Penulis: Hamsina Halik | Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hingga saat ini, kasus korupsi masih marak terjadi di negeri ini. Hampir semua kalangan terlibat dalam tindak korupsi, baik dari kalangan DPR, pemerintah eksekutif maupun yudikatif. Bahkan, belum lama ini Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Menteri Perdagangan Tahun 2015–2016 Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula periode 2015-2023 di Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam, menjelaskan bahwa keterlibatan Tom Lembong dimulai ketika pada tanggal 12 Mei 2015, rapat koordinasi antarkementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula.
Akan tetapi, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada saat itu memberikan izin persetujuan impor gula. Pada masa jabtan Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan pada 2015-2016 impor gula mencapai angka 5 juta ton.
Sedangkan kebijakan impor gula terus berlanjut di bawah Enggartiasto Lukita yang menjabat pada 2016-2019 dengan angka impor 15juta ton, pada masa Agus Suparmanto antara 2019-2020, impor gula tercatat mencapai sekitar 9,5juta ton.
Sementara di masa Muhammad Luthfi yang menjabat dari 2020 hingga 2022, kebijakan impor tetap berlanjut dengan total sekitar 13 juta ton. (tvonenews.com, 31/10/2024)
Namun, penetapan kasus ini berbeda dengan kasus korupsi lainnya yang melibatkan orang orang tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Adanya perlakuan yang berbeda semakin menguatkan dugaan adanya ketidakadilan di mata masyarakat. Sungguh miris melihat perbedaan penanganan yang dilakukan negara terhadap berbagai dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi.
Penegakan Hukum dalam Sistem Sekuler
Sikap penegak hukum tampak jelas memperlihatkan adanya tebang pilih penegakan hukum.
Demikianlah gambaran penegakan hukum dalam sistem sekuler kapitalisme. Di mana yang kuat yang akan menang. Pihak yang kuat akan menang melawan hukum, sebab bisa jadi kemenangan ini mereka dapatkan karena ada hubungan kekerabatan, keluarga, persahabatan, hubungan bisnis, kelompok atau aspek serupa lainnya diantara mereka.
Bahkan, bisa jadi karena kedudukannya sebagai bangsawan atau pejabat, tokoh ataupun karena memiliki kedekatan dengan kekuasaan atau penguasa.
Di mana posisi atau kedudukan mereka membuat mereka bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum. Inilah cermin kekuasaan yang dapat memainkan hukum. Semua ini diakibatkan oleh penerapan sistem kapitalisme demokrasi liberal. Sistem ini menjadi penyebab utama munculnya bibit-bibit korupsi hingga membudaya di sebuah negeri.
Hal ini dikarenakan kapitalisme telah menjauhkan peran agama dari kehidupan. Agama hanya dijadikan simbol dan konsep ritual dalam kehidupan manusia dan dijauhkan dari aspek duniawi. Sehingga, agama tak dijadikan sebagai pandangan hidup.
Alhasil, aturan yang berlaku pun sarat dengan asas manfaat dan kepentingan golongan tertentu. Tak ada kontrol agama. Moral dan akhlak dikesampingkan. Selama mampu memperoleh keuntungan berupa materi sebanyak-banyaknya. Halal-haram diabaikan.
Hal ini semakin menguatkan bahwa dalam sistem kapitalisme sekuler kekuasaan tidak tunduk terhadap hukum, bahkan hukum bisa dipermainkan sesuka hati. Sesuai kepentingan mereka.
Korupsi tidak diberantas dengan tuntas, tetapi malah tebang pilih, padahal penegakan hukum harus terwujud jika ingin memberantas korupsi. Tidak boleh ada praktik tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.
Berantas Korupsi Hingga ke Akarnya
Dalam Islam korupsi dipandang sebagai perbuatan haram dan merupakan pelanggaran hukum syarak. Oleh karena itu negara wajib memberantas aktivitas korupsi hingga ke akar-akarnya. Namun, pemberantasan korupsi secara total tak akan mungkin bisa tercapai, selama sistem yang menjadi landasan negara adalah kapitalis sekuler.
Sebab, dalam sistem ini materi dan manfaat menjadi tujuan utama. Di samping itu, negara dijauhkan dari Islam. Dan sekulerisme sebagai asasnya, yakni pemisahan agama dari kehidupan telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sistem inilah yang menjadi salah satu akar persoalan korupsi.
Dalam Islam, untuk memberantas korupsi secara sistemik dan terintegrasi dapat ditempuh dengan melalui lima langkah. Pertama, menanamkan keimanan dan ketakwaan. Dengannya, siapa pun itu, pejabat atau rakyat akan tercegah untuk melakukan kejahatan termasuk korupsi.
Kedua, sistem penggajian yang layak sehingga tak akan ada yang melakukan korupsi. Ketiga, teladan dari pemimpin, sehingga tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Pemimpin memberi contoh yang baik, tentu akan diikuti oleh pejabat dan rakyatnya.
Khalifah ‘Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin ‘Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik baitul mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Keempat, penghitungan kekayaan pejabat. Pendapatan pejabat dan aparat hendaknya diungkap secara transparan hingga mudah diawasi. Selain itu, daftar dan catatan kekayaan pejabat dan aparat diperbaharui dan diaudit secara berkala.
Jika ada penambahan harta yang tak wajar, maka yang bersangkutan harus membuktikan bahwa hartanya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa, maka akan disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas negara.
Kelima, pemberian hukuman yang bisa memberi efek jera. Hukuman itu bisa berupa diekspos ke publik, denda, penyitaan harta dan pemiskinan, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak kejahatannya.
Demikianlah bagaimana Islam memberikan solusi tuntas dalam memberantas korupsi secara total. Tak ada solusi lain, selain menjadikan Islam sebagai landasan mengatur kehidupan. Sebab, hanya Islam yang mampu menutup pintu-pintu terjadinya korupsi. Wallahu a’lam.[]
Comment