Oleh: Ummi Cahaya, S.Pd, Mom Preneur, Aktivis Islam
________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tak ada habisnya rekam jejak kasus hilang nyawa dalam percintaan kaum remaja. Tidak pula kalah heboh dengan tahun lalu ketika viralnya sebuah thread lewat dunia maya tentang gadis bernama Novia yang sengaja meminum racun dan wafat di atas pusara ayahnya seperti ditulis laman opini Radar Indonesia News Beberapa waktu lalu.
Kali ini berita duka dari Kabupaten Bantaeng tepatnya di pemandian Eremerasa, telah ditemukan jenazah siswi SMA dengan jasad yang dipotong menjadi dua bagian pada 11 September 2022 lalu.
Korban yang berinisial M ini telah menghilang dan dicari pihak keluarga sejak 1 September alias sepuluh hari sebelum korban ditemukan.
Dilansir laman Tribunnews.com, Kepala Polres Bantaeng, AKBP Andi Kumara membenarkan kejadian tersebut dan telah menangkap pelaku yang ternyata adalah pacar korban.
AKBP Andi mengungkap, motif kasus ini karena pelaku cemburu kepada korban. Korban mengaku telah memiliki pacar baru saat cekcok dengan pelaku.
“Pelaku sempat mencium korban dan mengajaknya berhubungan badan, namun ditolak dengan alasan sedang menstruasi,”
Penolakan korban ini semakin membuatnya naik pitam hingga terjadilah aksi pembunuhan hingga pemutilasian. Bak kerasukan setan, ia merasa kurang puas ketika pacarnya sudah tidak bernafas dan tewas di tangannya namun ingin menambah siksanya dengan memotong kakinya lagi.
Ternyata Tahun ini Banyak Kasus Serupa
Februari lalu Kapolresta Deli Serdang Kombes Irsan Sinuhaji di Mapolresta Deli Serdang, Senin (7/2/2022) menangkap pelaku pembunuhan. Remaja berinisial MSB (16), membunuh pacarnya sendiri IP (19).
Namun sebelum melakukan aksinya, korban sempat diajak jalan-jalan hingga ke area persawahan dan melakukan hubungan badan. Setelah hajat dua sejoli usai pelaku malah membenamkan kepala korban dalam kubangan air berkali-kali sampai ia mati.
Di Kecamatan Sukowono, Jember, Kepolisian Resor Jember Jawa Timur merekonstruksi kasus pembunuhan sadis yang dilakukan seorang pria kepada kekasihnya dengan cara dicekik pada Kamis (17/3/2022). Pelaku yang bernama Yudha memperagakan 31 adegan pembunuhan secara detail, mulai dari masuk rumah korban melewati jendela kamar, memeriksa lemari korban, bersembunyi di balik gantungan pakaian, mencekik dan menyumpal mulut korban, hingga memastikan korban tewas.
Tak kalah mengerikan, sesosok mayat perempuan tanpa baju ditemukan di bantaran Kali Cikeas, belakang Perumahan Citra Grand, Jatikarya, Jatisampurna, Kota Bekasi, pada Rabu (20/7/2022). M mengajak kedua rekannya, yakni B dan D, untuk merencanakan pembunuhan terhadap korban.
Dalam menjalankan aksinya, Pelaku M terlebih dahulu berhubungan badan dengan korban. Setelah itu, B dan D datang dan membantu M menghabisi nyawa korban.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan mengatakan “M mencekik dan menyumpal mulut korban, dan menduduki dada korban. Dia dibantu B dan D yang memegangi kaki korban. Mereka sempat main PlayStation sampai jam 03.00 WIB dini hari, lalu membuang jasad korban di Kali Cikeas,” ucap Zulpan.
Motifnya tak jauh beda dengan kasus lain yaitu lantaran sakit hati dan tak terima cintanya diputuskan. Masih banyak lagi kisah serupa yang terjadi di tahun ini. Kiranya cukup menggambarkan pada kita potret remaja yang rapuh hatinya namun nekat aksinya.
Hilang Nyawa dan Masa Depan, Apa Sebabnya?
Bagi korban mungkin urusan di dunia selesai, tinggallah keluarga yang berseteru demi menuntut keadilan. Meski demikian raga tetaplah akan disemayamkan karena hayat tak lagi dikandung badan. Akan tetapi bagi pelaku sendiri, masa depan otomatis gulita ketika aksinya terendus pihak berwenang.
