Syariat Islam itu Melindungi Bukan Menakuti

Opini598 Views

 

 

Oleh: Desi Wulan Sari, S.E, M.Si*

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Viralnya pemakaian seragam sekolah negeri dengan atribut keagamaan di Kota Padang beberapa waktu lalu menjadi isu nasional.

Viralnya isu tersebut memunculkan SKB 3 Menteri yang serta merta dibuat dan diterbitkan, terkait atribut keagamaan di sekolah negeri. Kebijakan tersebut juga melahirkan pro – kontra di kalangan pengamat pendidikan, agama dan tokoh masyarakat.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,  Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama telah mengeluarkan kebijakan terkait seragam sekolah.

Dikatakan bahwa lahirnya SKB 3 Menteri merupakan upaya untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. Mereka menjelaskan dalam laman media nasional, SKB 3 Menteri bukan memaksakan agar sama, tetapi masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, bukan hanya simbolik. (Kompas.com, 5/2/2021).

Aturan SKB 3 Menteri ini dikhawatirkan memarginalkan wewenang dan kebijakan daerah dalam menjalankan setiap kebijakan yang bibuat.

Seragam sekolah yang didasari nilai keagamaan merupakan salah satu kewenangan penuh setiap daerah dalam penerapan kebijakan sekolahnya. Namun, bagi sebagian pengamat dan tokoh masyarakat, urgensitas sebuah kebijakan tentang “seragam” belumlah sampai pada tingkat “disegerakan” hingga harus sesegera mungkin dibuat dan disahkan aturannya, bahkan sampai 3 menteri sekaligus mengesahkannya.

Tujuan menggunakan seragam sekolah muslim di salah satu sekolah di Kota Padang itu memiliki tujuan yang sangat positif yakni melindungi siswi-siswinya, serta menguatkan cerminan sebuah kota yang dikenal sejak dahulu sebagai kota yang identik dengan nilai-nilai religius di masyarakatnya.

Menurut tokoh dan seorang mantan pejabat negara tahun 2005, ia menginginkan pendidikan di Padang khususnya dan Sumbar pada umumnya mencerminkan jati diri Sumbar yang kental dengan nuansa Islami. (republika.co.id, 24/1/2021).

Menanggapi SKB 3 Menteri ini, MUI mengeluarkan surat resmi bahwa SKB 3 Menteri, pada isi diktum ke satu dan ke dua patut di apreasiasi dan dikomunikasikan sesuai kebutuhan dan kondisi masing-masing sekolah yang ada. Tetapi pada diktum ke tiga perlu direvisi kembali karena dikhawatirkan ada indikasi polemik, kegaduhan dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat (kompas.com, 13/2/2021).

Sebuah kebijakan akan selalu berkaitan dengan masyarakat sebagai pelaksana agar menjadi tertib dan lebih baik. Namun, bukan menjadi satu keanehan kala kebijakan-kebijakan tersebut harus bersentuhan dengan sistem sekuler yang semakin tumbuh di negeri ini.

Pemisahan kehidupan dari nilai nilai agama semakin menjauhkan umat dari agama yang dipeluknya.

Jika sebuah daerah memberlakukan aturan sesuai dengan SKB tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya penerapannya.

Jika seorang non muslim berada dalam wilayah mayoritas muslim, dengan pemberlakuan memakai seragam muslim hanya saat berangkat sekolah dan di sekolah, maka mereka akan terlindungi selama perjalanan ke sekolah dan terlihat tertib serta menyejukkan, karena melindungi diri dari pandangan orang-orang yang berhati degil.

Lalu bagaimana jika pelajar muslim yang menjadi minoritas di sebuah wilayah mayoritas non muslim?

Siswi muslim di daerah minoritas justru akan terus dirugikan karena SKB ini, tidak mungkin menghapus regulasi daerah yang melarang memakai identitas agama.

Jadi, harapan adanya kebebasan berjilbab bagi siswi muslimah di wilayah Bali, Ambon dan semisalnya, tidak mungkin terwujud melalui SKB ini.

Oleh karena itu perlu meninjau ulang kebijakan ini dan diharapkan tidak menjadi samar dan kurang tepat dalam penerapan di setiap daerah yang berbeda.

Sedangkan sistem Islam, sangat jelas mengajarkan bagaimana terikatnya seluruh kehidupan manusia terlebih umat muslim, dan setiap umat manusia dengan syariat Allah, bahkan jika mereka nonmuslim sekalipun tetap diatur dalam hukum Islam dengan adil, dan bersifat melindungi keberadaannya. Terlebih jika mereka adalah seorang wanita yang rentan dengan berbagai tingkat kejahatan seksual di luar sana.

Terbukti dengan apa yang disampaikan oleh sejarawan Barat Will Durrent yang bertutur dengan jujur. “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka.

Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagii fenomena seperti itu setelah masa mereka.” (The Story of Civilization).

Jika sekulerisme  mencampuri urusan kehidupan manusia, maka kerusakanlah yang siap menanti setiap generasi di masa yang akan datang.

Sejatinya, hanya sistem Islam yang secara khas mampu mengatur urusan kehidupan manusia menuju kemaslahatan hakiki sebagai rahmatan lil alamin. Wallahu a’lam bishawab.[]

*Pegiat Literasi Revowriter

_____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang

Comment