Penulis: Ibnu Rusdi | Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan Batangbatang Madura
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Andaipun Pemilu 2024 terpilih profil terbaik sebagai presiden dan wakil presiden, apakah keadaan carut-marut seluruh dimensi kehidupan punya jaminan perubahan dengan keadaan kontrasnya? Secara ekspektasi “Ya”. Tetapi tidak demikian dengan teorinya.
Potret buram kehidupan masyarakat bukan tersaji sendirinya. Melainkan efek dari kerusakan di berbagai sendi dan lini interaksi sosial. Tebaran mudarat pada cabang-cabang saling berbaurnya manusia itu, sudah barang tentu terdapat persoalan sumbu. Titik pusat persoalan pengelolaan negara adalah pada pilihan sistemiknya.
Karena itu, dinamika 5 tahun pasca Suksesi 2024 bisa dianalisa berdasarkan berbagai piranti politiknya. Jika profil dengan kapabilitas terbaik terpilih sebagai pemenang, prediksi paling rasionalnya, bagaimana Indonesia di tahun-tahun mendatang?
Pertama, Indonesia menganut sistem kekuasaan Trias Politika. Presiden tidak berdiri sendiri menjadi komando pengurusan rakyat. Ada legislatif yang menerbitkan undang-undang. Jika sebagian besar keanggotaan parlemen berseberangan kubu dengan penguasa, menjadi sinyal kuat presiden sedang berhadapan dengan arus ‘penentangan’ berkekuatan besar.
Pada kondisi demikian, sangat besar peluangnya presiden mengendorkan sebagian idealismenya demi tercapai ‘kesepakatan’ yang sama-sama nyaman. Sama-sama senang.
Kedua, Ketetapan Presidential Threshold 20% memaksa seluruh partai bergandengan tangan membentuk kubu-kubu koalisi. Jalinan koalisi ini melahirkan dampak politik transaksional. Masing-masing anggota koalisi saling menawarkan calon usungannya.
Jika ada partai koalisi tidak kebagian jatah di pasangan Capres-Cawapres, bisa saja mengakibatkan mereka keluar dari himpunan. Sementara yang lebih kuat ‘bertahan’ memiliki dayatawar tinggi di fase “bagi-bagi jatah kekuasaan”.
Presiden dengan visi dan kapabilitas yang “jaminan mutu” sekalipun, tidak bisa menghindari pengaruh partai saat menentukan orang-orang yang akan dipilihnya membantu kinerja pemerintahan di posisi para menteri kabinet.
Ketiga, mesin politik demokrasi membutuhkan biaya operasional yang amat tinggi. Nafas partai banyak disuplai oleh injeksi dari anggaran negara. Juga tidak sedikit sumbanngan dari pihak ketiga, yakni para pemilik modal.
Konsekwensi yang harus dibayar oleh partai adalah kompensasi bagi naluri pengembangan kepemilikan para pemodal itu. Konsekwensi turunannya, presiden tidak bisa bergerak bebas dari telunjuk partai. Sementara partai tidak bisa bergerak bebas dari telunjuk para kapitalis.
Presiden terbaik dalam Kapitalisme, pada akhirnya mendapatkan kesulitan mengekspresikan prinsip-prinsip kerakyatan yang semula dimilikinya. Karena berbenturan dengan kepentingan ekonomi dari pihak yang menyuplai banyak energi finansial terhadap partai pengusungnya.
Lebih-lebih ketika masa kampanye yang harus menanam berbagai varian iklan serta pendekatan ke kantong-kantong suara masyarakat. Putaran pertama menelan biaya besar, apalagi kalau berlanjut hingga putaran kedua!
Deskripsi sebagian instrumen politik Demokrasi di atas, adalah tembok tebal bagi presiden dan wakil presoden yang terpilih dari profil-profil terbaik. Mereka berada dalam kesulitan melepaskan diri dari jerat politik berbiaya tinggi, politik transaksional, politik pragmatisme kapitalis dan rumpun istilah-istilah lain yang menyatakan kesan faktual bahwa perhatian terhadap rakyat berada pada peringkat berikutnya dan berikutnya.
Sementara rakyat memahami dengan naluri mereka perihal pengaturan macam apa yang baik buat kehidupan mereka. Yakni lanskap kehidupan yang bisa diilustrasikan dengan bahasa sederhana. Satu di antaranya ilustrasi produk dan distribusi ekobomi, “Saat keluarga pejabat setiap pagi sarapan 75 ribu rupiah per anggota keluarga, rakyat miskin cukuplah dengan 7 ribu rupiah per orang.”
Politik Demokrasi mustahil menyajikan kondisi seperti itu sampai kapanpun. Berbeda dengan konsepsi yang dimiliki sistem Islam. Perintah yang mewujudkan kondisi sosial “agar harta tidak hanya beredar di kalangan mereka” bukan produk kompromi eksekutif legislatif. Melainkan produk langit yang wajib dijalankan mekanismenya oleh ‘eksekutif, legislatif, dan yudikatif’ secara bahu-membahu dan terpadu.
Untuk menyongsong harapan besar terhadap momentum Pebruari 2024 beberapa minggu menjelang, rakyat sudah pasti butuh “The Real President”. Presiden sesungguhnya yang terbebas dari pengaruh serta dikte dari perumus undang-undang dan pemilik partai. Terbebas pula dari hutang jasa kepada para pemilik modal.
Jika demokrasi bukan harapan, maka pada konsepsi Islamlah harapan itu pasti terwujudkan. Standar syariah bebas dari intervensi apapun ambisi dan tendensi.
Pesan-pesan pengaturan umat ditetapkan oleh Dia yang Maha Memiliki. Tidak butuh sedikitpun bagi-bagi kursi dari penguasa, tidak pula bagi-bagi rezeki dari mereka.[]
Comment