Terbukti, Fitnah Lebih Kejam Daripada Pembunuhan

Opini745 Views

 

Oleh : Endang Noviyani, Komunitas Ibu Peduli Generasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kasus pengeroyokan hingga kehilangan nyawa terhadap seseorang yang diteriaki “maling” saat ini terulang kembali. Seorang pemuda berusia 16 tahun berinisial LEG meninggal dunia setelah menjadi korban pengeroyokan akibat diteriaki maling.

Kapolsek Tarumajaya, AKP Edy Supriyanto mengatakan, kejadian tersebut bermula saat korban sedang keluar rumah ingin mencari kucingnya. Kejadian itu sendiri terjadi pada Sabtu (5/2) lalu, di kawasan Harapan Mulia, Bekasi, sekira pukul 23.30 WIB.

Jadi korban ini sebenarnya keluar, korban keluar itu katanya nyari kucingnya yang hilang gitu. Kan rumahnya di depan kompolek situ, dia pakai motor. Ketika dia nyari kucingnya yang hilang, dia ke tempat semacam ada tempat permainan malam yang ada di situ. Karena itu di ruko-ruko gitu, nah dia nyari-nyari di situ.. abis itu enggak ada.. dia jalan diteriaki maling gitu,” katanya saat dihubungi merdeka.com Rabu (9/2).

Berdasarkan pengakuan para pelaku yang sudah diamankan itu, korban diteriaki maling karena dilihatnya telah memegang besi. Mereka yang diamankan yakni R, A, E dan satu orang anak di bawah umur berinisial F.

“Yang teriakin maling itu satu, cuma kan diteriaki maling dia lari naik motor , di depannya sudah dihadang gitu sama anak-anak itu, pelaku-pelaku itu,” ujarnya.

“Kalau motif untuk penuturan si tersangka ini alasannya dia (korban) megang-megang besi, enggak tahu besi apa, itu hal yang belum masuk akal bagi saya dengan alasan itu,” sambung Edy.

Kendati demikian, dirinya belum bisa mempercayai alasan dari pelaku tersebut. Apalagi, korban disebutnya tergolong orang mampu.

“Saya belum mempercayai alasan dia, nah di situ. Jarak rumahnya juga enggak jauh, paling 100 meter, 200 meter enggak sampai. Dia mau arah ke rumahnya itu, kan rumahnya di komplek situ. Ini remaja korbannya anak baik-baik, orang punya, orang kaya gitu,” terangnya.

Selain itu, dirinya menyebut, korban meninggal dunia sebelah dikeroyok oleh para pelaku yg merupakan gengster motor menggunakan senjata tajam dan juga tangan kosong.

Sungguh sangat miris, kejadian yang tragis bermula dari fitnahan dengan tuduhan “maling” tanpa diselidiki apakah benar atau tidaknya, masyarakat langsung saja menghakimi tanpa bukti. Akhir akhir ini fenomena tindakan main hakim sendiri di masyarakat mulai meresahkan. Kenapa hal itu bisa terjadi pada masyarakat kita ? Padahal kita ketahui bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan, tapi ini sudah difitnah dan dibunuh pula. Naudzubillah.. Derajat manusia ternyata lebih rendah dari pada binatang sekalipun, karena mereka tak memakai akal dan pikiran juga hati mereka dalam melakukan sesuatu. Padahal didalam Islam satu nyawa seorang muslim itu sangat berharga .

Tindakan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan yang dilarang menurut peraturan perundang undangan di Indonesia terlebih lagi menurut Syari’at Islam. Kenapa? Karena hal itu, keadilan tidak akan didapatkan. Misalnya Seseorang yang mencuri ayampun harus mati dihajar massa, seorang jambret dibakar hidup hidup hingga mati dan lain sebagainya. Tentu hal itu bukanlah keadilan yang didapat, bahkan pelaku tindakan main hakim sendiri sudah melakukan perbuatan keji yang sungguh dilarang dalam ajaran Islam.

Islam menjunjung tinggi hukum untuk mengatur kehidupan manusia. Agama ini dibangun di atas hukum. Maka, dalam Islam tidak ada istilah main hakim sendiri. Jika terjadi kasus hukum di masyarakat, baik berupa perdata maupun pidana, maka itu harus dibawa ke pengadilan.

Rasulullah ﷺ sendiri selalu memutuskan sesuatu berdasarkan fakta yang ada dan dalam kondisi penuh ketenangan. Beliau ﷺ bersabda:

لاَ يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهْوَ غَضْبَانُ

Seorang hakim dilarang memutuskan perkara di antara dua orang ketika ia marah (HR. Bukhari no. 7158).

