Tak Hanya Jawa, Banjir Melanda Medan Dan Belawan, Kemana Rakyat Mengadu?

Opini622 Views

 

 

 

Oleh : Dinda Fadilah, Mahasiswi Universitas Sumatera Utara

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan. Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan ancaman terjadinya banjir semakin besar. Di beberapa wilayah bahkan terjadi banjir bandang, seperti Kota Batu dan Malang yang mengalami banjir bandang setelah sebelumnya diguyur hujan deras pada Kamis (4/11). Bencana tersebut mengakibatkan hanyutnya 15 orang, dilansir dari antaranews.com (5/11/2021).

Peristiwa ini bukanlah yang pertama kali terjadi pada tahun 2021. Sebelumnya telah terjadi banjir bandang di Aceh, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Sulawesi Utara, hingga Nusa Tenggara Timur.

Selain itu terjadi pula banjir rob (banjir pasang). Banjir rob ini juga menjadi fenomena yang meresahkan masyarakat. Terjadinya juga cukup rutin. Terutama jika air laut mengalami kenaikan, yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim.

Bencana banjir ini juga terjadi di wilayah Sumatera Utara. Tepatnya di daerah Belawan, dekat dengan pelabuhan Bandar Deli yang merupakan pelabuhan terpenting di Sumatera Utara. Banjir rob yang baru-baru ini terjadi di wilayah Belawan ini bahkan hingga merendam ribuan rumah warga. Banjir pasang tersebut terjadi tengah malam tepatnya pada pukul 01.00 dini hari dengan tinggi sepaha orang dewasa (waspada.co.id, 5/11/2021).

Hal ini mengakibatkan warga harus begadang sebab mewanti-wanti banjir rob yang terus naik.

Sebelumnya telah beredar surat dari Camat Medan Belawan mengenai peringatan dini adanya banjir pesisir (ROB) mulai tanggal 02-09 November 2021. Hal ini sesuai pernyataan dari Kepala Stasiun Meteorologi Maritim Kelas II Belawan Medan, Sugiyono mengenai peringatan banjir rob di Belawan (Antara, 3/11/2021).

Peringatan tersebut nyatanya terwujud, kini wilayah belawan sedang mengalami banjir yang hampir merata.

Permasalahan banjir rob di Belawan merupakan fenomena yang tak kunjung usai. Tak pandang musim hujan atau panas. Banjir rob terus terjadi dan tentu saja hal ini menyulitkan masyarakat sekitar. Namun hingga kini belum ada solusi nyata yang diwujudkan oleh pemerintah daerah untuk menanggulangi bencana ini.

Berdasarkan keterangan yang dikutip dari Ketua Forum Anak Belawan Bersatu (FABB), Chairil Chaniago, mengatakan, persoalan banjir Rob di Kecamatan Belawan sudah terjadi bertahun-tahun. Sehingga hal tersebut merupakan bencana bagi warga Belawan.

Menurutnya, banjir rob yang kerap terjadi di Belawan, disebabkan oleh buffer zone yang menjadi penyanggah di daerah itu telah rusak. Bahkan tidak sedikit hutan mangrove yang telah beralih fungsi menjadi pertambakan dan kebun sawit.

“Zona penyanggah di Palu Kurua dan Sungai Dua itu sudah banyak beralih fungsi dari hutan magrove menjadi pertambakan, menjadi kebun sawit. Begitu juga di areal pantainya sudah di reklamasi menjadi pelabuhan depo-depo. Drainase di kampung kami babak belur,” kata Chairil saat menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur, Jalan Pangeran Diponegoro, Senin (18/10).

Sering sekali bencana banjir dikaitkan dengan curah hujan yang meningkat dan di sisi lain, rakyat yang cenderung disalahkan atas banjir yang kerap terjadi. Misal terkait budaya buruk membuang sampah atau ketika ada di antara mereka yang bandel mendirikan bangunan di bantaran sungai atau di pinggiran pesisir laut.

Namun jika mau jujur, penyebab utama bencana banjir adalah paradigma pembangunan yang tak akomodatif terhadap daya dukung lingkungan. Bahkan tampak kebijakan pembangunan berparadigma sekuler kapitalistik selama ini hanya mengindahkan kepentingan para pemilik modal yang hanya berorientasi keuntungan materi.

Secara teknis, curah hujan yang tinggi memang bisa menyebabkan banjir, tetapi ini bukanlah satu-satunya faktor. Ketidakberpihakan pembangunan terhadap lingkungan juga menjadi faktor, alih fungsi hutan menjadi sawit, hutan mangrove yang setiap tahunnya terus menurun juga semakin memperburuk keadaan.

Banjir yang melanda banyak wilayah di negeri ini diakibatkan banyaknya alih fungsi lahan, berkurangnya daerah resapan air, turunnya permukaan tanah pada wilayah pesisir, hingga pendangkalan area sungai, dengan kata lain penyebab banjir bukan hanya perkara teknis tetapi juga dari sisi kebijakan.

Hingga kini, solusi yang diberikan pemerintah atas bencana yang terjadi termasuk banjir dan bandang masih sebatas mitigasi atau upaya penanggulangan semata. Akar permasalahan terjadinya banjir belum mampu untuk diselesaikan.

Dalam sistem ini, keberpihakan penguasa terhadap para pemodal dan sikap yang cenderung mengabaikan kepentingan lingkungan terus terjadi. Negara menjadi alat legitimasi munculnya kebijakan yang memenuhi syahwat pemilik modal. Sekalipun berakibat pada rusaknya alam, lingkungan dan kemanusiaan. Negara yang harusnya berada di garda terdepan dalam upaya menjaga keamanan dan kesejahteraan rakyatnya hilang entah kemana.

Penerapan sistem kapitalistik dan neolineral membuka peluang atas berkembangnya perilaku yang mengeksploitasi dan destruktif di tengah-tengah masyarakat. Di mana bencana hanya dilihat sebagai faktor alam saja dan pembangunan yang dilakukan jauh dari paradigma islam yang menebar kebaikan.

Berbeda jauh dengan sistem hari ini, penerapan islam justru mencegah terjadinya eksploitasi dan sikap destruktif. Sebab Allah memberi misi bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi dan hal itu akan terjaga dengan penerapan syariah islam yang mengatur tata kelola kehidupan yang turun sebagai rahmat, bukan malah laknat.

Islam melarang dengan tegas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara serampangan seperti saat ini. Pembangunan yang dilakukan juga ditujukan semata-mata demi kemaslahatan ummat bukan memenuhi dahaga para pemilik modal.

Dengan begini tentu saja alam akan tetap dipelihara, kerusakan hutan yang berakibat timbulnya bencana alam juga dapat dicegah. Wallahu’alam bisshawab.[]

Comment