Oleh: Aisyah Karim, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
————–
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Racun Sianida dengan motif asmara kembali mengambil korban. Kasus sate beracun di Bantul, Yogyakarta yang melibatkan wanita muda pengirim takjil beracun mengisi laman-laman media sosial. Polisi berhasil menangkap Nani Apriliana Nurjaman (25) si pengirim takjil yang akhirnya menewaskan Naba Faiz Prasetya (9), warga Salakan, Kalurahan Bangunharjo, Kapanewon Sewon, pada Jumat 30 April 2021.
Peristiwa itu berawal pada 25 April sekitar pukul 15.30 WIB di wilayah Gayam Mandala Krida, Yogyakarta. Seorang pengemudi ojol didatangi perempuan tidak dikenal dan meminta bantuan mengirimkan dua dus makanan, satu berisi satai ayam, satu berisi snack.
Ketika meminta dikirimkan ini yang bersangkutan mengatakan tidak punya aplikasi ‘online’, sehingga minta dengan cara ‘offline’ ke alamat tertentu di daerah Kecamatan Kasihan, Bantul, dengan mengatakan bahwa makanan tersebut berasal dari Pak Hamid di Pakualaman.
Setelah terjadi kesepakatan, makanan di antar ke tempat tujuan, namun karena yang ada di rumah tujuan tersebut merasa tidak memesan makanan, maka ditolak untuk diterima, dan oleh tukang ojol karena makanan ditolak dibawa pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, makanan sebagian disantap oleh istrinya dan ada yang dimakan anaknya yang besar dan kecil. Salah satu anak bernama Naba langsung keracunan dan meninggal seketika (okezone.com 3/5/2021).
Melalui penyidikan Nani mengakui takjil tersebut telah dibubuhkan kalium sianida (KCN) jenis padat. Polisi menyebut alasan Nani mengirimkan sate beracun itu karena sakit hati pada suami sirinya, Tomy, akibat ditinggal menikah dengan perempuan lain. Atas perbuatannya, pelaku dijerat pasal 340 KUHP Sub Pasal 80 ayat (3) Jo Pasal 76c Undang-undang Nomor 35 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Benarlah kata pepatah, love is blind, cinta itu buta. Cinta menyebabkan seseorang tak dapat berpikir logis dan rasional. Cinta terkadang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang “tidak normal”. Perselingkuhan, perdukunan bahkan pembunuhan, tak jarang mengiringi kisah cinta manusia. Jadi benar cinta itu buta, kan?
Tunggu dulu, ada kisah cinta yang lain, realitasnya dalam kehidupan yang serba sulit ini masih sangat banyak orang yang meski dilanda cinta, mereka tetap stabil dan baik-baik saja. Cinta tak menjadikan mereka buta. Mata dan pikiran mereka masih normal sehingga dapat berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat.
Bukan hanya tidak dibutakan oleh cinta, bahkan tidak sedikit orang yang dengan semangat cinta justru menyuguhkan kepada kita episode kehidupan yang heroik. Karena cintanya kepada anak yang dikandungnya, seorang ibu bersedia mengorbankan diri demi keselamatan anaknya. Karena cintanya kepada Nabi, Nusaibah Ummu Imarah rela menjadi perisai Nabi ditengah kecamuk Perang Uhud. Pertanyaannya, bagaimana kita memaknai cinta agar tidak membutakan mata ?
Muhammad Rahmat Kurnia dalam bukunya Inspiring Love menyampaikan bahwa Al `Alamah Abi Fadhl Jamalud Din Muhammad bin Mukram menuliskan dalam kamusnya al hubb (cinta) artinya lawan dari benci.Al hubbb berarti pula al wadad dan al mahabbah. Semuanya berarti cinta (lisan al Arab jilid 1 halaman 289). Cinta berarti pula kecenderungan alami pada sesuatu yang lezat, enak, nyaman, suka, dan senang. Walhasil cinta merupakan kecenderungan dan rasa; baik rasa suka, sayang, terpikat, ingin, rindu, pengharapan, sedih dan ingat dari pecinta kepada yang dicintai.
