Teti Ummu Alif*: Sekulerisme Dan Tayangan Sampah Lahirkan Generasi Psikopat

Opini625 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pilu. Akhirnya aksi pembunuhan terhadap bocah perempuan 5 tahun di dalam lemari ini pun terbongkar. Pembunuhan ini terjadi di rumah pelaku di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Pelaku melakukan aksinya pada Kamis (5/3/2020) sore hari saat rumah dalam kondisi sepi (Kompas. Com). Dia tak lain adalah Seorang remaja perempuan berusia 15 tahun berinisial NF.

Gadis ABG itu mengaku puas pada polisi. Tak ada penyesalan sedikit pun di raut wajahnya. Padahal dia baru saja melakukan tindakan sadis. Ternyata NF terinspirasi dari film horor. Remaja SMP ini menyukai Slender Man dan Chucky.

Remaja ini menjadi korban sebuah sistem sekular yang sangat bertolak belakang dengan unsur budaya dan agama masyarakat Indonesia.

Sungguh miris dan menyayat hati. Pasalnya, Sistem kapitalis sekuler berjalan belum seabad namun telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa di seluruh lini kehidupan.

Padahal, sistem ini digadang-gadang oleh banyak pihak sebagai sistem kehidupan yang paling manusiawi. Namun fakta dan realita yang ada justeru jauh panggang dari api.

Kasus NF seharusnya membuka mata kita, bahwa para remaja sedang bermasalah. Di era digital, para remaja diserang tayangan sampah yang mempromosikan sadisme tanpa sensor dan melalui gawai yang sangat privat yaitu smartphone. Tayangan sadisme hadir begitu saja di gawai anak-anak, seolah tidak ada pengawas tayangan di negara ini.

Memang berat menjadi remaja menjalani hidup dalam sistem yang dianut saat ini di mana sebuah tontonan dijadikan sebagai tuntunan. Sementara sistem pendidikan demikian sekuler, hingga sekolah didominasi transfer materi, bukan tempat mendidik pribadi anak agar bertakwa. Liberalisasi media dan sekularisasi pendidikan menghasilkan karya dan puing puing kerusakan terhadap generasi dan remaja.

Kejadian ini tentu bukan salah NF semata. Dengan latar belakang keluarga yang broken home, terlebih dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, besar kemungkinan pecahnya biduk rumah tangga berdampak besar pada perkembangan jiwa sang anak. Kasus ini juga mengingatkan kita para orang tua untuk senantiasa memperhatikan anak dengan memberi mereka nilai nilai religius. Memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya, melimpahinya dengan kasih sayang, dan peduli pada perasaannya. Pahami kondisi mereka, adakah hal yang membuatnya sedih atau marah. Juga mengawasi gawai mereka, tayangan apa yang mereka akses, dan memfilter konten agar ramah anak, baik dengan edukasi maupun fasilitas filter dari aplikasi. Bahkan sebisa mungkin menyimpan gawai ketika orang tua sedang membersamai anak-anaknya.

Peristiwa sadisme remaja bukanlah kali pertama terjadi bahkan selalu saja berulang. Entah esok sadisme apalagi yang akan terjadi. NF tentu tidak sendiri, di luar sana banyak anak remaja yang bernasib sama. Mereka yang kecewa dengan hidupnya lalu mencari saluran untuk menuntaskan kekecewaan.

Generasi remaja zaman now lebih dekat dengan YouTube yang sangat bebas menyajikan konten mulai dari yang baik hingga yang paling buruk. Mereka condong mengikuti apa yang mereka lihat. What you see is what you get. Naudzu billah.

Di sisi lain penguasa malah asik dan sibuk mengundang investasi seolah tak peduli nasib generasi. Problem ini harus segera diselesaikan. Kasus ini tak boleh dianggap sekedar kasus personal lalu selesai.

Solusi atas masalah ini tak bisa diserahkan pada psikolog, polisi, atau bahkan orang tua pelaku. Butuh solusi integral-sistemis yaitu dimulai dari mengubah asas kehidupan kita yang demikian sekuler-liberal, di mana agama dimaknai hanya sebagai aktivitas ritual. Selama asas kehidupan kita belum berubah dan mengacu total sekulerisme maka selama itu pula akan marak dan lahir generasi dan remaja berjiwa psikopat.

Sistem Islam Pencetak Generasi Gemilang

Manusia berpikir dan bertindak terkait otak dan informasi yang diterimanya. Ketika otak diisi penuh dengan tayangan sampah semisal sadisme, tindakannya pun secara otomatis mengikuti. Maka akidah Islam haruslah dijadikan sebagai asas berpikir dan bertindak. Sehingga bisa menilai sebuah tayangan, apakah baik atau buruk. Baik jika diridai Allah Ta’ala, buruk jika dimurkai-Nya.

Selanjutnya, keluarga dikembalikan posisinya sesuai tatanan syariat Islam, bahwa keluarga adalah kepemimpinan terkecil. Ayah bertanggung jawab atas amanah sebagai pemimpin (qawam), ibu bertanggung jawab atas posisi sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (umm wa robbatul bait), dan anak bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan juga wajib taat pada orang tua (selama tidak maksiat).

Semua anggota keluarga saling menolong dalam kebaikan dan takwa. Hingga berkumpul bersama di jannah menjadi misi dan tujuan keluarga. Rumah menjadi tempat berkumpul nan hangat dan dirindukan. Menjadi tempat melabuhkan rasa lelah setelah seharian beraktivitas di luar. Itu semua bisa terwujud dengan mengimpleentasikan islam secara kafah dalam keluarga.

Aneka tayangan di media yang merusak keharmonisan keluarga akan diblokir. Konten kekerasan, pornografi, kebebasan bertingkah laku, perselingkuhan, kebohongan, dll, akan diblokir. Konten media diatur agar menjadi media yang sehat dan ramah terhadap generasi bangsa.

Media semestinya diisi tayangan Islami semisal pembelajaran Alquran, hadis, fikih, sains, dll. Semua upaya ini merupakan kolaborasi yang kompak antara individu, masyarakat, dan negara yang menerapkan Islam kaffah yakni khilafah.

Ironisnya, sistem Islam yang demikian sempurna dalam mewujudkan generasi gemilang, justru ditolak oleh banyak kalangan dengan alasan sistem islam tidak cocok diterapkan di bumi ibu pertiwi. Tidak inginkah kita mempunyai remaja yang handal, sehat jiwa dan raga? Sungguh kerusakan yang mana lagi yang mau kita dustakan? Wallahu A’lam.[]

*Muslimah Kendari

Comment