Jika dipetakan, setidaknya ada beberapa point yang dapat dijadikan perhatian
1. Pola asuh keluarga yang salah.
Keluarga sebagai sekolah pertama anak tidak lagi menanamkan nilai-nilai yang mampu membuatnya bisa membedakan salah benar berikut pengelolaan emosi dan pelampiasan amarah. Bahkan mayoritas kenakalan remaja dilatarbelakangi statusnya sebagai ‘broken home’ atau meskipun keluarganya utuh, ia tak merasa seperti diasuh dan dikasihi. Orangtua masa kini juga terhimpit ekonomi hingga terpaksa menyibukkan diri memburu rupiah setiap hari.
2. Pendidikan sekuler tidak menghasilkan kaum terpelajar berakhlak mulia.
Bahkan sekolah hari ini hanya melihat prestasi siswa dengan nilai di atas kertas. Guru dituntut untuk menghabiskan pokok bahasan dengan durasi terbatas. Murid juga dituntut menguasai segala mata pelajaran. Tanpa mendalami dan memaknai setiap materi lalu dikaitkan dengan pola pikir dan pola sikap yang benar.
3. Fenomena hubungan di luar nikah (pacaran) sudah dianggap biasa dalam sosial masyarakat
Psikolog Tika Bisono mengatakan, Di Indonesia, katanya, peristiwa hamil di luar nikah serta praktik aborsi pada anak di bawah umur cukup banyak jumlahnya. Hubungan seks pranikah di Indonesia sudah berkembang sebagai sesuatu yang dianggap biasa pada hubungan pacaran,”
Artinya, masyarakat pun tidak lagi menganggap pacaran sebagai masalah sosial yang harusnya terlarang.
4. Sulitnya institusi menjatuhkan hukuman pada pelaku yang di mata hukum positif Indonesia masuk kategori “di bawah umur”.
Misalnya dalam mendefenisikan anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 angka 1 mengatakan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Usia yang masih dipandang anak-anak inilah yang membuat proses hukum amat diminimalisir mengingat banyaknya pertimbangan dari segi kemanusiaan dan mengedepankan jalur damai jika memungkinkan.
Misalnya dalam pasal 21 ayat 1 dijelaskan bahwa dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali kepada orang tua/wali; atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Khusus untuk kasus berat yang diancam 10 tahun atau hukuman mati, barulah diambil tindakan badan (kurungan). Sebab pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya akhir.
sejak tahun 2011 sampai 2019, jumlah kasus ABH (Anak yang Berhadapan dengan Hukum) yang dilaporkan mencapai 11.492 kasus. Laporan hasil respon kasus Sakti Peksos Kementerian Sosial RI sepanjang tahun 2020 juga menunjukkan bahwa kasus anak yang paling banyak ditangani ialah kasus ABH yaitu anak pelaku atau korban kekerasan seksual.
Selain itu, berdasarkan data dari dashboard Aplikasi SIKS-NG per tanggal 15 Juni 2021, data ABH yang berada dalam binaan LKSA berjumlah 2.614 anak. Data tersebut membuktikan bahwa kasus ABH di negeri ini masih cukup tinggi. (lih:suspensos.kemensos.go.id).
Cara Islam Mengatasi Masalah Mulai Akar Hingga Daun
Saya teringat pepatah lama yang mengatakan bahwa “pikir itu pelita hati”. Banyak orang yang ‘gelap mata’ karena punya masalah dalam pemikirannya. Gelap dan rapuh sekali hatinya hingga melakukan aksi kriminal yang membahayakan bahkan menghabisi nyawa orang lain. Nahasnya ini dilakukan oleh Remaja yang masih dipandang sebagai ‘anak’ di mata hukum positif.
Islam adalah agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan dan sangat serius dalam melakukan tindakan preventif apalagi kepada anak-anak. Ada beberapa aspek yang harusnya diterapkan:
1. Keluarga
Keluarga harusnya menjalankan fungsi tarbiyahnya, yaitu mendidik seluruh anggota keluarga khususnya anak untuk mengamalkan pedoman hidup mereka (Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW). Orang tua adalah tokoh utama dibalik keberhasilan ataupun kegagalan itu. Oleh karenanya menyandang status orangtua tidak hanya sebatas memberi kelahiran di dunia pada anak. Namun ilmu yang mumpuni dalam mengasuh agar bertanggungjawab menjadikannya manusia tagguh yang baik pola pikir maupun sikapnya.
