Penulis: Mariani Siregar, M.Pd.I | Dosen
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Nitizen sosial media khususnya di paltform X, ramai mengeluarkan tagar #KaburAjaDulu. Pasalnya, tagar terseeut dinaikkan karena penyediaan lapangan kerja yang semakin sulit didapatkan di negeri ini. Apalagi persediaan untuk kalangan gen-Z, yang memang sangat membutuhkan pekerjaan pasca menyelesaikan studinya.
Alih-alih mendapatkan repson positif, pemerintah malah melakukan pemangkasaan anggaran di beberapa kementerian yang konon demi menghemat pengeluaran APBN. Ironisnya, selang beberapa hari anggaran dipotong, stafsus kepresidenan malah kembali diangkat. Masyarakat banyak bertanya-tanya, untuk apa anggaran dipotong jika ternyata jabatan-jabatan yang tidak penting masih bisa ditambah.
Salah satu akun X yang bernama @ismailfahmi menuliskan dalam cuitannya, “tagar #KaburAjaDulu ini sebagai reaksi frustasi atas situasi di Indonesia yang dirasasakan sebagian nitizen. Mereka mencari lowongan kerja, tip persiapan berangkat, resiko yang harus dipertimbangkan, dan perbandingan tinggal di Indonesia.”
Begitu juga dengan tagar #IndonesiaGelap2025 telah ramai di X. bahkan, mahasiswa di beberapa provinsi termasuk Yogyakarta, Bandung, Palembang telah melakukan aksi demo. Begitu juga di depan kantor DPR RI, para mahasiswa menggelar aksi demo dengan tutntutan yang sama, yaitu pendidikan gratis bukan makan siang gratis.
Seruan tersebut dimuat oleh salah satu akun X @ilhampid, yang mengatakan, “makan bergizi gratis ganti pendidikan gratis. Efisiensi kok lantik 916 pejabat periode 2025-2030 di istana.”
Selain itu, demo juga akan terus berlanjut hingga para mahasiswa mendapatkan jawaban dari pemerintah. Akun X @jackjackparrr empat hari lalu menuliskan, “aksi masih akan terus berjalan hingga Kamis, sampai menang sampai didengarkan, buat yang tidak bisa datang, cukup doakan dan sebarkan setiap konten aksi kita seluruh tanah air.
Mamun yang menjadi pertanyaan adalah, mungkinkah dengan kabur menjadi solusi bagi generasi gen-Z? Apakah demo berjilid-jilid oleh mahasiwa akan membawa kesadaran serta perubahan bagi bangsa dan negeri ini?
Mengkritisi kebijakan yang tidak pro rakyat
Fenomena kabur yang menjadi trending di media sosial hakikatnya adalah respon kekecewaan dan ketidak-berdayaan generasi muda memberikan pengaruh untuk menentukan arah kebijakan dan masa depan negeri.
Begitu juga dengan slogan Indonesia Gelap 2025 yang didengungkan oleh para mahasiswa – pasalnya adalah perlawanan yang mulai menuai kesadaran bahwa Indonesia sedang dalam masa suram, gelap dan diambang kehancuran.
Ketika bicara terkait generasi muda dan pengangguran di Indonesia, ternyata jumlahnya membuat hati teriris. Menurut data goodstats.id (Desember 2024) bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 7.465.599 pengangguran di Indonesia per Agustus 2024. 11,28% di antaranya, atau 842.378 orang, merupakan ‘sarjana pengangguran’, yaitu lulusan D4, S1, S2, dan S3. dan persentase ‘sarjana pengangguran’ tahun 2024 meningkat dua kali lipat dari 1 dekade yang lalu. Pada Februari 2013, BPS mencatat banyaknya ‘sarjana pengangguran’ hanya berjumlah 425.042 dari 7.240.897 orang, atau sekitar 5,87%.