Sikap ini Rasulullah ﷺ terapkan bukan hanya kepada umat Islam, tetapi juga untuk umum. Sahl bin Abi Hathma ra. bercerita pada suatu hari sejumlah orang dari sukunya pergi ke Khaibar dan berpencar. Saat mereka berkumpul kembali, mereka menemukan salah seorang dari mereka telah terbunuh.

Mereka lalu menuduh penduduk di tempat kejadian sebagai pelakunya. “Kalian telah membunuh teman kami!” ucap mereka marah kepada orang-orang Khaibar.

Namun, penduduk di sana menyanggah tuduhan itu. “Kami tidak membunuhnya, kami juga tidak tahu siapa pembunuhnya.”

Karena tidak menemukan titik terang, rombongan yang berduka itu lalu kembali dan menghadap kepada Rasulullah ﷺ dengan tergopoh-gopoh. “Wahai Rasulullah ﷺ, kami pergi ke Khaibar dan salah seorang dari kami terbunuh!”

Rasulullah ﷺ menenangkan mereka dan menyuruh orang yang paling tua untuk berbicara agar mereka tidak ribut. Setelah mendengarkan ceritanya, Rasulullah ﷺ berkata, “Bawalah bukti atas pembunuhnya.”

“Kami tidak punya bukti apa-apa,” jawab mereka.

“Maka suruh mereka untuk bersumpah,” pinta Rasulullah ﷺ.

“Kami tidak menerima sumpah orang Yahudi,” jawab mereka lagi.

Karena Rasulullah ﷺ tidak mendapatkan bukti atau saksi atas perkara tersebut, maka beliau ﷺ memutuskan untuk tidak menghukum para tersangka.

Namun, beliau ﷺ tetap sedih mendengar berita itu, dan tidak dapat membiarkan nyawa seseorang terbunuh tanpa kompensasi apapun. Akhirnya, Rasulullah ﷺ membayar sejumlah seratus unta kepada keluarga yang ditinggalkan sebagai diyat atau denda pidana (HR. Bukhari no. 6898).

Sebagai seorang pemimpin Islam, Rasulullah ﷺ mampu menjaga akal sehatnya dalam memutuskan sesuatu. Andai saja beliau ﷺ ikut terbawa nafsu dan emosi, bisa saja beliau menghukum penduduk Khaibar yang masih berstatus tersangka tanpa proses pengadilan yang adil.

Begitulah Rasulullah ﷺ memberi uswah agar umatnya kelak tidak main hakim sendiri. Karena posisi sebagai hakim bukanlah posisi sembarangan. Beliau ﷺ bersabda:

مَنْ وَلِيَ الْقَضَاءَ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ

Siapa yang diangkat menjadi hakim telah “dibunuh” tanpa pisau (HR. Abu Dawud no. 3571).

Maksudnya adalah, seorang hakim dituntut untuk memutuskan perkara dengan adil. Apabila menyimpang dari itu, maka Allah akan berbalik menghukumnya di akhirat.

Para sahabat meneladani kehati-hatian Rasulullah ﷺ dalam menetapkan putusan. Had atau hukuman tidak boleh dijatuhkan jika belum ditemukan bukti atau saksi yang melihat perbuatan tersangka. Imam Musaddad meriwayatkan dalam kitab musnadnya bahwa Ibnu Mas’ud ra. berkata:

ادرَؤُوا الحدودَ بالشُّبُهَةِ

Hindarilah pemutusan had (hukuman) dengan sesuatu yang syubhat (meragukan).

Semoga kita dapat menerapkan sikap Rasulullah ﷺ ketika berhadapan dengan kasus hukum. Sehingga tidak bertambah lagi peristiwa main hakim sendiri, seperti pencuri-pencuri kecil yang mati karena dipukuli sebelum dibawa ke pengadilan. Ingatlah pesan Rasulullah ﷺ:

لَوْ يُعْطَى اَلنَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ، لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ، وَلَكِنِ اَلْبَيِّنَةُ عَلَى اَلْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

Andaikan tuntutan tiap orang dipenuhi (tanpa pengadilan), maka orang-orang akan menuntut atas darah dan harta orang lain. Namun, barang bukti wajib bagi orang yang menuduh, dan sumpah wajib bagi yang tidak mengaku (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulugh Al-Maram no. 1423).

Wallahu’alam bisa shawab

Comment