2. Pendidikan Berbasis Aqidah
Pelajar harus dibimbing untuk memahami hakikat penciptaan manusia. Hal ini akan mengantarkan mereka pada keimanan atas keberadaan Sang Pencipta, hingga mereka memahami bahwa sebagai hamba Allah harus beribadah dan tunduk patuh terhadap syariat-Nya. Beberapa konsep syariat yang bisa mencegah aktivitas pacaran yang terus memakan korban:
Pertama, menjaga interaksi murid yang berlainan jenis. Ketika di rumah mendapat bimbingan orangtua dalam berperilaku, maka di sekolah pun harus selaras yaitu tidak mendukung apapun aktivitas yang mengarah pada ‘virus merah jambu’. Caranya bisa dengan memisahkan tempat duduk, melarang aktivitas berdua-duaan (khalwat), dan memahamkan ananda agar secara mandiri dapat membatasi interaksi yang tidak dibutuhkan.
Kedua, siswa/i dipahamkan untuk saling menjaga pandangan serta auratnya. Sejatinya ketika seseorang sudah mencapai usia baligh, ia telah terkena taklif yaitu beban syarak yang mewajibkannya menerapkan hal-hal yang telah dibatasi dalam hukum Islam. Karena telah sempurna akalnya, Al-Quran dalam Surah an-Nur ayat 30-31 menyerukan bahwa mukmin laki-laki maupun perempuan harus menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya.
Jangan sampai melakukan pergaulan bebas. Syahwat yang tidak dipenuhi dengan benar menyebabkan rentetan kasus cinta remaja berujung maut. Na’udzubillah!
ketiga, masyarakat secara kolektif harus menerapan ‘amar makruf nahi munkar’, yaitu saling menasihati apabila ada kemaksiatan yang terjadi. Tidak saling segan ketika hendak mencegah perbuatan amoral remaja bahkan saling bantu untuk membinanya menjadi pribadi yang lebih baik. Jika bisa dirangkul, mengapa harus dipukul?
Keempat, negara menegakkan hukum yang adil bagi pelaku kejahatan apalagi sampai merenggut kehormatan dan nyawa seorang wanita. Dalam kacamata syariah orang yang sudah baligh tidak lagi dipandang sebagai anak-anak.
Akal yang sudah sempurna menandakan mereka telah dewasa dan mampu menimbang perbuatan baik atau buruk. Maka apabila sudah terjadi pelanggaran, seperti menyetubuhi, harus ada efek jera bagi dirinya sesuai dengan aturan Islam.
Misalnya penerapan hukum dera yang disaksikan oleh khalayak agar menjadi cambuk bagi masyarakat untuk tidak melakukan kebiadaban serupa. Apalagi setelah menunaikan hajatnya ia malah membunuh korban, bimbingan dan pendekatan berupa penyuluhan dan aksi sosial terlalu ringan untuk perbuatan keji yang demikian. Ini hanya akan menambah jumlah pelaku dan korban.
Memang, ketika sanksi tegas ingin diberlakukan sering kali kita berhadapan dengan 3 huruf sakral yang selalu dibawa-bawa saat ini, HAM! Padahal jika ditanya, cukup manusiawikah melakukan perzinaan di luar pernikahan?
Cukup manusiawikah kecemburuan mengakibatkan seorang remaja melakukan pembunuhan?. Padahal jika melakukan perandaian, apabila yang menjadi korban adalah anaknya sendiri tentu tak akan sanggup melihat pelaku diberi hukuman ringan dan dapat menghirup udara bebas dalam kurun waktu singkat.
Manusia adalah makhluk berakal, bukan hewan yang bisa menunaikan birahi kapanpun ia suka atau membunuh lawan ketika berebut makanan persis hewan liar di hutan.
Khatimah
Pacaran bukanlah ekspresi cinta. Ini hanya mukaddimah hubungan syahwat sebelum melakukan aktivitas inti. Yaitu merenggut kehormatan yang mulanya coba-coba lalu kemudian muncul adiksi yang membuat seseorang nekat melanggar norma.
Ketika tersulut emosi, remaja yang sudah rusak pemikirannya ini akan melakukan aksi yang lebih nekat lagi. Mengancam, menganiaya pacarnya bahkan sampai menghilangkan nyawanya. Cukuplah kisah di atas menjadi pembelajaran agar seluruh elemen masyarakat lebih memperhatikan fenomena sosial dan mencegah kemaksiatan dengan menerapkan Islam secara kaffah. wallahua’lam. []
Comment