Trump Ancam Balas Tarif Balasan Uni Eropa

Ekonomi57 Views

 

Penulis: Jennifer A. Dlouhy dan Joe Deaux – Bloomberg News

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump menegaskan bahwa pemerintahannya akan merespons langkah balasan Uni Eropa terhadap tarif baru AS sebesar 25% untuk baja dan aluminium. Pernyataan ini meningkatkan risiko eskalasi lebih lanjut dalam perang dagang global yang sedang berlangsung.

“Tentu saja saya akan merespons,” kata Trump pada Rabu (12/03/2025) saat ditanya wartawan di Gedung Putih apakah ia akan melakukan tindakan balasan.

“Masalahnya, negara kita tidak merespons sebelumnya. Lihat saja, Uni Eropa didirikan untuk mengambil keuntungan dari Amerika Serikat.”

Trump tidak merinci langkah apa yang akan diambilnya. Kebijakan tarif yang mulai berlaku pada hari yang sama memicu respons cepat dari Uni Eropa dan Kanada, serta mendorong negara lain untuk mempercepat negosiasi dengan pemerintahan Trump guna menghindari pajak impor tersebut.
Komisi Eropa memberikan tanggapan paling tegas terhadap kebijakan dagang terbaru Trump.

Uni Eropa meluncurkan “tindakan balasan yang cepat dan proporsional” terhadap impor AS dengan memberlakukan kembali langkah-langkah penyeimbang dari 2018 dan 2020 serta menambahkan daftar baru produk industri dan pertanian yang terkena tarif. Uni Eropa menyatakan bahwa langkah ini akan berdampak pada ekspor AS senilai hingga €26 miliar, setara dengan nilai ekonomi tarif yang diterapkan AS.

“Kami sangat menyesalkan tindakan ini,” ujar Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam pernyataannya. “Tarif adalah pajak. Ini buruk bagi bisnis dan lebih buruk lagi bagi konsumen.”

Sementara itu, Kanada juga mengumumkan tarif 25% pada produk buatan AS senilai sekitar C$30 miliar. Kebijakan ini mencakup baja, aluminium, serta barang konsumsi seperti komputer dan perlengkapan olahraga.

Menteri Keuangan Kanada, Dominic LeBlanc, menyatakan bahwa tarif ini akan mulai berlaku pada Kamis (13/03/2025) pukul 12:01 pagi waktu New York dan akan dikenakan “dolar per dolar” terhadap kebijakan tarif baru AS.

Meskipun kebijakan Trump menuai kecaman global, sebagian besar negara memilih jalur negosiasi ketimbang perang tarif balasan yang langsung diterapkan. Hal ini menandakan adanya perundingan yang kompleks dalam beberapa bulan ke depan terkait keinginan AS untuk menetapkan tarif “resiprokal” dengan setiap negara secara individual.

Ketika batas waktu tengah malam berlalu tanpa adanya pengecualian dari AS, negara-negara produsen utama di Asia seperti Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Australia menahan diri untuk tidak melakukan tindakan balasan langsung.

Inggris menyatakan akan fokus pada negosiasi cepat untuk kesepakatan ekonomi yang lebih luas. Brasil juga menyatakan akan berupaya mencari alternatif dengan pemerintahan Trump sebelum mempertimbangkan tindakan balasan, sementara Meksiko menunggu pengumuman tarif tambahan dari AS setelah 2 April sebelum mengambil langkah selanjutnya.

China, yang tidak secara langsung menjadi target dalam kebijakan dagang terbaru ini, belum memberikan respons resmi. Namun, pihak berwenang di Beijing memanggil eksekutif Walmart Inc menyusul laporan bahwa peritel asal AS tersebut meminta pemasok di China untuk menanggung kenaikan biaya akibat tarif baru.

Saham AS mengalami pemulihan setelah dua hari mengalami tekanan, didorong oleh data inflasi Februari yang lebih rendah dari perkiraan. Indeks S&P 500 yang sempat mendekati koreksi teknikal berbalik menguat, meskipun sentimen pasar tetap dipengaruhi kebijakan Trump. Indeks ini sempat turun kembali saat Kanada mengumumkan langkah balasannya.

Secara politik, langkah Trump untuk memperluas perang dagangnya terjadi pada saat yang kritis, hanya tujuh minggu setelah masa jabatan keduanya dimulai. Upayanya yang agresif untuk mengubah kembali AS menjadi pusat manufaktur global telah mengguncang pasar keuangan, membuat konsumen semakin cemas akan inflasi pasca-pandemi, dan meningkatkan kekhawatiran resesi di tengah ketidakpastian bagi dunia usaha AS.

Trump tetap melanjutkan kebijakan tarif meskipun mendapat tekanan dari berbagai pihak, termasuk perusahaan aluminium terbesar di AS, Alcoa Corp. Perusahaan ini memperingatkan bahwa kebijakan tersebut dapat membahayakan puluhan ribu pekerjaan serta meningkatkan harga barang bagi masyarakat yang sudah kesulitan mengelola anggaran rumah tangga mereka.

