Penulis: Nelliya Azzahra | Novelis
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kebijakan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Simpanan Tapera ini mengharuskan adanya potongan gaji bagi pekerja sebesar 2,5% tiap bulannya dan berlaku wajib bagi PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, swasta, hingga pekerja mandiri Yang ibayarkan paling lambat tanggal 10 setiap bulannya.
Meskipun tidak dilaksanakan tahun ini, Basuki memastikan bahwa iuran Tapera tidak bersifat sukarela karena UU 4/2024 menyebutkan bahwa iuran bagi peserta, bersifat wajib. Dilansir dari (Tirto, 6-6-2024).
Penolakan atas kebijakan ini bukan saja dilakukan oleh pekerja namun juga oleh perusahaan pemberi kerja. Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga merasa keberatan. Namun, alih-alih mendengarkan dan mempertimbangkan penolakan rakyat, kenyataannya kebijakan ini tetap saja dijalankan.
Tujuan agar memudahkan rakyat memiliki rumah ternyata malah menambah beban ekonomi rakyat.
Sebelumnya, gaji pekerja dan pegawai sudah dipotong dengan beraneka pajak dan iuran. Seperti pajak penghasilan, BPJS kesehatan, jaminan pensiun, dan jaminan hari tua. Ditambah lagi potongan iuran Tapera. Maka gaji tersebut akan semakin mengerucut karena dipangkas berkali-kali. Sisa gaji itulah yang nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga hidup rakyat kian susah.
Selain itu, prinsip gotong royong dalam Tapera ini kurang tepat. Jika memang prinsipnya gotong royong lantas mengapa diwajibkan? Sedangkan gotong royong dilakukan atas kerelaan yang memberikan pertolongan. Tanpa paksaan. Padahal tempat tinggal atau rumah adalah kebutuhan mendasar bagi manusia yang wajib dipenuhi. Negara harus memperhatikan terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab memenuhi dan memastikan rakyat hidup sejahtera.
Namun, faktanya dengan kebijakan Tapera ini rakyat dipaksa memenuhi kebutuhan tersebut dengan konsep gotong royong. Melalui Tapera, rakyat dipaksa saling menanggung, baik yang mampu maupun yang tidak mampu.
Sedangkan negara hanya menjadi regulator dan fasilitator. Melihat Tapera sendiri dikelola oleh pengembang dari Tapera tersebut bukan oleh negara.
Negara tidak boleh berlepas tangan. Tapera ini bukti bahwa penguasa berlepas tangan dari tanggung jawab mengurusi urusan rakyat. Penguasa itu adalah raa’in (pengurus), mas’ul (yang bertanggung jawab), dan junnah (pelindung) rakyat. Tidak boleh membebankan dan menyerahkan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tugasnya untuk dipenuhi namun dialihkan ke rakyat.
Maka semestinya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara tanpa kompensasi, tanpa iuran wajib. Semua ditanggung negara.
Selain itu, penguasa juga meliberalisasi pengelolaan kebutuhan rakyat ke tangan swasta. Padahal syariat menegaskan bahwa negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya kepada individu atau pihak tertentu. Pengalihan tanggung jawab merupakan bentuk kelalaian dalam menjalankan amanah.
Negara seharusnya peduli pada urusan rakyat tanpa mengambil keuntungan apapun dari mereka. Memberikan solusi atas permasalahan rakyatnya dengan solusi tepat dan mampu menyelesaikan masalah.
Setiap orang pasti menginginkan tempat tinggal. Tidak sampai disitu saja, perlu diperhatikan kelayakan dan kenyamanan dari rumah tersebut. Dalam Islam, pemimpin itu hadir memberi layanan sebaik mungkin.
Islam justru mewajibkan negara untuk membantu rakyat agar mudah mendapatkan rumah dengan mekanisme dan menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah, baik rumah pribadi maupun rumah sewaan.
Kemudian negara memberikan harga rumah dengan harga terjangkau sehingga rakyat tidak kesulitan membelinya. Jika rakyat benar-benar tidak mampu membelinya maka negara akan memberikan secara cuma-cuma. Sehingga tidak ada lagi orang yang tidak memiliki rumah. Tidak ada lagi tunawisma yang berkeliaran. Tidur di kolong jembatan atau emperan toko dan sebagainya.
Negara tidak akan memungut pajak bumi dan bangunan, pajak jual beli tanah dan rumah, retribusi, biaya administrasi, iuran kebersihan, listrik, dan pungutan lain yang bisa memberatkan rakyat. Maka kemaslahatan dapat tercapai dalam sistem seperti ini. Itu hanya berlaku jika semua itu dijalankan sesuai syariat Islam sebagai rahmatan lil aalamiin. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment