Penulis: Diana Nofalia, S.P | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Di saat rakyat makin tak berdaya dengan biaya kebutuhan hidup yang meningkat, anggaran tunjangan rumah dinas perumahan wakil rakyat malah akan menghabiskan dana yang tidaklah sedikit. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan, pantaskah kesenjangan kesejahteraan ini dipertontonkan ke rakyat?
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR Periode 2024-2029 merupakan bentuk pemborosan uang negara.
“Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik,” kata peneliti ICW Seira Tamara, Jumat (11/10/2024).
Berdasarkan penelusuran dari sejumlah media, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar menyampaikan bahwa per bulan anggota DPR akan menerima tambahan tunjangan untuk perumahan sekitar Rp50-70 juta.
Kemudian ICW melakukan kalkulasi dengan perkiraan tunjangan Rp 50 juta sampai dengan Rp 70 juta untuk 580 anggota DPR selama 60 bulan atau 5 tahun.
Hasilnya, total anggaran yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp1,74 triliun sampai Rp2,43 triliun Apabila ketentuan ini diteruskan, ada pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
“Selain itu, ICW menduga bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik,” ujar Seira seperti dikutip kompas.com.
Tunjangan rumah dinas anggota DPR menambah panjang daftar fasilitas yang dterima anggota dewan. Tunjangan ini bertujuan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Namun melihat realita sebelumnya, dan realita anggota Dewan periode ini, mungkinkah harapan rakyat dapat terwujud? Optimalkah kerja mereka?
Disisi lain dengan adanya rumah jabatan anggota, tunjangan ini bisa menjadi satu pemborosan anggaran negara. Belum lagi persoalan lain akan muncul, seperti akan sulitnya pengawasan penggunaan dana tersebut. Terlebih dana ditransfer ke rekening masing-masing anggota dewan. Wajar jika ada anggapan tunjangan ini hanya memperkaya mereka.
Adanya tunjangan tersebut ironis jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini, yang masih kesulitan memiliki rumah, bahkan ada ‘beban’ iuran Tapera bagi pekerja. Makin ironis lagi ketika anggota Dewan lebih memikirkan memperkaya diri daripada memikirkan keadaan rakyat, ini terlihat ketika keputusan anggota dewan justru membuat rakyat makin susah hidupnya.
Wakil Rakyat dalam Sistem Pemerintahan Islam
Wakil rakyat memiliki peran strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Islam terdapat struktur bernama Majelis Umat, yaitu majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim dalam memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi pemimpin negara untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan.
Rasulullah saw. tidak memilih orang yang menjadi rujukan beliau dalam masalah pendapat berdasarkan asas kemampuan, kapabilitas, dan kepribadian mereka, melainkan berdasarkan dua asas.
Pertama, mereka adalah para pemimpin kelompok mereka, tanpa memandang kapasitas dan kemampuan mereka. Kedua, mereka adalah representasi dari kaum muhajirin dan anshar.
Anggota Majelis Umat dipilih melalui pemilu dan tidak diangkat melalui penunjukkan. Mereka adalah wakil-wakil masyarakat dalam mengemukakan pendapat serta menjadi representasi masyarakat, baik individu maupun kelompok, dalam mengemukakan pendapat. Kalangan nonmuslim yang menjadi warga negara boleh menjadi anggota Majelis Umat.
Hal itu dalam rangka menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka, keburukan penerapan Islam terhadap mereka, juga dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan publik bagi mereka, dan yang semisalnya.
Posisi Majelis Umat ini jelas berbeda secara diametral dengan para wakil rakyat di dalam sistem demokrasi. Ini terlihat jelas dari peran mereka. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat memiliki peran untuk melegislasi hukum perundang-undangan dan menetapkan anggaran. Fungsi ini tidak terdapat dalam Majelis Umat.
Mereka mewakili umat murni dalam rangka melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-hukkam) serta syura (musyawarah).
Jika ada legislasi hukum, itu adalah wewenang kepala negara, melalui adanya ijtihad dan dalam konteks tabani (adopsi) hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan penetapan anggaran negara juga merupakan wewenang kepala negara yang berada dalam pengelolaan baitul mal.
Satu hal yang harus kita ingat, anggota Majelis Umat bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Jika ada hal-hal yang perlu dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu berupa santunan dalam jumlah yang secukupnya saja, tidak seperti tunjangan para anggota dewan yang jumlahnya fantastis.
Demikian halnya jika ada dari mereka yang mendapatkan fasilitas dari negara, itu semata bagian dari pemberian negara yang berhak diperoleh tiap individu warga.
Adapun motivasi para anggota Majelis Umat pada masa peradaban Islam sangatlah berbeda dengan para anggota dewan saat ini. Anggota Majelis Umat berperan mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat.
Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena hal itu adalah amanah yang akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah Taala. Mereka tidak memiliki motivasi aji mumpung untuk menikmati fasilitas negara, apalagi menuntut hak istimewa maupun memperkaya diri.
Sebaliknya, upaya untuk riayatusy syuunil ummah (mengurusi urusan umat) begitu kuat di dalam pemerintahan Islam. Demikian halnya motivasi untuk muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa).
Ini semua karena landasannya adalah amar makruf nahi mungkar sehingga semua pihak berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan dalam konteks pelaksanaan dan penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Wallahualam bissawab.[]
Comment