Di sisi lain, kebijakan ini mendapat dukungan dari beberapa eksekutif industri dalam negeri, yang percaya bahwa langkah proteksionis ini dapat meningkatkan keuntungan produsen AS serta membawa kembali lapangan kerja di sektor baja dan aluminium dari luar negeri.

Tarif baja dan aluminium ini merupakan bagian dari rencana Trump untuk memperketat proteksi ekonomi AS. Ia menegaskan bahwa langkah tersebut diperlukan untuk menyeimbangkan kembali sistem perdagangan global yang menurutnya “mencurangi” negaranya.

Namun, ketidaktegasannya dalam menetapkan beberapa tarif lain menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensinya dalam kebijakan ini.
Pekan lalu, Trump mengizinkan tarif 25% terhadap Kanada dan Meksiko yang dikaitkan dengan perdagangan narkoba dan migrasi.

Namun, hanya dalam hitungan hari, ia memberikan pengecualian selama satu bulan bagi barang yang dicakup oleh perjanjian perdagangan Amerika Utara.  Pada saat yang sama, ia menggandakan tarif serupa terhadap China menjadi 20%.

Kebijakan tarif terbaru ini juga memperluas cakupan aturan dari tahun 2018, melarang pengecualian bagi produk berbahan baja dan aluminium.

Penelitian dari Global Trade Alert memperkirakan bahwa sekitar US$150 miliar barang konsumsi impor akan terdampak oleh tarif baru ini, di luar bahan mentah baja dan aluminium.

Berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang memberikan pengecualian kepada Kanada, Meksiko, Brasil, dan Uni Eropa, pemerintahan Trump kali ini memberi sinyal bahwa pengecualian serupa tidak akan diberikan lagi.

Trump juga membuka peluang untuk mengenakan tarif pada tembaga—logam penting bagi ekonomi global—dengan menginstruksikan Departemen Perdagangan untuk menyelidiki pembatasan perdagangan terkait.

Kecemasan Tarif

Kekhawatiran bahwa tarif ini serta kebijakan pemangkasan anggaran pemerintah Trump akan menghambat pertumbuhan ekonomi AS telah memicu volatilitas pasar selama tiga minggu terakhir.

“Para pedagang dan investor benar-benar merasakan dampak dari kenaikan tarif ini,” kata Kok Hoong Wong, Kepala Perdagangan Saham Institusional di Maybank Securities, Singapura. “Kami semakin memperhitungkan kemungkinan meningkatnya konflik dagang.”

Para penasihat Trump sedang menyusun skema tarif “resiprokal” untuk mitra dagang AS yang bisa berlaku secepatnya pada 2 April. Selain itu, Trump juga berencana mengenakan tarif baru terhadap otomotif, semikonduktor, farmasi, kayu, dan produk pertanian.

Banyak produsen AS mendukung kebijakan tarif Trump, dengan alasan bahwa pesaing asing—terutama China yang memproduksi lebih dari kebutuhan domestiknya—telah berupaya mendominasi industri dengan cara yang tidak adil, sehingga menggerus pangsa pasar dan lapangan kerja di AS.

“Memperkuat tarif baja dan aluminium akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi, berinvestasi lebih banyak, dan membuka lebih banyak lapangan kerja,” kata Scott Paul, Presiden Alliance for American Manufacturing, organisasi yang mewakili produsen dan pekerja baja AS.

Namun, kebijakan ini juga membawa tantangan bagi industri aluminium, yang memiliki jejak bisnis global lebih besar dibanding baja. Lebih dari setengah aluminium yang dikonsumsi di AS diproduksi di Kanada oleh perusahaan seperti Rio Tinto Group dan Alcoa.

Alcoa dan para pemangku kepentingan lainnya telah melobi pemerintahan Trump untuk menghindari tarif baru bagi impor aluminium dari Kanada, dengan alasan bahwa kebijakan tersebut dapat menghilangkan sekitar 20.000 pekerjaan langsung di industri aluminium AS dan 80.000 pekerjaan tidak langsung lainnya.

Meski begitu, para pendukung kebijakan Trump berpendapat bahwa tarif ini pada akhirnya akan mendorong lebih banyak manufaktur kembali ke AS.

Sementara beberapa negara masih menahan diri dari tindakan balasan, mereka tidak menyembunyikan ketidaksenangan mereka.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengecam kebijakan Trump sebagai “sepenuhnya tidak berdasar” dan “tindakan yang merugikan diri sendiri.”

“Ini bertentangan dengan semangat persahabatan abadi antara kedua negara kita,” kata Albanese. “Dan bertolak belakang dengan manfaat kemitraan ekonomi kita selama lebih dari 70 tahun.”[]

Comment