mengkomunikasikannya.
ii. Revisi Keputusan KPU Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 pada Bab V dilakukan dengan menghapus yang menjelaskan tentang kewenangan Tim Pemeriksan Kesehatan dalam Rapat Pleno Bab untuk menyimpulkan hasil pemeriksaan.
b. KPU melibatkan kelompok penyandang disabilitas dalam pelaksanaan revisi terhadap standar kemampuan jasmani dan rohani dalam Keputusan KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017.
c. KPU menerbitkan Surat Edaran untuk tidak memberlakukan Bab II dan V Keputusan KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 sebelum dilakukan revisi, agar tidak terjadi pengguguran atau penghilangan hak penyandang disabilitas untuk menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
d. KPU membuat Surat Edaran sebagai penegasan bahwa syarat mampu jasmani dan rohani tidak menghalangi bagi calon kepala daerah penyandang disabilitas.
Demikian pernyataan sikap dan usulan kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.
DEWAN PENGURUS PUSAT
PUSAT PEMILIHAN UMUM AKSES DISABILITAS
Saat PPUA Disabilitas audensi ke KPU RI untuk meng advokasi keputusan KPU RI NO. 231. tentang juknis pemeriksaan kesehatan calon kepala darah Alhamdulillah direspont positif. [Dr Agung Pahlevi, SE, MM]

Comment