Tempe dan Tahu Menghilang Di Pasaran, Kedaulatan Pangan Jangan Hanya Sekedar Jargon

Opini798 Views

 

Oleh Pristria Dini Aranti. ST*

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Awal tahun 2021 diawali dengan hilangnya tempe dan tahu beberapa hari, mulai dari warteg sampai penjual gorengan hingga kalangan ibu rumah tangga pun ikut pusing dibuatnya.

Usut demi usut hilangnya tahu dan tempe dari peredaran adalah bagian dari protes yang dilakukan oleh para produsen tahu dan tempe di berbagai daerah, dikarenakan melonjaknya bahan baku kedelai.

Seperti dikutip liputan6.com, Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Jawa Barat (Puskopti Jabar) menyatakan mulai pekan depan tanggal 4 Januari 2021 harga jual tahu dan tempe naik sebesar 20 hingga 30 persen.

Kenaikan tersebut karena harga bahan baku tahu tempe yaitu kedelai mengalami kenaikan dari Rp6.000 – 7.000 per kilogram menjadi Rp9.400 – 10 ribu per kilogram.

Tak hanya di Jabodetabek, sekira 500 perajin tahu dan tempe di Sukoharjo, Jawa Tengah, berunjuk rasa di Bundaran Tugu Kartasura. Mereka menuntut pemerintah menurunkan harga kedelai yang melambung tinggi.

Demo yang berlangsung Rabu (25/7/2012) ini, berasal dari tiga desa yang merupakan sentra produsen tahu dan tempe yaitu Desa Kranggan, Brontowiryan, dan Purwogondo Kecamatan Kartasura Sukoharjo Jawa Tengah.

Sambil membawa berbagai alat tabuhan, spanduk dan berbagai poster menuntut pemerintah agar menurunkan harga bahan baku, mereka melakukan aksi longmarch menuju Bundaran Tugu Kartasura Sukoharjo.

Dikatakan Okezone.com, mereka mengeluhkan harga kedelai yang saat ini sudah mencapai Rp8000 perkilo padahal seblumnya hanya berkisar limaribu rupiah. Harga ini dianggap terlalu berat untuk ditanggung para perajin.

Ada satu menu makanan yang selalu hadir di meja makan orang Indonesia. Tak mengenal kaya dan miskin. Bukan tanpa alasan. Gairah tempe sebagai menu makanan sehat penuh gizi yang bisa diolah dengan ragam cara memasak membuat tempe disukai semua kalangan.

Saking kaya protein dan gizi, tahu maupun tempe sering dijuluki sebagai ‘daging dari pertanian’ oleh ahli-ahli nutrisi. Julukan itu menjadikan kedua makanan tersebut sebagai makanan yang menyelamatkan penduduk dari negara yang berpenghasilan rendah, mulai dari mereka yang masuk dalam kategori miskin hingga kaya.

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menilai fenomena kedelai yang berdampak pada langkanya produk tahu dan tempe merupakan bukti bawah Indonesia tak lagi memiliki kedaulatan pangan. Fenomena kedelai memberikan bukti lain bahwa negeri ini sudah sedemikian dalam masuk dalam jerat perdagangan pangan yang dilakukan perusahan transnasional dan negera maju.

“Negara sudah dikalahkan pasar. Kedaulatan atas pangan tidak lagi dimiliki,” kata Said Abdullah, Officer Advokasi dan Jaringan KRKP.

Pemerintah berdiri pada pilihan sulit ketika berhadapan dengan situasi ini. Satu sisi diharuskan menjaga ketersediaan pangan dengan membuka pasar kedelai impor, namun pada sisi lain dipaksa memenuhi janjinya untuk swasembada. Padahal keduanya tidak akan pernah tercapai secara bersamaan.

Semestinya, kata Said, fakta ini memberikan kesadaran baru bagi Indonesia bahwa menggantungkan suplai pangan dari negeri orang amat riskan. Tidak hanya terkait produksi dan harga juga soal mutu pangannya. Semua elemen bangsa juga paham bawah kedelai produksi luar negeri terutama Amerika Serikat (AS) didominasi kedelai transgenik. Padahal soal transgenik hingga saat ini masih menjadi perdebatan serius terkait aspek etik dan keamanannya.

“Sudah saatnya pemerintah terus berupaya terlepas dari ketergantungan, mengukuhkan kedaulatan atas pangan. Perbaikan tata niaga, insentif harga berupa peningkatan harga jual, untuk merangsang gairah petani kedelai dan regulasi proteksi produksi dalam negeri perlu secara nyata dilakukan,” kata Said.

Pada sisi lain, kata Said, kepastian lahan produksi menjadi syarat wajib dilakukan. Mengacu pada faktor-faktor penentu keberhasilan produksi, lahan menempati proporsi terbesar.