Bisa dibayangankan, jumlah PT di Indonesia setiap tahunnya melahirkan ribuan sarjana, tetapi pemerintah tidak menyediakan lapangan kerja yang signifikan. Justru peluang kerja lebih condong menarik orang asing dibandingkan rakyat sendiri. Walhasil, muncullah ide kabur demi meraih impian dan melanjutkan kehidupan yang serba mahal hari ini.
Anehnya, ada pejabat memberi komentar-komnetar sinis dan menyudutkan. Ada yang mengaitkan dengan nasioanlisme, ada yang menganjurkan tetapi harus bisa jadi kaya setelah kembali ke Indonesia.
Jika bicara soal nasioanlisme, seharusnya yang patut dipertanyakan adalah kalangan koruptor yang lari ke luar negeri dengan membawa uang rakyat. Para pembuat kebijakan investasi asing sehingga SDA dirampok dan dijarah. Padahal, kekayaan negeri adalah titipan generasi mendatang, bukan milik pejabat.
Benar memang, lari bukanlah solusi. Sebab justru akan membuat para perampok dan penjarah merajalela dan menggila untuk menguasai negeri ini. Karena seharusnya generasi muda yang menjaga dan menjadi calon pemimpin masa depan lebih memilih untuk kabur daripada berjuang sungguh-sungguh untuk membawa perubahan hakiki.
Problematika bangsa yang terus memburuk bahkan tidak terlihat adanya kesungguhan niat para penjabat terpilih untuk memberi solusi dan berpihak pada kepentingan rakyat. Tetap saja, mereka mengerluarkan kebijakan dan program-program kerja yang mendahulukan keinginan para kapitalis maupun oligarki. Tidak berlebihan jika pada akhirnya ada yang menilai bahwa Indonesia bukan lagi demokrasi melainkan koorpotokrasi.
Lebih lanjut, muncullah tagar Indonesia Gelap dan berujuang pada demonstrasi di berbagai derah oleh para pemuda dan kalangan pelajar, seperti kampus-kampus. Mereka menyuarakan agar pemerintah segera berbenah diri dan membuat kebijakan yang masuk akal dan berpihak pada rakyat.
Terlebih dengan proyek baru Danantara yang juga menjadi isu viral- dinilai sebagai ide yang dapat membahayakan ekonomi nasional. Belum lagi kasus-kasus – kasus seperti PIK2, BBM oplosan, Bansos, Dana Haji, serta sengkarut program MBG.
Rezim hari ini dinilai berpotensi lebih buruk dan membawa Indonesia justru kian gelap. Meskipun persepsi demikian ditolak oleh Prabowo Subianto yang mempertanyakan tagar Indonesia Gelap.
Munculnya trending kedua tagar tersebut di sosial media berujung pada aksi demo sebenarnya adalah bentuk kritik dan nasehat bagi para penguasa agar mereka tidak semakin jauh dari kebijakan yang bisa melahirkan kerugian bahkan malapetaka bagi negeri.
Rakyat punya kewajiban untuk menghentikan kezaliman sebagai bentuk penolakan dan bahan mushasabah bagi pemerintah. Harapannya, kritik dan nasehat bisa membawa atau membuka jalan bagi pemerintah untuk menghentikan kezaliman dalam bentuk kebijakan.
Hanya dengan Islam, Indonesia Akan Terang Benderang
Meskipun Prabowo enggan untuk menerima kenyataan dan kondisi negeri sedang gelap dan butuh pertolongan segera, tetapi demkianlah fakta sesungguhnya. Pergantian rezim demi rezim telah dilakukan oleh rakyat, hasilnya nol.. Pertannyaannya kemudian, mengapa tidak muncul kebaikan meskipun rezim telah berganti? Paling tidak disebabkan beberapa poin berikut.
Pertama, rezim terpillih yang kini sedang memimpin terlihat hanya seperti bayangan rezim sebelumnya. Para pejabata yang dipilih belum lepas dari kelompok dan pendukung rezim lama. Tentu saja wajar secara logika, karena demokrasi memberikan peluang demikian dengan dalih suara terbanyak.
