Oleh: Muthi’ah S.TP., M.P*
___________________________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA— Kabar impor membanjiri negeri. Bukan hanya impor beras, ikan, gula, kedelai, tetapi juga garam. Sungguh ironis.
Dilansir dari kompas.com (19/03/2021) pemerintah kembali membuka keran impor garam. Sebanyak 3 juta ton garam telah dipesan pada 25 Januari 2021. Jumlah ini akan menjadi rekor baru pemerintah sepanjang sejarah Indonesia, di mana impor tertinggi sebelumnya terjadi di tahun 2018 yang mencapai 2,839 ton (UN Comtrade).
Impor terus dilakukan untuk menutupi kekurangan produksi sekitar 2,1 juta ton, sementara kebutuhan yang ada mencapai 4,67 juta ton dan untuk cadangan ditahun selanjutnya. Secara kuantitas masih kurang. Sedangkan secara kualitas, kandungan NaCl (Natrium Klorida) garam petambak tak masuk kriteria garam industri.
Miris, padahal Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah lautannya mencapai 3,25 juta km2 melebihi luas daratan yang hanya sekitar 2,01 juta km2. Memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia mencapai 54,7 ribu km (kkp.go.id).
Bisa dibayangkan betapa besar potensi negeri ini. Jika hanya untuk memproduksi garam pastilah sangat mampu.
Jika terus begini siapa lagi yang merugi, kalau bukan petambak garam. Padahal masih ada sisa stok 800 ribu ton garam petambak yang tidak terserap ditahun sebelumnya. Bisa dibayangkan derita para petambak. Mereka harus bersaing dengan garam impor yang secara kualitas lebih tinggi dan lebih diminati industri. Padahal pasar utama pembeli garam terbesar adalah industri manufaktur yang mencapai 3,9 juta ton (ekonomi.bisnis.com).
Wajar saja, jika harga garam petambak pernah menyentuh Rp150/kg ditahun 2019 dan Rp 400/kg di tahun 2020. Harga terbaik kisaran Rp1500/kg saat impor ditekan.
Akhirnya penurunan produksi tak bisa dihindari. Banyak petambak Banting setir. Ada sekitar 5-10 persen petambak peralih pekerjaan menjadi kuli bangunan yang dinilai lebih menguntungkan dari pada menggarap lahan garamnya.
Alih-alih membuat kebijakan sistematis memenuhi garam industri, keputusan impor garam sesuai UU Cipta Kerja pemerintah justru membatalkan target swasembada yang direncanakan tahun 2022. Seolah mengabaikan jeritan petambak garam yang panen melimpah tetapi tak laku di wilayah lokal.
Petambak yang bertahan kian pupus harapan akibat ketidakpastian penjualan garam. Sungguh tidak adil. Bagai sebuah pribahasa, itik mati di lumbung padi.
Kebijakan yang ada lebih condong menguntungkan industri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Susi Pudji Astuti (mantan menteri kelautan), di mana kewenangan KKP mengatur neraca garam dicabut oleh PP 9.
Dalam pasal 3 ayat 1 PP No. 9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Penggaraman dilaksanakan sesuai Rekomendasi kementrian industri.
Seharusnya produk kebijakan yang dibuat pemerintah memiliki pertimbangan pro rakyat kecil, dalam hal ini petambak garam. Tidak hanya menyenangkan industri dan merugikan penambak negeri. Selain bermuara pada dependensi terhadap asing, impor garam juga akan menambah utang negara.
Inilah ekses dari sebuah sistem ekonomi yang sangat kapitalistik dan liberal. Aturan dan kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan para kapital tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat. Rakyat dan lebih khusus para petambak garam harus menelan pil pahit dengan geram. Miskin dan terus miskin di tengah produksi garam tambaknya.
Padahal dalam islam, pemimpin adalah Ra’in, menjadi pelindung rakyat dan membela hak-hak mereka. Membuat kebijakan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam ekonomi islam, tambak garam merupakan sumber daya yang tidak terbatas yang tidak boleh dimiliki oleh swasta atau dikelola asing. Kepemilikannya adalah kepemilikan umum dan menjadi milik rakyat dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Negara bisa mengelola SDA yang ada, dengan bekerjasama para ilmuan handal. Melakukan riset-riset agar kualitasnya layak sesuai kebutuhan industri.
Menyetop impor, dan mempercayakan pada penambak garam di negeri sendiri setelah diberi pelatihan komprehensif.
Sebagaimana Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal.
Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
*Instruktur Enterpreuneur IIBS Al-Izzah
_____
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.
Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.
Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.
Comment