Tapera, Tambahan Penderitaan Rakyat?

Opini326 Views

 

 

Penulis: Rizka Adiatmadja | Praktisi Homeschooling

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tapera yang artinya Tabungan Perumahan Rakyat seperti kelindan yang penuh ketidakpastian bahkan mayoritas orang mengatakan, jika Tapera artinya Tambahan Penderitaan Rakyat. Mungkin bagi PNS, dana Tapera ini bisa berkelanjutan dan berkesinambungan karena tidak dibayang-bayangi monster PHK. Bagaimana dengan buruh? Terlebih buruh kontrak, PHK mengintai setiap langkah. Jika PHK terjadi, alhasil ketidakjelasan dana tidak bisa ditawar lagi.

Dikutip dari sindonews.com –  Jokowi telah menandatangani PP No. 21/2024 yang mengatur tentang Perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam PP tersebut, gaji pekerja di Indonesia seperti PNS, karyawan swasta, dan pekerja lepas (freelancer) akan dipotong 3% untuk dimasukkan ke dalam rekening dana Tapera.

Pasal 5 PP No. 21/2024 menyebutkan bahwa peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar per 30 Mei 2024.

Dikutip dari sindonews.com – Nining Elitos sebagai Koordinator Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), mengungkapkan bahwa Tapera adalah beban tambahan dari banyaknya potongan gaji melalui pembiayaan iuran BPJS kesehatan, pensiun hingga jaminan hari tua.

PP ini menjadi polemik tak hanya di kalangan buruh, tentu pengusaha pun menolak pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5% dan 0,5% dari perusahaan guna membantu pembiayaan pembelian rumah.

Bahkan dikatakan bahwa Tapera ini menguntungkan pihak tertentu saja. Gaji para Komite BP Tapera diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2023 tentang Honorarium, Insentif, dan Manfaat Tambahan lainnya untuk Komite Tapera.

Dalam Pasal 2 PP tersebut, Komite Tapera tidak hanya berhak mendapatkan gaji bulanan. Pasal 2 ayat 2 meliputi, untuk posisi Ketua Komite Tapera yang jabatannya ex efficio dari unsur menteri sebesar Rp32,508 juta. Lalu besaran honorarium Komite Tapera unsur profesional sebesar Rp43,344 juta. Menteri lainnya yang menjabat anggota Komite Tapera secara ex efficio di BP Tapera mendapatkan gaji Rp29.257.200 per bulannya. (29 Mei 2024)

Pemotongan 3% gaji bagi pegawai tentulah sangat memberatkan. Nominal gaji yang didapatkan tentu akan semakin berkurang. Tanpa Tapera pun, gaji pegawai sesungguhnya sudah dikebiri sejak lama. Dengan beragam tagihan yang mutlak harus ditunaikan.

Seperti pajak penghasilan (5–35%), jaminan hari tua (2%+3,7% perusahaan), jaminan pensiun (1%+2% perusahaan), jaminan kematian (0,3%), BPJS kesehatan (1%+4% perusahaan), dan Iuran Tapera (2,5% dan 0,5% oleh pemberi kerja). Jika diibaratkan dengan peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tak bisa dimungkiri beban finansial semakin hari semakin fatal.

Pemangkasan demi pemangkasan yang sudah pasti bisa melahirkan masifnya keputusasaan. Di sela kebutuhan dan biaya hidup yang semakin meningkat, kesejahteraan semakin semu, ditambah lagi dengan Tapera yang tak ubahnya menjadi labirin ketidakpastian bagi pekerja kecil yang semakin merasa kerdil.

Sejatinya, negaralah yang harus menyediakan kebutuhan papan/perumahan untuk rakyatnya, bukan menguras gaji yang tak seberapa menjadi nyaris tiada. Bahkan indikasi lahan baru korupsi ini bisa ditemukan di program Tapera.

Mirah Sumirat sebagai Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) mengatakan jika Tapera bisa saja bernasib sama dengan BPJS Ketenagakerjaan.Tidak signifikan memberi kebermanfaatan. Bahkan korupsi BPJS terjadi di Asabri, Jiwasraya, dan Taspen. Dengan mengendapnya dana Tapera dalam kurun yang begitu panjang, siapa yang mampu menjamin jika dana tersebut tidak ada yang memanfaatkan? Di situlah kemungkinan besar korupsi biasanya berbicara.

Jika Tapera disebutkan sebagai dana tabungan, seharusnya ada gambaran transparan dan konsekuensi yang jelas terkait lokasi, bentuk, jarak, dan segala hal yang berhubungan dengan bangunan rumah tersebut. Jangan sampai mengumpulkan uang rakyat–yang jelas dihasilkan dari jerih payah yang luar biasa berat–dialokasikan ke hal-hal yang tidak jelas dan mencurigakan.

