Syamsam, S.S, M.Si*: Normalisasi Arab Saudi- Israel, Siapa Diuntungkan?

Opini637 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Normalisasi Israel dengan negara-negara Arab menjadi perbincangan hebat di tahun 2020 ini. Amerika Serikat sebagai negara mediator telah berhasil membujuk beberapa negara Arab seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko hingga Arab Saudi untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Presiden AS, Donald Trump, saat penandatanganan kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel, UEA dan Bahrain di Gedung Putih pada Oktober lalu, ia mengatakan akan lebih banyak negara Arab yang menjalin kontak diplomasi dengan Israel di masa mendatang.

Normalisasi, Pengkhianatan bagi Palestina

Tentunya, hal ini menjadi pukulan menyakitkan bagi masyarakat Palestina yang menginginkan kemerdekaan atas pendudukan Israel sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Walaupun diketahui bahwa syarat yang diinginkan Arab Saudi atas normalisasi yang terjadi adalah adanya peluang Palestina merdeka.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud, saat berbicara di Institut Internasional untuk Ilmu Keamanan Manama, Bahrain, “Kami selalu terbuka untuk melakukan normalisasi dengan Israel, dan kami pikir Israel akan memiliki tempatnya di wilayah ini. Tetapi agar hal itu terjadi dan berkelanjutan, kami perlu agar Palestina mendapatkan negara mereka dan kami perlu menyelesaikan situasi ini,” dikutip dari Gulf News (5/12/2020).

Walaupun demikian, Palestina tetap menganggap bahwa hal tersebut adalah bentuk pengkhianatan. Pejabat Palestina mengutuk normalisasi itu sebagai “menusuk di belakang perjuangan Palestina dan rakyat Palestina”. Dikutip dari Kompas. Com (Rabu, 23/12/2020).

Pasalnya, sudah beberapa kali negoisasi perdamaian dilakukan dengan Israel namun tetap saja kemerdekaan bagi Palestina nihil didapatkannya. Pelanggaran kesepakatanpun terus terjadi.

Sejak tahun 2014, negoisasi perdamaian terhenti akibat Tel Aviv terus melakukan pembangunan pemukiman atas wilayah Palestina, menolak pembebasan tahanan tua Palestina dan menolak kemerdekaan dua negara.

Maka, apakah keputusan negara-negara Arab menjalin normalisasi dengan Israel sebagai alasan menjadi “jembatan emas” bagi kemerdekaan Palestina dapat terwujud? Ataukah ada alasan lain yang jauh lebih penting dari kemerdekaan Palestina, sehingga negara-negara Arab berbondong-bondong melakukan hubungan diplomatik dengan Israel?

 

Keuntungan normalisasi untuk siapa?

Negara-negara teluk kini menjadi negara yang mendominasi pembuka pintu kerjasama dengan Israel. Kerjasama yang dilandasi oleh kepentingan masing-masing negara menjadi faktor utama. Salah satu alasan kepentingan Arab Saudi adalah antisipasi akan serangan Iran sebagai negara saing Arab Saudi beserta sekutunya dalam polemik kawasan.

Sebagaimana dilaporkan wartawan majalah Haaretz Israel, Hagai Amit, bahwa keuntungan dari ‘perdamaian’ itu bagi Israel berhubungan dengan industri persenjataan milik AS. Industri artileri Israel menganggap ini sebagai awal masuknya pasokan persenjataan AS ke negara-negara Teluk. UEA diperkirakan akan menerima beberapa unit jet tempur F-35 dari AS setelah menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel.

Departemen Pertahanan AS juga mengungkap kalau Boeing berhasil dapat kesepakatan dengan Kerajaan Arab Saudi untuk membuat 70 unit jet tempur F-15. Total nilai kontrak mereka sebesar 9,8 miliar Dolar AS atau setara dengan Rp138 triliun. Angkatan udara Israel secara tidak langsung mendapatkan keuntungan dari kesepakatan itu karena AS akan terus meningkatkan dan mengembangkan jet tempur F-15 milik mereka.

Selain itu, beberapa onderdil untuk jet tempur tersebut juga diproduksi dan dipasangkan oleh industri penerbangan Israel. Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Middle East Monitor (24/12/2020)

Jika demikian yang terjadi, maka sejatinya normalisasi atas nama Palestina hanya sebagai pemanis dan penutup kepentingan utama ke dua negara, bahkan keuntungan terbesar di dapatkan oleh Israel dan AS yang memanfaatkan kondisi ketegangan antara Saudi dan Iran beserta sekutunya sebagai peluang pasar perdagangan senjata.

Walhasil, penderitaan rakyat Palestina akan terus terbuka terbelanga, menanti sebuah kemerdekaan yang tak kunjung pasti adanya.

Sekedar janji-janji namun tak pasti dan selalu diingkari. Oleh sebab itu, konflik di Timur Tengah akan terus terjadi selama tidak adanya ketegasan dan persatuan pemimpin negara Arab dan negara muslim lainnya dalam membebaskan masyarakat Palestina dari penjajahan Israel beserta negara pendukungnya.

Atas dasar dorongan keimanan bahwa ummat Islam bagaikan satu tubuh, jika salah satu bagian merasakan sakit maka sebagian lainnya hingga seluruhnya ikut merasakan sakitnya.

Begitupula rasa sakit yang dirasakan masyarakat Palestina maka patutlah negara Arab dan negara muslim lainnya bersatu dalam satu kepemimpinan dalam membebaskan tanah Palestina. Bukankah persatuan adalah asas terwujudnya keberhasilan? Wallahu ‘alam.[]

*Dosen HI Universitas Swasta di Kalimantan Timur

Comment