Suara partai penguasa tidak mampu melakukan perubahan signifikan di parlemen. Tetap saja, suara mayoritas dikuasai partai rezim lama. Wapres yang digandeng bukankah keluarga rezim lama? Lalu bagaimana mungkin bisa lepas dari kepentingan mereka?
Kedua, dalam prinsip demokrasi kapitalis, politik bersifat opportunistik dan penuh intrik. Jika saat berkompetisi sebelum pemilu seolah-olah jadi rival, pasca pemilu terbuka peluang koalisi. Artinya, pintu bersama untuk partai -partai petarung di pemilu tidak dibatasi untuk koalisi.
Sebab jika menjadi oposisi, tidak akan mampu memberikan sumbangsih bagi partainya atau kader-kader yang telah bertarung di pemilu. Setdiaknya, menjadi oposisi memberikan keuntungan (ooprtunity) dapat jabatan menteri, stafsus, dirut, atau proyek-proyek menjanjikan lainnya.
Ketiga, sistem kepemimpina yang dipakai oleh rezim sekarang tetap saja sistem sekuler kapitalisme. Sistem yang sudah puluhan tahun, sejak Indonesia merdeka dipakai. Maka tidak heran, kondisi ril negeri ini akan semakin buruk.
Benar, dulu Indonesii dijajah Belanda dan Jepang secara fisik. Akan tetapi, penerapan sekuler kapitalis yang dimotori oleh demokrasi adalah penjajahan gaya baru dalam bentuk soft gun. Para penjajah kapitalis global membuat progran-program imprelaisme dengan mendikte pengelolaan SDA, menciptakan hutang luar negeri sehingga menjerat dan membuat bangkrut negara yang masuk perangkap hutang luar negeri. Belum lagi bahas riba dalam hutang negara yang merupakan dosa besar dalam Islam.
Keempat, masyarakat juga mayoritas masih berharap hanya dengan pergantian orang (sosok) akan bisa membawa perubahan. Sehingga tetap ngotot harus ganti pemimpin, tanpa menganalisis lebih dalam, bahwa kerusakan dan kondisi gelap Indonesia bukan karena sosok semata, melainkan pada landasan kepemimpinan yang bercermin pada kapitalisme.
Oleh karena itu, solusi tuntas dalam menyelesaikan persoalan negeri yang gelap saat ini hanyalah dengan mengganti kepemimpinan sekuler menjadi kepemimpinan berlanadaskan pada syariat Islam (Al-Qur’an dan Hadis). sejarah telah membuktikan, betapa mulia dan berkahnya negeri-negeri Muslim bahkan dunia, ketika Islam menjadi tolak ukur kebijakan.
Eropa yang dulunya hanyalah sebuah wilayah gelap dan tidak menusiawi, menjadi terang ketika Islam datang pertama kali di Spanyol (Andalusia). sebelum Islam datang, Eropa dijuluki zaman dark age (zaman kegelapan) karena dipimpin oleh Raja absulut dan kepemimpinan yang buruk.
Presiden Prabowo sendiri mengatakan kekagumannya atas kepemimpinan Ott0man (Ustmaniyyah). untuk diketahui, bahwa Kesultanan Ottoman (Utsmaniyyah) adalah kekhilafahan Islam terakhir di Turki yang disegani oleh dunia hingga diruntuhkan oleh Barat (Inggris dan antek-anteknya) tahun 1924.
Jika syariat Islam telah terbukti memakmurkan dan memberikan cahaya bagi seluruh alam, lalu alasan apa lagi untuk menolaknya? Bukankah yang diharapkan sleuruh anak bangsa ini adalah perubahan hakiki yang lebih baik? Therefore, Islam is the only solution for Indonesia better in the future. Allau a’alam bissawab.[]
Comment