Seperti dikutip Beritasatu.com,  sekurangnya 40 persen keberhasilan target produksi ditentukan oleh faktor lahan. Karenanya pemerintah perlu secara tegas menentukan dan memperluas lahan produksi tidak hanya berpusat pada lahan sawah.

Kelangkaan tahu dan tempe yang merupakan produk turunan kedelai merupakan akibat dari tidak mampunya pemerintah memenuhi bahan bakunya berupa kedelai dari dalam negeri. Padahal, tahu dan tempe memiliki konsumen yang sangat tinggi di Tanah Air.

Setiap tahun tidak kurang dari 2,4 juta ton kedelai di konsumsi masyarakat. Akibatnya, serbuan kedelai impor semakin deras membanjiri Indonesia. Data BPS menunjukkan, sejak 1990 sampai dengan 2011, laju impor terus meningkat. Jika pada tahun 1990 impor kedelai hanya 541 ribu ton maka pada 2011 mencapai 1,5 juta ton dengan nilai mencapai Rp5,9 triliun.

Sementara produksi dalam negeri terus mengalami penurunan. Jika pada 1990 produksi mencapai 1,4 juta ton, pada 2011 meluncur bebas menjadi 851 ribu ton, besarnya ketergantungan akan bahan baku impor membawa implikasi yang serius. Perubahan produksi di level dunia sedikit saja akan sangat berpengaruh pada stok dan tentu saja harga.

Fenomena kegagalan panen di negera-negara eksportir pada 2007-2008 atau kekeringan di Amerika Serikat pada bulan ini telah berpengaruh pada peningkatan harga kedelai di dunia.

Peningkatan harga ini tentu saja menjadi pukulan telak, terutama bagi pengusaha tahu, tempe dan kecap. Harga yang melambung membuat ongkos produksi meningkat. Peningkatan produksi tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat. Akibatnya, para pengusaha ini merugi luar biasa. Dan, mogok produksi menjadi pilihan walaupun konsumen turut menjadi korban yang dirugikan.

Lagi-lagi, rakyat selaku konsumen utama tahu-tempe, ibarat diharuskan menerima sumber daya pangan kelas recehan. Itu pun ternyata berbasis sumber daya impor, yakni tahu dan tempe tadi. Ini benar-benar ironis tingkat akut.

Padahal, pertanian dan ketahanan pangan adalah perkara serius yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jika pertanian tak diurus dengan baik, mustahil ketahanan pangan dapat diraih.

Krisis kedelai yang saat ini sedang menimpa Indonesia sudah sampai tahap yang mengkhawatirkan. Krisis kedelai saat ini adalah perwujudan salah arahnya kebijakan Ekonomi dan Pertanian, serta pangan di Indonesia.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih memaparkan salah arahnya kebijakan pertanian Indonesia ini dimulai tahun 1995 ketika Indonesia ikut meratifikasi WTO. Kemudian dilanjutkan dengan ditandatanganinya letter of intent dengan IMF di tahun 1998 yang semakin memasifkan liberalisasi pada sektor pertanian dan pangan di Indonesia.(spi.or.id)

Selama ini pengurusan masalah umat dengan liberalisasi kapitalisme sudah jelas menjauhkan cita-cita kemandirian dan kedaulatan pangan.

Pemerintah tanpa visi kemandirian hanya akan mengikuti arahan dan kepentingan kapitalis global, sekalipun memarginalkan jutaan rakyat dan hanya sebatas regulator atau pembuat aturan dan UU.

Visi besar tersebut hanya dapat dilakukan dengan pengurusan yang benar, maka sudah saatnya pemerintah mengakui kesalahan dan melakukan perubahan yang mendasar dalam membangun ketahanan dan kedaulatan pangan. Sebab sistem neoliberal kapitalisme yang digunakan selama ini terbukti gagal mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan.

Sistem ini telah melegalkan kapitalisasi pengelolaan pangan sehingga korporasi mengusai mayoritas rantai pasok pangan. Sementara pemerintah hanya sebagai regulator, fasilitator yaitu pembuat aturan dan kebijakan yang notabene lebih menguntungkan korporasi.

Ketidakjelasan visi ini memungkinkan negara terperangkap dalam jebakan impor pangan yang direkayasa lembaga internasional dan negara-negara adidaya.

Maka ketahanan pangan pun hanya akan menjadi mimpi dan berakhir sebagai wacana yang terus menerus dipertanyakan ketika kejadian serupa muncul.

Sektor pertanian jangan lagi dianaktirikan karena Indonesia masih lah sebuah negara agraris di mana tenaga kerja paling banyak masih berada pada sektor ini. []

*Pengasuh Kajian Sahabat Hijrah Klaten

____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

Comment