Namun sering kali seseorang terjebak pada khayalannya sendiri, ia menganggap mencintai sesuatu, berjuang untuknya, tapi sebenarnya apa yang ia cintai itu adalah suatu keburukan yang dianggap kebenaran. Hal ini wajar bila mengingat tolak ukur persepsi ini adalah logika atau bahkan hawa nafsu. Allah SWT berfirman;
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (TQS. Al-Baqarah : 216).
Oleh karena itu tidaklah layak bagi manusia menjadikan logikanya sebagai tolak ukur kebenaran. Lalu kepada siapa standar kebenaran disandarkan? Tentu saja kepada wahyu. Hukum syariah adalah tolak ukur perbuatan manusia, termasuk dalam soal cinta mencintai. Segala bentuk cinta yang dibenarkan oleh syara` adalah benar. Sebaliknya, semua cinta yang dilarang oleh syara` adalah keliru.
Nah, apa yang membedakan cinta yang satu dengan cinta yang lain? Hasan al Banna menjelaskan bahwa cinta itu ada tiga macam, yakni pertama, mahabbatul ulya (cinta yang tinggi), cinta ini menempatkan Allah melebihi apapun, seperti yang ditunjukkan oleh para Nabi dan Rasul. Kedua, mahabbatul wustha (cinta menengah) yaitu cinta yang bisa menempatkan cintanya kepada anak, istri, harta, kedudukan atau yang lainnya dihadapan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika kita mencari harta dengan cara yang halal, kemudian memperolehnya lalu dibelanjakan di jalan yang halal juga, ini berarti kita telah menempatkan cinta kita kepada harta secara benar. Inilah gambaran cinta pertengahan.
Ketiga, mahabbatul adna (cinta yang rendah). Yaitu cinta yang sekadar mengikuti hawa nafsu, seperti yang ditunjukkan oleh kisah takjil sianida ini. Atau seperti para koruptor yang begitu cinta pada harta dan ingin mendapatkannya tanpa mengindahkan halal dan haram, atau para pezina yang memburu kenikmatan jasadiah.
Sayangnya, mahabbatul adna kini merupakan fenomena, terjadi dimana-mana. Hal ini disebabkan peradaban yang sedang menaungi manusia adalah peradaban meterialistik yang bersandar pada paham materialisme. Dalam persfektif cinta, paham ini berfokus pada cinta yang berlebihan kepada bendawi. Sementara Tuhan sama sekali tidak dilibatkan. Dalam peradaban materialitik spritualisme tidak dijadikan epicentrum.
Oleh sebab itu menjadi kewajaran jika acapkali cinta justru menjerumuskan, tersebab peradaban materialistik di naungi oleh aspek kebebasan. Siapa saja boleh mencintai dan mewujudkan perasaannya secara bebas hingga mengambil korban atau menimbulkan kerugian pada orang lain. Inilah cinta yang menipu.
Lalu bagaimana wujud cinta hakiki? Cinta hakiki adalah cinta yang tidak hanya sebatas duniawi namun menembus langit, yaitu cinta dengan paradigma akhirat. Bukan hanya mahbub dan cara mencintainya yang dibenarkan secara syar`iy, landasan pelaku melakukannya pun semata-mata karena Allah SWT. Ringkasnya mencintai suami sekedar memenuhi cinta itu dengan memiliki dan membersamai hanyalah merupakan cinta semu. Cinta yang hanya sebatas duniawi sekadar memenuhi kebutuhan materilnya.
Cinta hakiki kepada suami (pasangan) terjadi apabila cinta itu dilandasi hukum syariah, untuk sama-sama meraih ridha Allah SWT. Cinta tersebut dijalankan dengan tulus ikhlas semata-mata melaksanakan ketaatan kepada Allah. Cinta ini tidak akan pernah menjerumuskan, sebaliknya akan berlangsung dengan penuh berkah. Untuk itu amat sangat penting mengubah dorongan, dasar, landasan, paradigma dan tujuan mencintai semata-mata karena Allah saja dan menjalankannya sesuai dengan tuntunan syariah.[]
_____
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.
Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.
Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.
Comment