RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Meskipun ada fatwa MUI untuk tidak melaksanakan salat Jumat, tapi Dewan Kemakmuran Masjid Agung Al Imam Majalengka tetap akan melaksanakan salat Jumat, pada siang nanti (20/3/2020).
Ketua DKM Al Imam, Drs H Abdul Gani MSi mengatakan pada prinsipnya pihaknya menghormati fatwa MUI. Namun, salat Jumat akan tetap dilaksanakan dengan tetap menjaga dan menghormati fatwa ulama dan arahan umara.
Gani mengimbau para jamaah untuk membawa sajadah masing-masing dan senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatan diri.
Sementara seorang jamaah Al Imam, Endang mengatakan sejak Selasa (17/3/2020) kegiatan kuliah subuh yang biasa rutin dilaksanakan di Masjid Agung Al Imam dihentikan sementara untuk mengantisipasi penyebaran virus corona.
Seorang jamaah Al Manar, H Obay Sobari S.Pd menyatakan adanya virus Corona jangan membuat umat Islam terlalu ketakutan dan menjauh dari ketaatan kepada Allah Swt. (Radar Majalengka, 19/3/2020)
Ustaz Yuana Ryan Tresna, dalam artikel beliau yang sangat panjang bagaimana Ketentuan Shalat Jumat dan Memakmurkan Masjid di Saat Wabah Penyakit Menular, beliau menuliskan bahwa sebagai seorang yang beriman hendaknya seorang Muslim memantapkan keimanannya.
Pada level keimanan, kita wajib mengimani bahwa Allah sajalah yang kuasa menghidupkan dan mematikan manusia. Semuanya ada dalam genggaman Allah, baik sakit maupun kesembuhan, baik kebaikan maupun keburukan. Orang beriman juga harus meyakini bahwa semua hal termasuk musibah datangnya dari Allah.
Oleh karena itu, Allah-lah tempat meminta segala sesuatu (lihat QS. Al-Ikhlas: 2). Saat di timpa musibah, setiap muslim wajib bersabar. Semua urusan ia serahkan kepada Allah. Inilah esensi tawakal, dan tawakal adalah domain keimanan yang tak boleh tergoyahkan sedikitpun.
Pada saat ditimpa musibah, kaum muslim harus bertaubat, meningkatkan ibadah, banyak berdoa, dan melaksanakan berbagai amalan nafilah lainnya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah SWT.
Namun demikian, pada tataran syariat, orang beriman harus memaksimalkan ikhtiar dalam menghadapi wabah penyakit, apalagi dalam kondisi sudah berubah dari epidemi menjadi pandemi. Orang beriman adalah mereka yang kokoh imannya dan total dalam ketaatannya, tak tergoyahkan keyakinannya dan maksimal dalam menghindari keburukan.
Di antara udzur shalat Jumat dan shalat berjama’ah adalah hujan yang dapat membasahi pakaiannya dan tidak diketemukan pelindung hujan, sakit yang teramat sangat, merawat orang sakit yang tidak terdapat yang mengurusinya, mengawasi kerabat (istri, mertua, budak, teman, ustaz, orang yang memerdekannya) yang hendak meninggal atau berputus asa, khawatir akan keselamatan jiwa atau hartanya, menyertai kreditur dan berharap pengertiannya karena kemiskinannya, menahan hadats sementara waktu masih lapang, ketiadaan pakaian yang layak, kantuk yang teramat sangat, angin kencang, kelaparan, kehausan, kedinginan, jalanan becek, cuaca panas, bepergian ke sahabat dekat, memakan makanan busuk setengah matang yang tidak bisa dihilangkan baunya, runtuhnya atap-atap pasar, dan gempa. (al-Hadrami al-Sa’di, al-Muqaddimah al-Hadramiyyah, hlm. 91)
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaran Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 sudah tepat. Beberapa ketentuan berdasarkan penjelasan para ahli fikih adalah sebagai berikut:
1. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zhuhur, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar;
2. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zhuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya;
b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun. Bisa juga dengan membuat jarak dalam shaf (para ulama membolehkan/shalatnya tetap sah, meski makruh). Demikian juga dengan shalat Jumat, bisa dilakukan dengan pembatasan dalam jumlah minimal (Seperti madzhab Hanafi minimal 3 orang, madzhab Maliki minimal 12 orang, madzhab Syafi’i minimal 40 orang, dst.);
3. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zhuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim;
4. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.
Itulah langkah terbaik saat ini. Fatwa terkait kegiatan ibadah di masjid sudah ada. Tinggal “fatwa” (kebijakan) untuk yang lainnya seperti buruh pabrik, karyawan swasta, pedagang pasar, dan lain-lain. Pemerintah harus berani mengambil sikap terbaik, apapun risikonya, demi menjaga jiwa rakyatnya. Artinya adalah harus adanya kebijakan yang tegas dan adil.
Satu hal yang penting adalah pemerintah harus jujur dan transparan terkait data. Jangan ada yang ditutup-tutupi, sehingga rakyat mendapat informasi yang akurat; mana yang tingkat penularannya tinggi dan mana yang rendah; dan apakah kondisinya masih terkendali atau tidak. Umat harus berani melakukan kontrol kepada penguasa, dan memberikan koreksi dalam buruknya penanganan (kebijakan) terhadap penyebaran wabah penyakit yang membahayakan rakyatnya. Karena agama (al-din) adalah nasihat, termasuk kepada penguasa.
Akhirnya, selain harus kembali kepada Allah dengan taubat baik secara personal maupun kolektif, kita wajib melakukan ikhtiar maksimal untuk menghindari dari wabah penyakit dan tidak menimpakan dharar kepada orang lain.
Kebijakan social distancing dan lockdown adalah salah satu ikhtiar tersebut. Perkara tersebut sudah dipraktikan oleh para shahabat dan tabi’in. Namun untuk lockdown, perlu kebijakan berani dari negara.
Wallahua’lam bishshawwab.[]
*Koordinator Media Kepenulisan Daerah
Comment