Oleh: Nurul Isda Fatonia Amd, Pemerhati Sosial
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Penderitaan rakyat belum selesai dengan isu covid 19 dengan varian yang semakin beragam, PHK, sulitnya lowongan pekerjaan ditambah tingginya tagihan listrik.
Sebelumnya masyarakat dibuat gembira dengan kabar subsidi listrik bagi pengguna daya 450 VA sampai dengan 900VA dan bisnis serta industri kecil hingga akhir Desember 2021.
Dilansir kompas.com, saat ini pemerintah bersama dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI berencana menerapkan kembali tariff adjustment (tariff penyesuaian) pada 2022 mendatang. Kementrian Energi dan Sumberdaya (ESDM) menyebut jika kondisi pandemic Covid 19 membaik, maka kemungkinan besar tariff adjustment ini akan di tetapkan kembali sesiau aturan awal pada 2022. Sebanyak 13 golongan masyarakat pelanggan listrik non subsidi perlu bersiap dengan kenaikan tariff TDL tahun depan.
Akar Masalah
Habis jatuh, tertimpa tangga, tersengat listrik pula. Begitulah gambaran kondisi rakyat hari ini yang dirundung masalah bertubi-tubi. Dari pandemi covid 19 yang belum usai, bencana dimana-mana, PHK meraja lela, bahan pokok yang serba mahal dan masih banyak penderitaan rakyat yang lain yang tak kunjung selesai.
Lonjakan tagihan listrik jelas memberatkan masyarakat, terlebih banyak pelanggan listrik yang ekonominya terdampak akibat pandemi Covid-19. Semula pihak pelanggan berharap akan memperoleh diskon tarif listrik di era krisis akibat Covid-19 namun faktanya justru terbalik dan lonjakan tarif semakin meningkat.
Sejatinya, pimpinan PLN sadar bahwa listrik merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat yang sudah menjadi hak dari pelanggan untuk mendapatkan pelayanan prima dari PLN. Tidak boleh dengan alasan wabah Covid-19 kemudian justru meminta para pelanggan untuk self service terkait dengan tagihan penggunaan listrik.
Ini menegaskan bahwa pemerintah tidak peduli terhadap kesulitan rakyat. Mengapa sektor strategis layanan publik tidak menyesuaikan pelayanan dengan pendekatan meringankan kesulitan yang dihadapi masyarakat di masa pandemi?
Indonesia dikenal sebagai negara kaya raya dengan segala potensi yang dimilikinya. Tidak ketinggalan potensi sumber energi yang melimpah ruah sebagai karunia dari Allah SWT. Sebut saja sumber energi fosil (minyak, gas dan batu bara). Namun sayang sebagian besar sumber energi primer ini ternyata digunakan untuk memenuhi kebutuhan negara lain. Menurut data Ditjen Migas tahun 2012 total produksi minyak bumi yang diekspor 56,84 %, gas bumi 59,3%, LNG 99,1% dan batu bara 65,4% (http://www.esdm.go.id/).
Ironisnya di balik gencarnya ekspor migas dan batu bara, Indonesia malah mengalami krisis listrik yang luar biasa. Krisis listrik di Indonesia bukan lagi kasus baru dan bersifat temporal, namun sudah kronis. Sebagian besar rakyat sudah terbiasa dengan penderitaan pemadaman listrik. Pemadaman tidak hanya bergilir bahkan sudah menjadi agenda rutin.
Satu per satu kebijakan yang tidak memyarakat dikeluarkan penguasa negeri ini dan semakin membuat rakyat terhimpit. Mulai dari tarif BPJS Kesehatan yang kembali naik di masa pandemi ini hingga melonjaknya tagihan listrik yang semakin menambah beban hidup rakyat. Begitu tega penguasa negeri ini membiarkan rakyat yang dengan susah payah memenuhi kebutuhan hidup di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi.
Biang dari permasalahan tarif listrik ini adalah akibat liberalisasi kelistrikan di negeri ini. Seperti diketahui, dalam UU Ketenagalistrikan No 20 Tahun 2002 dijelaskan bahwa badan usaha swasta boleh mendirikan usaha di bidang ketenagalistrikan.
Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas pengelolaan sumber daya alam negeri ini nyatanya hanya berfungsi sebagai regulator saja.
Dengan adanya badan usaha milik swasta, tak ubahnya seperti menciptakan pesaing bisnis bagi pemerintah sendiri. Ini sama saja bahwa pemerintah tidak ubahnya sebagai pedagang yang memiliki mindset mencari keuntungan. Jika demikian, maka tak ada jaminan rakyat dapat memperoleh haknya terhadap energi listrik dengan mudah dan murah, sebab dari hulu ke hilir paradigma pengelolaannya hanya berkutat pada perolehan keuntungan semata.
Kondisi memprihatinkan ini tentu tak akan pernah dialami ketika sistem Islam yang menjadi aturan hidup. Dengan sistem Islam, penguasa akan mampu mewujudkan perannya sebagai raa’in (pengurus) seluruh urusan rakyatnya. Hal ini disebabkan negara benar-benar diatur hanya berdasarkan hukum syara’.
Solusi Islam
Islam memiliki aturan yang paripurna, karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah SWT yang menciptakan manusia dan semesta alam ini. Dalam pandangan Islam, listrik merupakan milik umum, dilihat dari 2 aspek :
1. Listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ‘api (energi)’ yang merupakan milik umum. Nabi Muhammad saw bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi).” [HR Ahmad].
Termasuk dalam kategori api (energi) tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.
2. Sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara merupakan juga milik umum.
Dengan demikian, pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan pada pihak swasta apapun alasannya. Negara bertanggung-jawab, sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga murah bahkan gratis (jika memungkinkan). Untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim.
Penguasa akan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan hingga keamanan melalui mekanisme pengelolaan kepemilikan umum, termasuk di antaranya adalah kebutuhan listrik bagi rakyat. Wallahua’lam bish shawab.[]
Comment