Terlebih dana tabungan atau menabung itu tidak perlu ada paksaan, apalagi sampai memotong gaji sebagai wasilah utama menutupi kebutuhan finansial masyarakat tanpa merundingkannya dengan benar.

Tapera adalah satu bentuk kerancuan yang dilahirkan oleh sistem perekonomian kapitalisme. Pemerintah tampaknya tidak peduli dengan beban rakyat–yang semakin menjerat leher–karena hanya potensi keuntungan yang ada dalam hitungan.0 untuk memperkaya beberapa pihak yang berkepentingan, dengan mengabaikan banyaknya penderitaan rakyat.

Sistem perekonomian Islam, tentunya berkebalikan dengan sistem perekonomian kapitalisme. Pemerintahan dalam sistem Islam memiliki politik penyediaan rumah tanpa harus menzalimi rakyat. Setiap pemangku jabatan karena kesadarannya sebagai pemimpin berarti mengurus dan bertanggung jawab terhadap rakyat. Terlebih ketakwaan yang menjadi dasar kepemimpinan sehingga tanggung jawab akan diemban sepenuhnya.

Termasuk keberadaan rumah yang urgen bagi rakyat bahkan menjadi kebutuhan dasar karena rumah adalah tempat berlindung dan bercengkerama dengan keluarga, tempat menemukan rasa nyaman dan aman. Negara harus paham akan urgensi rumah sebagai kebutuhan primer.

Di dalam Islam, pemerintah bukanlah petugas pencatat dana rakyat, tetapi penyelenggara utama yang harus menyediakan kebutuhan papan bagi rakyat tanpa bayaran wajib yang memberatkan.

Telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma’ruf, dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Wahab, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Harmalah, dari Abdurrahman bin Syimamah, dia berkata, saya mendatangi Aisyah, istri Nabi ﷺ, saya bertanya kepadanya mengenai sesuatu.

(Aisyah), “Saya kabarkan kepadamu dengan apa yang saya dengar dari Rasulullah ﷺ di rumahku, beliau bersabda, ‘Ya Allah, barang siapa yang mengurusi suatu perkara dari umatku, tapi justru memberatkan bagi mereka, maka beratkanlah dia. Sebaliknya, barang siapa yang mengurusi perkara dari umatku lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka baikilah kepadanya.” (HR. Ahmad No. 23481, sanad sahih menurut Syu’aib al-Arna’uth).

Pemerintah Islam mengupayakan kemudahan bagi rakyat. Dengan menyediakan lahan murah agar rakyat bisa membangun rumah tanpa beban. Jika pun ada subsidi, pemerintah akan memberikan rumah yang benar-benar layak. Mekanisme pemenuhan kebutuhan rumah dalam sistem Islam ada tiga.

Hal pertama adalah negara akan memerintahkan untuk bekerja terutama kepada pencari nafkah (kaum adam) tentu dengan dibukanya lapangan kerja yang luas, lahan, bahkan modal. Sehingga perintah dan fasilitas yang ada saling mendukung. Bahkan bukan hanya untuk kebutuhan primer saja, kemungkinan besar rakyat bisa memenuhi kebutuhan sekunder hingga tersiernya.

Ketika kemampuan manusia berbeda-beda, adakalanya sebagian orang mampu bekerja hingga bisa membuat rumah yang layak bahkan mewah, ada juga yang penghasilannya sedikit karena keterbatasan kemampuan, bagaimana solusi dalam sistem Islam? Jawabannya, tentu negara akan mengingatkan bahwa yang berkewajiban utama adalah kepala keluarga, ahli waris, dan kerabat.

Jika mekanisme pertama dan kedua tidak bisa dijalankan dengan maksimal, lantas langkah apa yang harus diambil? Selanjutnya, tentu menjadi kewajiban negara yang harus bisa menyediakan rumah. Bisa diambil dari harta negara atau kepemilikan umum mengacu pada ijtihad atau pendapat yang tentunya untuk kemaslahatan umat.

Maka, khalifah (kepala negara) bisa menjual tunai ataupun cicil dengan harga yang tidak mencekik rakyat. Bisa juga mengakadkan sewa atau bahkan meminjamkan bahkan menghibahkan kepada orang yang membutuhkan sehingga tidak ada lagi derita berkepanjangan bagi individu yang tidak bisa menempati rumah.

Sama sekali, negara tidak pernah meninggalkan. Di semua mekanisme negara senantiasa terlibat dalam mengurusi urusan dan kebutuhan rakyat. Termasuk dalam sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Tak akan ditemukan penguasa zalim yang membiarkan rakyat tanpa tempat bermukim.

Kesejahteraan yang diharapkan oleh rakyat hari ini hanya akan terwujud dalam sistem Islam yang memiliki syariat untuk mengatur seluruh urusan umat termasuk sistem ekonomi Islam yang sanggup memberi dan menjamin kesejahteraan rakyat. Wallahu a’lam bisshowab.[]

Comment