Tradisi Membakar Kemenyan di Nagari Tigo Jangko

Opini986 Views

 

 

Oleh: Aulia Rahman, Mahasiswa Pascasarjana UIN Bukittinggi Sumbar

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Negeri Minangkabau kaya akan budaya seperti ritual adat dalam berbagai tradisi budaya. Masing-masing daerah memiliki kekhasan tersendiri dalam melaksanakan tradisi tersebut. Di mana masyarakat Minangkabau memiliki banyak suku dan adat istiadat yang berbeda-beda berdasarkan kebiasaan atau tradisi yang masih dipertahankan sampai saat ini. kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi tetap mereka pelihara sampai saat sekarang ini.

Nagari Tigo Jangko adalah daerah yang terletak di Kabupaten Tanah Datar atau Luhak Nan Tuo yang memiliki kultur budaya dan adat istiadat yang masih sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya membakar kemenyan dalam prosesi acara kematian, syukuran, dan acara-acara yang sifatnya berdoa kepada Allah. Di mana kemenyan di beberapa daerah menjadi hal yang sangat lumrah terdengar di telinga masyarakat.

Kemenyan adalah getah atau resin yang dihasilkan oleh pohon kemenyan (styraxspp). Sejarah pengelolaan kemenyan ditemukan pada daerah Tapanuli Sumatera Utara telah berlangsung sejak abad ke-17, serta telah memberikan kontribusi sebesar 70%-75% terhadap perekonomian petani. (Aswandi Anas : 2017).

Prosesi membakar kemenyan dalam berdoa banyak terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada beberapa ulama yang mengatakan hukumnya boleh, selama tujuannya tidak melenceng dari pemahaman agama.

Menurut Prof. H Abdul Somad LC, MA, D.E.S.A, Phd yang diakses oleh salah satu akun youtube Ya Habibana, pada tanggal 19 November 2022, mengatakan bahwa bakar kemenyan dibolehkan, banyak orang yang melakukannya sebagai contoh acara pernikahan, kemenyan dibakar dengan tujuan untuk mengharumkan rumah pengantin.

Ada juga ulama yang mengatakan bahwa membakar kemenyan itu hukumnya haram, dikarenakan sebagian masyarakat menganggap bahwa dengan kemenyanlah doa akan tersampaikan kepada Allah. Mereka beranggapan bahwa tanpa memakai kemenyan doa tidak tersampaikan kepada Allah dan pemahaman yang mengganggap bahwasanya kemenyan itu dapat menyampaikan doa pada roh-roh orang yang meninggal. Hal inilah yang menjadikan tradisi membakar kemenyan itu diharamkan.

Kemenyan di zaman Rasulullah juga menjadi ritual umat Islam. Nabi Muhammad dan para sahabat sendiri menyukai wangi-wangian baik yang berasal dari minyak wangi maupun yang berasal dari kemenyan. Hal itu yang menjadi dasar bagi ulama terdahulu di Minangkabau untuk menyelaraskan budaya Hindu dengan ajaran Islam, agar mereka tidak terlalu sulit untuk meninggalkan kebiasaan dalam prosesi berdoa kepada Sang Pencipta.

Inilah dasar kenapa sampai saat ini masyarakat Minangkabau pada umumnya dan masyarakat Nagari Tigo Jangko pada khususnya masih membakar kemenyan ketika berdoa dengan tujuan untuk berharum-haruman, karena dengan berharum-haruman malaikat suka akan hal itu dan malaikat akan mengaminkan doa kita, karena sebagaimana dalam sebuah hadis dijelaskan yang artinya:

Dari Asma Binti Abu Bakar bahwa dia berkata kepada keluarganya; “Berilah tiap kayu gaharu (ukuplah) pakaianku jika aku meninggal. Taburkanlah hanuth (pewangi mayat) pada tubuhku. Janganlah kalian taburkan hanuth pada kafanku, dan janganlah mengiruku dengan membakar api”. (H.R Imam Malik).

Nilai teologi yang terkandung dalam tradisi bakar kemenyan dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Nagari Tigo Jangko yang tetap menganut keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kendati mereka melakukan prosesi bakar kemenyan dan secara tidak langsung masyarakat Tigo Jangko telah menjalankan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah.[]

Comment